Petualangan 3 tahun Jaka Parker dan keluarga di Korea Utara

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Petualangan 3 tahun Jaka Parker dan keluarga di Korea Utara
Bagaimana kesannya tentang masyarakat setempat? Apa saja keunikan yang dimiliki negara yang dipimpin Kim Jong Un tersebut?

JAKARTA, Indonesia—Korea Utara merupakan salah satu negara paling tertutup di dunia. Oleh karena itu, cerita tentang bagaimana kehidupan masyarakat di sana menjadi sangat menarik.

Rappler berkesempatan berbincang dengan Jaka Parker, seorang warga Indonesia yang sempat tinggal di Pyongyang, ibukota Korea Utara, bersama keluarganya selama lebih dari 3 tahun dan baru kembali ke Indonesia awal Maret 2016 lalu.

Bagaimana kesan Jaka tentang masyarakat Korea Utara? Apa saja keunikan yang dimiliki negara yang dipimpin Kim Jong Un tersebut? Bagaimana Jaka berhubungan dengan keluarganya di Indonesia?

Berikut hasil perbincangan Rappler dengan Jaka Parker pada Minggu, 3 April lalu:

Awal petualangan di Korea Utara

Pada tahun 2012, istri saya diminta kantornya untuk bekerja di Korea Utara. Pada saat itu saya khawatir, karena istri saya sedang dalam keadaan hamil 4 bulan. Akhirnya saya pun mendampinginya.

Kepengurusan visa pun tidak mudah. Karena proses pengajuan visa masih manual, maka proses yang seharusnya selesai dalam jangka waktu dua minggu, baru selesai satu bulan kemudian.

Kesulitan juga dialami saat kami mengurus visa untuk pengasuh karena ia merupakan tambahan di luar anggota keluarga. Meskipun melalui proses yang panjang, akhirnya kami pun tiba di Korea Utara pada akhir 2012 dan memulai petualangan kami.

Satu bulan sebelum anak kami lahir, tepatnya bulan Maret 2013, sempat terjadi ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan karena latihan militer Korea Selatan bersama Amerika Serikat. Pada saat itu banyak anggota keluarga diplomat yang meninggalkan Korea Utara untuk sementara hingga kondisi semenanjung Korea menjadi lebih kondusif.

Namun karena pada saat itu istri saya sedang hamil besar, kami memutuskan untuk tetap bertahan di Pyongyang. Untunglah, perang tidak berkobar pada saat itu dan anak kami lahir dengan sehat pada April 2013.

Aktivitas sehari-hari

Karena saya berangkat ke Korea Utara untuk mendampingi istri, awalnya saya tidak memiliki pekerjaan tetap. Sesekali saya diminta untuk menjadi petugas dokumentasi untuk acara-acara kantor Kedutaan Besar RI (KBRI) di Pyongyang.

Dari sanalah kemudian saya berkenalan dengan beberapa orang dan akhirnya saya sering diminta untuk mengambil gambar di berbagai acara di Korea Utara. Hasil foto-foto tersebut kemudian saya jual dan saya pun mendapatkan pendapatan yang lumayan. Ditambah lagi, saya pun sering dikontak oleh beberapa kantor berita internasional seperti Reuters, NK News, dan lain-lain untuk men-supply foto-foto dari Korea Utara.

Kehidupan sehari-hari di Korea Utara berlangsung normal. Saya dan keluarga, khususnya istri saya, tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat lokal. Hanya saja, saat musim panas tiba, istri saya sering mendapatkan tatapan dari warga karena ia berhijab. Mereka pasti bingung mengapa ada orang yang berpakaian tertutup hingga ke kepala di cuaca yang panas. Namun selebihnya, istri saya selalu mendapatkan perlakuan yang normal-normal saja.

Setiap hari Jumat, saya juga bisa melakukan ibadah salat Jumat dengan nyaman di masjid kompleks Kedutaan Besar Iran. Begitu pula saat lebaran tiba. Umat Islam di Pyongyang dapat beribadah dengan tenang.

Jumlah komunitas Indonesia saat ini sekitar 35 orang, termasuk anak kecil. Ada warga Indonesia yang sempat tinggal di sana karena menikah dengan warga Korea Utara, ada pula yang bekerja dan kuliah di sana.

Anak pertama saya mulai masuk taman kanak-kanak pada April 2015. Meskipun orang asing diperbolehkan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri, namun saya dan istri memutuskan untuk menyekolahkannya ke sekolah internasional bersama orang asing lainnya.

