Palagan terakhir Ibu-Ibu Kendeng

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Palagan terakhir Ibu-Ibu Kendeng
Presiden Jokowi sempat mengirimkan utusannya untuk menemui Ibu-Ibu Kendeng.

 

JAKARTA, Indonesia— Ambarwati menatap lekat pada sekumpulan wartawan yang mengambil foto kakinya. Ia kemudian tersenyum. Kakinya yang terbalut gips itu diselonjorkan di depan kotak kayu yang akan menjadi ‘tempat pasungannya’ entah sampai kapan.

Kakinya akan ditanam atau dipasung di kotak berisi semen sebagai protes terhadap pembangunan pabrik semen di kampung halaman mereka di Pati, Jawa Tengah.  

Ia kemudian memanggil penulis dengan sebutan ‘mbak’. Penulis dan Ambarwati belum pernah bertemu sebelumnya, apalagi saling mengenal.

Tapi dia menggapai tangan penulis seolah kenalan yang lama tidak bersua sembari berkata: “kayaknya saya kenal. Mbaknya ini selalu ada kalau kami demo. Mbaknya di Semarang waktu itu ada juga kan?” 

Tentu saja penulis menggeleng kepala karena memang belum pernah pergi ke Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah. Sekalipun tidak.

Penulis kemudian mendekati Ambarwati dan mulai bertanya tentang rencana 9 perempuan asal Kendeng ini dengan dua sak semen, batu kerikil, pasir, dan air. 

Kaki ibu-ibu kendeng digips. Foto oleh Febriana Firdaus /Rappler

Ambarwati mulai bercerita tentang lahan sawah di kampung halamannya di Pati, kawasan pengunungan Karst Kendeng, Jawa Tengah. Dia berbicara mengenai musim katiga dan musim labuhan.

Dia menuturkan pada musim katiga ia biasanya menanam semangka, sedangkan pada musim labuhan ia menanam padi. 

Gemah ripah loh jinawi alias tanah makmur dan subur. Kehidupan warga Kendeng menyatu dengan alam. Tetapi itu dulu.

Sekarang Ambarwati dan warga di Pati serta daerah sekitar sedang gundah gulana. Itu semua berawal dengan kabar pembangunan sebuah pabrik semen di wilayah mereka.

Pembangunan pabrik semen dilakukan oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), anak perusahaan Indocement.

Ia tahu pabrik itu akan menggali perut bumi dan memporak-porandakan ‘ibu pertiwi’ yang selama ini ia jaga. 

Sekarang, kekhawatiran Ambarwati sudah menjadi kenyataan. Saluran air mulai terganggu.

Tapi kekhawatirannya ini ternyata berkebalikan dengan fakta di lapangan bahwa pembangunan pabrik semen itu akan terus berjalan karena sudah mengantongi izin dari bupati yang menerbitkan izin lingkungan (AMDAL).

Anak perusahaan Indocement itu semakin perkasa karena menguasai 2.868 hektare lahan di Pati.

Ibu-ibu Kendeng menunggu giliran untuk disemen. Foto oleh  Febriana Firdaus /Rappler

Merasa tak nyaman dengan keberadaan pabrik semen tersebut, Ambarwati dan warga Pati lainnya mengajukan gugatan pada 2015 lalu. Langkah warga Pati ini lalu dikuti oleh warga di sekitar Karst Kendeng , seperti Rembang, Blora, dan Grobogan. 

Perjuangan yang dilakukan Ambarwati dan warga Pati-Kendeng membuahkan hasil. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan gugatan masyarakat Pati pada Selasa, 17 November 2015. Pelaksanaan sidang itu sempat diwarnai tangis haru warga Pati yang rela berjalan kaki 122 kilometer untuk menjemput keadilan. 

Bupati Pati tidak menerima kemenangan masyarakat Pati dan mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Tetapi kemenangan warga Pati tersebut tetap saja memberi inspirasi dan semangat kepada warga di tiga lokasi lain di sekitar pabrik semen untuk melakukan perlawanan hukum terhadap pabrik semen. 

Sayang, gugatan warga Rembang tak berujung kemenangan seperti warga Pati. Majelis Hakim PTUN Semarang juga tidak menerima gugatan karena menilai tenggat waktu pengajuan gugatan telah kadaluarsa.

Sementara itu, sidang untuk warga Gerobogan masih akan dimulai. Untuk Blora, warga masih memantau perkembangan izin prinsip yang dikeluarkan oleh bupati untuk perusahaan.  

Perjuangan warga Kendeng belum berhenti di sini. Mereka tetap melakukan perlawanan kepada perusahaan semen. Pada Selasa siang di depan Istana Negara, warga Kendeng yang diwakili oleh 9 perempuan itu menyindir penghuni Istana Negara dengan ‘menanam’ kaki mereka di kotak berisi semen. 

Sambil menunggu kakinya ‘ditanam’, Ambarwati dan delapan ‘Kartini’ asal Kendeng melantunkan lagu Ibu Pertiwi dalam bahasa lokal. Ia kemudian menuturkan bahwa lagu itu bermakna tentang Ibu Pertiwi yang selalu melindungi perjuangan mereka. 

Staf khusus presiden, Jaleswari, menyalami ibu-ibu Kendeng. Foto oleh Febriana Firdaus /Rappler

“Ibu Pertiwi itu selalu ada menjaga kami. Tadi saja waktu kami mau ke Jakarta, kami berdoa, semoga tidak panas,” katanya.

Benar juga, cuaca memang mendung siang itu, meski kemudian panas terik sinar matahari cukup menyengat dan membuat keringat mengucur di wajah mereka. 

Saat giliran kakinya ditanam, Ambarwati menoleh ke penulis dengan mata berkaca-kaca. “Saya ndak papa, saya kan sudah nekad ya?” katanya seraya meminta dukungan. Pandangan matanya pun jatuh pada kakinya yang mulai disemen. 

Lalu ia memandang lagi ke penulis. “Saya ini menangis bukan karena kaki saya sakit. Saya kasihan nanti sama anak cucu saya, bagaimana hidup mereka nanti dengan adanya pabrik semen,” katanya. 

Selama kakinya disemen, Ambarwati tak berhenti menitikkan air mata. Ia mengusap wajahnya berkali-kali dengan selendang yang ia bawa dari kampung halamannya. 

Dipasung semen. Foto oleh Febriana Firdaus /Rappler

Ia kemudian menyalami penulis dan berujar. “Apakah saya berdosa sama Pak (Presiden Joko Widodo) Jokowi? Benar ya saya nyebutnya Pak Jokowi atau Pak Presiden?” Penulis mencoba menenangkannya dengan mengatakan Jokowi tak akan marah jika ia memanggil Pak Presiden saja. 

Tapi hingga pukul 05:00 sore, presiden yang ia hormati itu tak kunjung datang. Presiden Jokowi hanya mengirim stafnya, Jaleswari Pramodhawardhani untuk menyampaikan pesan. “Yang kuat ya bu,” kata Jaleswari pada Ibu-Ibu Kendeng.

Jaleswari kemudian pamit. Dan beberapa saat kemudian, Rappler melihat mobil RI 2 alias Wakil Presiden Jusuf Kalla melintas. Sayangnya beliau tak mampir. 

Ibu-Ibu Kendeng pun ikut pamit. Protes hari ini selesai. “Besok saya kembali lagi ke sini,” kata Ambarwati. Tekadnya bulat, seakan ini adalah palagan terakhir untuknya, ketika bupati dan penegak hukum sudah tak bisa diharapkan lagi.—Rappler.com

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!