Pemerintah ingin selesaikan pelanggaran berat tragedi 1965 tanpa CIA

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemerintah ingin selesaikan pelanggaran berat tragedi 1965 tanpa CIA

ANTARA FOTO

Jaksa Agung mengatakan yang bisa diterima oleh CIA adalah Pemerintah Indonesia, bukan Komnas HAM. Namun, pemerintah pun belum akan meminta data ke CIA.

JAKARTA, Indonesia—Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pemerintah memilih untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tragedi pembantaian massal 1965 dengan opsi pro justicia dan non justicia, bukan membuka dokumen intelijen Amerika Serikat (CIA). 

“Ya silakan saja, itu kan kewenangan Komnas HAM, mereka bisa melakukan itu. Tapi kami kan sudah sepakat dengan Komnas HAM, duduk bersama mencari solusi. Ada dua solusi, pro justicia dan non justicia,” katanya, Rabu, 16 Maret. 

Gagasan untuk membuka dokumen intelijen ini muncul setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta bantuan Presiden Barack Obama untuk membuka dokumen intelijen terkait dengan peristiwa 1965.

Yasonna melanjutkan, menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, opsi pro justicia sulit diambil, apalagi untuk kasus tragedi 1965. “Penghilangan orang paksa ini kan juga sulit, maka buka ruang untuk non yudisial, itu sekarang yang digodok,” katanya. 

Komnas HAM tak bisa wakili pemerintah

Sementara itu, Jaksa Agung Prasetyo saat dihubungi Rappler mengatakan bahwa tindakan Komnas HAM melobi CIA tidak bisa dicegah, tapi juga dinilai tak signifikan. 

“Karena yang bisa diterima itu pemerintah, Pemerintah Indonesia yang harus meminta ke CIA,” katanya. 

Prasetyo melanjutkan untuk saat ini pemerintah belum akan meminta pada CIA, melainkan melengkapi data yang ada. 

“Pemerintah saat ini berusaha melengkapi hasil penyelidikan yang selama ini dinyatakan tidak lengkap,” katanya. 

Apa tanggapan Komnas HAM? 

Anggota Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, yang baru saja bertemu petinggi CIA, mengatakan bahwa pernyataan Menteri Yasonna bersifat normatif. 

“Itu memang yang dimandadatkan dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2000 mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat, bahwa dapat ditempuh melalui yudisial (justicia) dan non yudisial (pro justicia),” katanya pada Rappler.

Nurkhoiron melanjutkan apa yang dilakukan Komnas HAM adalah berdasar permintaan korban dan keluarga korban. “Komnas HAM hanya mengikuti rute memenuhi permintaan mereka,” katanya. 

Ia menambahkan, Komnas HAM meminta data tentang keterlibatan Amerika saat itu. 

“Permintaan dari para korban yang menginginkan adanya sikap terbuka dari negara yang ikut terlibat membantu operasi dan serangan terhadap komunisme saat itu,” katanya. 

Sejauh mana keterlibatan pemerintah Amerika? 

Lima puluh tahun lalu, Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia mengirim pesan kabel pada pemerintah pusat di Washington. Pesan itu intinya menanyakan kesiapan dana untuk membantu kelompok sipil yang aktif memerangi pengaruh komunisme di Indonesia.

Pada 1965, kelompok sipil dan militer di bawah komando Jenderal Suharto bahu-membahu membantai anggota Partai Komunis Indonesia dan para pengikutnya, setelah tujuh jenderal terbunuh pada 30 September.

Nurkhiron melanjutkan, data yang ia minta pada CIA tidak sama dengan data yang sedang dilengkapi oleh pemerintah. Nurkhoiron menyebut data ini sebagai pelengkap data pemerintah. “Seharusnya pemerintah mendukung upaya Komnas HAM,” katanya. 

Apalagi, jika ingin menyelesaikan secara non yudisial, pemerintah harus membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru. 

“Data itu akan sangat berguna,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!