Di sekolah tersebut, meskipun menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, seluruh tenaga pengajar adalah warga lokal. Dua minggu pertama, tiba-tiba saya mendengar anak kami menyanyikan lagu pujian untuk pemimpin besar Korea Utara. Kami pun sadar bahwa doktrin yang diberikan pemerintah setempat memang dilakukan pada warganya bahkan mulai dari usia dini.

Orang asing pun mendapatkan fasilitas internet dengan bebas di lokasi-lokasi tertentu. Bahkan kami dapat mengakses Facebook, Twitter, dan Instagram dengan mudah. Saya pun berkomunikasi dengan lancar via Skype dengan keluarga di Indonesia.

Namun, warga lokal memang hanya memiliki jaringan intranet—mereka hanya dapat membuka situs berita yang ditentukan oleh pemerintahnya. Bahkan mahasiswa di universitas pun hanya diizinkan membuka internet dalam waktu yang singkat dan terbatas hanya untuk situs yang ditentukan oleh staf pengajar.

Saat berjalan-jalan keluar kota, setiap warga asing diwajibkan untuk mendapatkan izin terlebih dahulu dari Departemen Luar Negeri Korea Utara. Setiap rombongan pun harus mengajak setidaknya satu orang warga Korea Utara selama perjalanan, entah itu sebagai guide, supir, maupun pengasuh anak. Warga asing tidak diperbolehkan meninggalkan Pyongyang tanpa melapor terlebih dahulu, bahkan untuk sekadar jalan-jalan.

Me with my wife & my 3rd daughter. – Last weekend (16-17 January 2016) we visited #Masikryong Ski Resort. While there we were enjoyed a wide range of facilities provided such as skiing & cable car that was newly installed on 2015 ago. There were few changes compared to last year, such as: 1. Hotel price increased, in 2015 it was $98/night, this year $150/night. 2. Skiing price increased too, in 2015 skiing for adults is $11, this year $40. For childrens under 13 years old the price was $7 last year, this year rose to $22. 3. Last year the temperature in the room was very hot, we even had to open the window to get the warmer temperature, but this year temperature in the room is warm which is better. 4. Last year #electricity is very stable, but this year we experienced frequent power #failure, even we had to wait for the elevator to work. 5. This year we found some of the equipments in my hotel room didn’t work like the kettle & hair dryer. 6. Water (mostly hot water) frequently off.

A photo posted by jakaparker.blogspot.com (@jakaparker) on

Keterbatasan interaksi dengan masyarakat lokal

Lokasi tempat tinggal kami adalah kompleks khusus untuk orang asing. Meskipun letaknya berdekatan dengan kawasan tempat tinggal warga lokal, namun terpisahkan oleh dinding setinggi 1,5 meter yang dilengkapi dengan kawat listrik dan CCTV 24 jam. Jadi, interaksi dengan masyarakat lokal memang terbatas.

Untuk urusan belanja keperluan sehari-hari, orang asing hanya boleh membeli di satu pasar yang letaknya sekitar 5 kilometer dari tempat tinggal kami, padahal ada banyak sekali pasar di Pyongyang. Jika ingin membeli barang yang lebih praktis, orang asing bisa juga membeli di toko-toko swalayan, namun terdapat bagian khusus untuk orang asing dengan harga yang lebih mahal. Barang-barang kebutuhan sehari-hari untuk orang lokal memang disubsidi oleh negara.

Meskipun masyarakat lokal mendapatkan pelajaran bahasa Inggris, kebanyakan dari mereka takut untuk berinteraksi langsung dengan warga asing. Ada anak kecil yang pernah menghampiri kami dan mengucapkan “hello”, tapi setelah itu langsung kabur.

Kesan terhadap Korea Utara

Jika dilihat, masyarakat Korea Utara memang cenderung konservatif. Seperti yang terlihat di foto-foto yang beredar, pakaian yang dikenakan juga terkesan kuno. Di musim panas, para perempuan menggunakan rok yang panjangnya selalu di bawah lutut.

Meskipun ada barang-barang mewah seperti mobil Audi, Mercedez Benz, hingga jam tangan Rolex, benda-benda tersebut hanya mampu dibeli oleh orang-orang kaya saja yang berdasarkan pengamatan saya merupakan anggota partai atau keluarganya.

Meskipun begitu, masyarakat setempat, menurut saya, tetap sangat menghormati mereka. Jika ada mobil dengan plat yang diawali angka 7, para petugas keamanan di jalan pasti langsung hormat. Itu merupakan tanda kendaraan milik para anggota partai.

Namun saya tidak tahu, apakah mereka benar-benar mencintai negara dan pemimpinnya, atau hanya takut dengan konsekuensi yang akan mereka terima jika tidak tunduk pada rezim. —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!