Prediksi akhir musim Liga Primer: Leicester City juara, MU peringkat kelima

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Prediksi akhir musim Liga Primer: Leicester City juara, MU peringkat kelima
Untunglah kompetisi sepak bola bukan pilkada atau pilpres. Tim-tim besar tidak bersekongkol memenangkan salah satu dari mereka hanya agar bisa menghambat Leicester.

JAKARTA, Indonesia – Takdir barangkali memang berpihak kepada Leicester City untuk menjadi juara Liga Primer musim ini. Tapi, hanya mengandalkan ketentuan yang tak jelas suratannya itu tentu tidak bisa mengantarkan tim berjuluk The Foxes itu meraihnya.

Apa tanda-tanda takdir berpihak kepada pasukan Claudio Ranieri tersebut? Jadwal pertandingan.

Dalam 7 laga terakhir Liga Primer, laga-laga berat Leicester akan digelar di bagian akhir kompetisi. Sebaliknya, para pesaing terdekat justru harus saling bentrok dalam 2-3 pekan lagi. Artinya, di saat Wes Morgan dan kawan-kawan berpeluang besar meraih kemenangan, para raksasa harus saling bunuh di antara mereka sendiri.

Tottenham Hotspur, misalnya. Tim penguntit terdekat Leicester tersebut (berselisih lima poin) harus bentrok dengan Liverpool pada matchday akhir pekan ini dan Manchester United di matchday berikutnya.

Begitu juga Manchester City. Pasukan Manuel Pellegrini itu berpeluang kembali kehilangan poin saat menjamu Chelsea di Etihad Stadium, Sabtu, 16 April, atau 3 matchday lagi. Situasi itu jelas sangat sulit bagi mereka untuk merangsek ke tiga besar setelah keok 0-1 melawan Manchester United di kandang sendiri akhir pekan lalu.

Bagaimana dengan Arsenal? Tim London Utara tersebut juga bernasib hampir serupa. Mereka harus menghadapi tim peringkat kelima West Ham United dua pekan lagi. Dengan laga digelar di Boleyn Ground, kandang West Ham, kemungkinan Per Mertesacker dan kawan-kawan untuk kehilangan poin sangat besar.

Apalagi, performa anak asuh Arsene Wenger itu juga bak roller coaster. Memang, mereka baru saja mengalahkan Everton dua gol tanpa balas. Tapi, siapa yang menyangka tim langganan Liga Champions itu dikalahkan tim medioker Swansea City 1-2.

Nah, saat lawan-lawan sedang saling jegal itulah, agenda Leicester “lempeng-lempeng saja”. Dalam empat pekan mendatang, tim yang diakuisisi konglomerat Thailand lima tahun lalu itu menghadapi Southampton, Sunderland, West Ham United, dan Swansea City.

Dari empat laga tersebut, yang cukup berat hanyalah melawan West Ham di King Power Stadium, kandang Leicester. Pasukan Slaven Bilic berpotensi mengganjal tim tuan rumah. Namun, hasil seri saja sudah cukup bagi The Foxes untuk membuat posisinya aman di puncak. Apalagi, jangan lupa, musim ini hanya sekali Leicester kalah di kandang.

Jika sudah mampu memaksimalkan empat laga tersebut plus raksasa lainnya saling jegal, Leicester hanya perlu bermain “moderat” di tiga laga terakhir melawan tim tradisional papan atas Liga Primer.

Dalam tiga laga pemungkas itu, Leicester akan berjumpa dengan Manchester United, Everton, dan Chelsea. Di putaran pertama, Everton dan Chelsea berhasil mereka kalahkan. Dengan United, mereka bermain seri 1-1 di kandang. 

Leicester konsisten saat para raksasa labil

Dengan kalkulasi tersebut, sangat mungkin Leicester bakal meraih gelar juara untuk kali pertama dalam sejarah. Dan Claudio Ranieri, sang pelatih, juga untuk pertama kali bakal meraih trofi gelar liga domestik pertama dalam hidupnya.

Ya, sepanjang karir kepelatihannya, juru taktik Italia itu tak pernah meraih gelar juara liga. Paling banter hanya sebagai runner up. Bahkan, saking terlalu seringnya meraih posisi kedua, dia dijuluki sebagai Mr. Runner Up. Tidak ada momen yang lebih tepat lagi untuk menghapusnya kecuali sekarang.

