Jalan buntu itu bernama rekonsiliasi

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jalan buntu itu bernama rekonsiliasi
Jaksa Agung selalu mengatakan berkas penyelidikan Komnas HAM selalu tidak lengkap, benarkah?

Tulisan (untuk blog) ini saya buat setelah saya melakukan peliputan sendiri atas perkembangan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk tragedi pembantaian massal 1965.

Saya merasa bertanggung-jawab untuk mengabarkan pada kalian, terutama anak muda, tentang perkembangan terkini proses pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM ini.

Pertama saya meminta untuk membaca terlebih dulu mengenai tulisan yang saya buat. Judulnya adalah Keluarga korban pelanggaran HAM usul pembentukan komisi kepresidenan. 

Ya baru-baru ini, muncul ide untuk membuat komisi kepresidenan yang berada di bawah Presiden yang terhormat Bapak Joko “Jokowi” Widodo.

Tapi perlu kalian ketahui bahwa, sebelum wacana pembentukan komisi kepresidenan untuk pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban itu, proses hukum pelanggaran HAM berbelit-belit.

Begini kronologinya.

Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu sejak awal 2000 lalu. Mulai dari Talangsari, hingga kasus 1998. Berikut tautan lengkapnya.

Selain itu, Komnas HAM juga telah melakukan penyelidikan kasus tragedi pembantaian massal tahun 1965. Penyelidikan itu membuahkan temuan, dan telah diserahkan kepada Jaksa Agung.

Terakhir, pada 10 Juli 2012, Komnas HAM dengan surat No. 164/TUA/VII/2012 menyerahkan berkas hasil penyelidikan peristiwa ini kepada Jaksa Agung.

Jaksa Agung kemudian mengembalikan berkas tersebut kepada Komnas HAM dengan surat No. R- 126/A/F.6/10/2012 tanggal 25 Oktober 2012 beserta petunjuk belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM berat untuk dilanjutkan ke tahap Penyidikan.

Begitu seterusnya, setiap kali Komnas HAM memberikan laporan, Kejaksaan Agung menyatakan: Kurang lengkap.

Benarkah kurang lengkap? Silakan kamu pelajari sendiri di sini.

Sehingga temuan penyelidikan itu, tidak pernah naik ke penyidikan. Fyi, tugas penyidikan itu dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Jadi hingga hari ini, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Saya pribadi sudah sering mewawancarai Jaksa Agung HM Prasetyo baru-baru ini, dalih yang selalu diberikan pada kami, wartawan, adalah: Bukti sulit dicari, terlalu lama, dsb.

Perlu kamu ketahui bahwa semua upaya penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM adalah dalam rangka menyelesaikan kasus itu secara yudisial atau hukum.

Nah, kemudian muncul wacana dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini secara non yudisial. Apa itu? Lewat rekonsiliasi.

Apa itu rekonsiliasi? Draf rekonsiliasi belum terang, hingga hari ini pemerintah tidak menjelaskan maksud dari rekonsiliasi tersebut. Apakah rekonsiliasi ini akan mengabaikan pengungkapan kebenaran?

Karena seperti kata Koordinator Setara Institute Hendardi yang juga mendampingi keluarga korban penghilangan paksa dan Semanggi, tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran.

Sumarsih, seorang keluarga penyintas, juga menolak langkah rekonsiliasi. Kata dia, harus jelas siapa yang memina maaf, kepada siapa, salahnya apa? Bukan ujug-ujug presiden meminta maaf.

Dulu jauh sebelum isu non yudisial dalam bentuk rekonsiliasi ini muncul, ada wacana untuk membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tapi apa dinyana, Undang-Undang nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) malah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.

Undang-undang itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.

Undang-undang itu juga diprotes karena alih-alih memenuhi unsur pengungkapan kebenaran, dikhawatirkan malah membuat impun pelaku pelanggaran HAM. Baca selengkapnya di sini.

Nah karena itulah muncul ide untuk membuat Komisi Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban.

Tapi apakah komisi ini bisa mengungkap kebenaran untuk semua kasus?

Karena seperti yang saya sebut di berita saya sebelumnya, kemungkinan kasus 1965 akan ‘ditinggalkan’ karena yang bakal dimejahijaukan kasus pelanggaran HAM paling tidak 50 tahun yang lalu. Bagaimana dengan kasus 65? Belum tentu akan masuk agenda komisi.

Nah begitulah perkembangan dari proses hukum yang berlangsung saat ini. Makin hari makin sumir saja, dan makin tipis harapan kita untuk mengungkap kebenaran atas tragedi pembantaian massal ini.

Entah apa bukti yang kurang lagi, berbagai berita dan temuan mengenai kuburan massal pun sudah diungkap, bahkan sejarahwan pun sudah bersaksi di sidang International People Tribunal 1965. Tapi tetap saja, tidak cukup.

Gerakan pemerintah juga sulit dibaca. Terakhir saya mendengar dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu ini. Akan ada pernyataan resmi dari pemerintah pada 2 Mei nanti.

Tapi apakah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini akan memenuhi rasa keadilan bagi para korban? Setidaknya mengungkap kebenaran, minimal, siapa yang bersalah, siapa yang dirugikan, minta maaf untuk perbuatan apa?

Sehingga kekhawatiran bahwa pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu itu akan impun terhadap hukum tidak terjadi.

Ending-nya dari saya. Akankah pemerintah mampu menunjukkan pada generasi ketiga dan seterusnya, generasi kita, bahwa mereka bisa menyelesaikan kasus ini dengan tetap memenuhi prinsip pengungkapan kebenaran? Ataukah pemerintah hanya mampu menawarkan jalan buntu bernama rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran?

Kita tunggu 🙂

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan untuk Ingat65. Komunitas anak muda yang merekam kembali ingatan mereka tentang sejarah tragedi pembantaian massal 1965. 

 Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas  isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran. Selain aktif sebagai wartawan,  ia juga menjadi produser Podcast di Ingat65. Febro, panggilan akrabnya,  bisa disapa di @febrofirdaus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!