Bincang Mantan: Pilih sahabat atau pacar?

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Pilih sahabat atau pacar?
Antara sahabat atau pacar, apakah harus memilih?

Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma Aditya: Apakah bisa bersahabat dengan lawan jenis?

Tidak punya pacar ternyata tidak berarti saya bebas pertanyaan macam ini. Bedanya kali ini yang nanya statusnya adalah mantan, dan jawabannya akan di-publish ke seluruh dunia. Baiklah, kembali ke topik, sebelum menjawab pertanyaan itu, kayanya ada hal yang perlu diluruskan terlebih dahulu perihal “apakah bisa bersahabat dengan lawan jenis?”

Seperti halnya Coca-Cola vs Pepsi, Android vs iOs, sampai dengan Raisa vs Isyana, dunia ini juga dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang percaya dan tidak percaya bahwa “orang berbeda jenis kelamin bisa bersahabat”. Dari pilihan di atas saya termasuk ke golongan Coca-Cola, Android, Isyana, dan percaya bahwa berbeda jenis kelamin tidak menghalangi seseorang untuk bersahabat.

Bukan cuma percaya, saya juga menjalani persahabatan dengan beberapa teman perempuan. Sebetulnya persahabatan jenis ini tidak aneh-aneh banget, kok. Saya biasa jalan berdua dengan teman perempuan untuk sekadar cerita hal random, saling curhat, ngomongin orang, nonton, dan lainnya.

Waktu lagi tidak ketemu pun jika saya lihat atau mengalami suatu hal yang lucu, saya juga pasti langsung cerita ke sahabat perempuan saya ini. Biasa aja, bukan? Jadi sahabat perempuan itu tidak beda jauh dengan pacar tapi tanpa baper dan ngambek-ngambek enggak jelas.

Pacar tanpa ngambek enggak jelas itu bagaikan ayam KFC tanpa efek menggemukkan. Sempurna adanya!

Kalau belum jelas juga, iya betul saya pilih sahabat dibanding pacar! Lagipula selain lebih ngambek-free, kita mungkin sudah kenal sahabat kita jauh sebelum kita kenal dengan pacar. Waktu kita naksir sama sang pacar kita pasti cerita ke sahabat. Waktu akhirnya pacaran juga pasti langsung berkabar ke sahabat. Eh, waktu pacaran masa iya kita harus ninggalin sahabat demi orang baru itu?

Lagipula, kenapa juga banyak pacar yang cemburu ke sahabat pacarnya? Logikanya kalo dari awal itu orang sudah ada rasa sama sahabatnya, ya langsung aja dipacarin. Enggak usah susah-susah cari pacar lain yang lain dulu. Betul, kan?

Satu hal lagi yang membuat saya mantap memilih sahabat. Sahabat itu selalu ada waktu kita enggak punya apapun dan tetap stay bahkan waktu kita lagi sangat sombong. Setelah kita sangat ngeselin karena sombong, mungkin kita akan jatuh lagi ke titik terendah dan sahabat masih tetap ada d isana (kalau sahabat yang kalian punya enggak memenuhi kriteria ini, dia bukan sahabat!). 

Oh iya, jangan lupa, mereka juga ikut bahagia waktu kita dapetin orang yang kita suka jadi pacar.

Sedangkan pacar nerima kita jadi pacarnya pasti waktu kita lagi hebat-hebatnya dengan berbagai pencitraan kita selama PDKT. Waktu kita agak drop sedikit, biasa banget tuh keluar ungkapan “kamu berubah”, dan dosa terbesar yang dimilikin sama seorang pacar adalah dia tidak suka, atau setidaknya kesel kalau kita jalan sama sahabat kita. Pasti begitu biarpun kadang enggak ditunjukkin. Dia enggak mau tau apa aja yang udah kita laluin sama sahabat kita.

Jadi antara sahabat atau pacar, jawabannya jelas buat saya. 100 persen sahabat. 

Adelia Putri: Jangan pernah bilang, ‘Pilih aku atau sahabat kamu’

Sahabat vs pacar. Bagaimana kalau kamu tidak suka sahabat pacarmu; kalau pacarmu tidak suka sahabatmu, atau sahabatmu tidak suka pacarmu? Klasik.

Pertanyaan saya adalah kenapa kondisi ini selalu dikonstruksi seakan-akan kita harus selalu memilih? Buat saya, kalau kamu sudah cukup dewasa untuk menjalin hubungan serius, harusnya kamu juga cukup dewasa untuk menyadari kalau 1) kamu tidak bisa mendapatkan semua yang kamu mau, dan 2) tidak semua hal yang berlawanan merupakan pilihan yang harus diambil.

Bagus kalau dua pihak yang penting buat kamu bisa akrab. Tapi, memangnya kenapa kalau pacarmu dan sahabatmu tidak saling suka? (Begitu juga untuk kombinasi pertanyaan ini). 

Terima saja, kalau tidak semua orang bisa menjadi karib. Kalau kata senior saya dulu, pendewasaan itu adalah ketika kamu sadar kalau orang baik ketemu orang baik, hasilnya belum tentu baik. 

News flash, kalau kamu tidak bisa bersahabat dengan musuh jaman SMA dulu, kenapa memaksa pacarmu dan sahabatmu bisa akrab kalau memang tidak bisa? Toh, keduanya punya posisi berbeda di hidupmu, kan? Jangan jadi anak-anak yang menjadikan “kamu harus benci apa yang aku benci” sebagai basis hubungan.

Kalau masalahmu adalah cemburu dengan sahabat pacarmu (atau sebaliknya), sepertinya kalian berdua punya sesuatu untuk dibicarakan.

Saya mungkin setuju kalau perempuan dan laki-laki tidak bisa berteman murni tanpa ada afeksi lebih, tapi toh harusnya kalau sudah ada komitmen antara dua orang, ya tidak usah takut. Perasaan kan tidak bisa diatur, tapi tindakan bisa.

Naksir-naksir bodoh itu biasa, tapi toh kan manusia bisa berpikir mana yang mau diteruskan, mana yang mau dibiarkan. Jadi, kalau kamu khawatir pacarmu ada apa-apa dengan sahabatnya, mungkin itu hanya paranoia tak beralasan yang menandakan kamu tidak percaya pada pacarmu. (Well, kecuali ada bukti lain ya.)

Dan tolong, jangan pernah bilang “pilih aku atau sahabat kamu” apalagi “kamu jangan minta aku pilih antara kamu atau sahabat-sahabat aku”. Jangan. 

Pertama, kamu mungkin tidak tahu kalau kalimat itu sangat menyakiti. Kalau kata Lady Gaga, “You’ll never know until it happens to you”. Sakit lho, cuma dianggap sebagai pilihan yang bisa dieliminasi kapan saja, atau sebagai liabilitas yang hanya menyusahkan.

Kedua, kamu tidak pernah tahu, pasanganmu sedang mengalami apa saat itu. Hanya karena kalian bersama, bukan berarti kamu tahu semuanya. Kalau kamu mengeluarkan ultimatum itu hanya karena kesal pacarmu sedang manja, mungkin sebenarnya dia sedang stres berat, dan kata-katamu malah menambah kesedihannya. Ingat ucapan orang tua, pikir dulu baru bicara.

Jadi apa solusinya? Bicara saja, lah. Tanyakan masalahnya apa atau ceritakan masalahmu. Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya, kok. Kalau tidak ada kata sepakat atau tidak bisa saling menerima, ya mungkin jodoh kamu bukan di sini. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!