Kiprah Leicester yang mengejutkan sejatinya cukup sederhana. Mereka bukan tim yang sangat dominan dan mengalahkan para raksasa. Mereka hanya konsisten meraih kemenangan melawan tim-tim di luar klub lima besar “tradisional” Liga Primer. Dan saat melawan tim besar, mereka cukup bermain seri. Kemenangan hanya sebagai “bonus”.

Di putaran pertama, Leicester berhasil menahan Spurs dan United dengan skor masing-masing 1-1, dan City 0-0. Melawan Arsenal, mereka justru kalah 2-5 dan 1-2.

Leicester berhasil menyempurnakan konsistensi itu dengan beberapa “bonus” kemenangan. Yakni, membekuk City 3-1 dan Spurs 1-0.

Pendekatan Ranieri juga sangat konservatif. Di saat hampir semua tim-tim di Liga Primer bermain menyerang, mereka lebih banyak bertahan dan mengandalkan serangan balik. Dengan latar belakang budaya pertahanan yang kuat ala Italia, Ranieri berhasil menerapkannya dengan baik di Leicester.

Seperti yang diungkapkan kolumnis Rob Hughes di New York Times. “Pertahanan sudah selayaknya menjadi keahlian Ranieri sebagai orang Italia. Jika tidak, lebih baik dia tidak usah tahu apa-apa,” katanya.

Memang, soliditas pertahanan Leicester bukan yang terbaik di Liga Primer (kebobolan 31 gol). Kalah jauh dibanding Spurs yang hanya kemasukan 24 gol. Tapi, skema bertahan total dan serangan balik cepat terbukti ampuh menjadi kunci konsistensi mereka.

Ambil contoh gol Jamie Vardy ke gawang Manchester United pada 28 November lalu. Hanya butuh dua kali umpan untuk mencetak gol ke gawang David De Gea. Bola yang ditangkap kiper Kasper Schmeichel dilempar kepada Christian Fuchs. Bek Austria itu lantas melepaskan umpan ke Vardy dan gol.

Lihat juga gol Riyad Mahrez ke gawang City pada 6 Februari lalu. Hanya dibutuhkan 17 detik dari sejak bola berhasil direbut di pertahanan Leicester untuk mencetak gol ke gawang Joe Hart.

Sebaliknya, tim-tim besar tidak konsisten. Tidak usah bicara pertarungan di antara mereka, melawan tim kecil saja para favorit juara kerap takluk. Dari 7 kekalahannya musim ini, Arsenal harus dipaksa tunduk melawan tim-tim di luar 5 besar seperti Swansea City, West Bromwich Albion, dan Southampton.

City mengalami nasib berbeda tapi hasil akhirnya sama. Hanya dua tim di luar lima besar yang mengalahkan mereka: Stoke City dan Liverpool. Tapi, klub milik konglomerat Timur Tengah itu kerap keok melawan tim-tim papan atas.

Begitu juga United. Sebagai tim tradisional pemburu gelar juara, peluang mereka langsung amblas setelah kalah melawan West Bromwich Albion, Sunderland, Southampton, Stoke City, Bournemouth, Aston Villa, Norwich City, dan Swansea City. Padahal, tim-tim tersebut jelas sangat jauh dari persaingan lima besar.

Target paling realistis United musim ini adalah peringkat empat. Tujuannya, musim depan tetap tampil di Liga Champions. Tapi, meski paling realistis pun tetap sulit.

Di depan mereka, masih ada West Ham dan City. Jika West Ham berhasil tersingkir dari persaingan, mereka masih harus berebut dengan rival sekotanya. Klub berjuluk The Citizens itu tentu tak ingin jika kehadiran manajer anyar Pep Guardiola musim depan ternyata bukan untuk Liga Champions.

Satu-satunya cara bagi United untuk merangsek ke empat besar adalah memenangi semua sisa laga. Itu akan mengamankan posisi mereka bahkan hingga tiga besar. Jika tidak, United bakal kembali terjerembab ke kompetisi kelas dua tim-tim benua biru tersebut: Liga Europa.

Apabila itu yang terjadi, maka United mampu kembali mentas ke Liga Champions dan kemudian tenggelam dari ajang paling bergengsi itu di tangan orang yang sama: Louis van Gaal.—Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!