OPINI: Jokowi berselancar di ‘Jalan Ketiga’

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

OPINI: Jokowi berselancar di ‘Jalan Ketiga’

EPA

Pemerintahan ini mencoba membangun kebijakan yang berimbang: melayani investor seraya menenangkan gelisah penggiat lingkungan hidup

ATLANTA, Amerika Serikat – Ada dua kebijakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang menarik perhatian saya pekan ini.  Pertama, Jokowi memutuskan moratorium konsesi lahan sawit dan lahan tambang.  Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menggelar jumpa pers di rumah dinasnya pada Jumat, 15 April, meminta Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta menghentikan proses reklamasi Pantai Utara Jakarta. 

Setelah heboh selama hampir dua pekan sejak KPK menangkap Muhamad Sanusi  dalam kasus dugaan suap reklamasi, Menteri Susi memberikan jalan tengah:  reklamasi dihentikan sementara, pengembang dan Pemprov DKI diminta penuhi persyaratan termasuk  Analisa Dampak Lingkungan (AmDal).

Saya memasukkan sikap terakhir Susi, yang mengatakan bahwa rekomendasinya adalah hasil koordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, sebagai sikap Jokowi. Meskipun Jokowi dan kabinetnya dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa kabinet dalam keadaan solid, tapi pada kenyataannya tidak mudah membangun kesamaan sikap di antara menteri tanpa perintah Jokowi.  Biasanya gaduh dulu, seperti kasus terkait izin operasi untuk taksi dengan aplikasi daring (online). 

Manakala titah Jokowi turun, memaksa Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk mencari solusi.  Hasilnya, pengelola taksi aplikasi harus memenuhi izin sebagai pengelola angkutan umum, persis seperti pengelola taksi konvensional. Intinya, Jokowi paham ada Undang-Undang dan aturan positif yang berlaku, tetapi Jokowi tak ingin menghentikan seketika sebuah proses bisnis yang telah berjalan.  Ini terjadi dalam kasus izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dan izin operasi taksi aplikasi.

Bagaimana dengan sikap moratorium lahan sawit dan tambang? 

Mari kita tengok ke belakang, terutama sejak kebakaran hutan yang begitu parah di tahun 2015 yang ditaksir mengakibatkan kerugian sekitar Rp221 triliun. Pemerintah menerbitkan aturan penundaan izin baru di lahan gambut mulai 31 Mei 2015.  Ini dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.

Lantas, dalam acara Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar dalam Rangka Hari Hutan Internasional pada Kamis, 14 April, Jokowi umumkan rencana moratorium laham kelapa sawit dan lahan tambang.  Menurut Jokowi, lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini sudah cukup dan dapat ditingkatkan kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi yang ada.  “Lahan yang sekarang sudah ada asal bibitnya itu betul, bibitnya benar, mungkin produksi bisa lebih dari dua kali.  Kalau bisa dikerjakan itu bisa naik,” ujar Jokowi.

Soal moratorium lahan tambanga,  Jokowi mengatakan tidak akan memberikan izin kepada perusahaan tambang untuk membuka lahan untuk perluasan wilayahnya.  “Jangan sampai terjadi lagi konsesi pertambangan menabrak hutan konservasi,” ujarJokowi seraya mengingatkan soal tata ruang yang berlaku. Menurut Jokowi, kebijakan moratorium izin lahan tambang dan kelapa sawit perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian alam mengingat posisi Indonesia sebagai paru-paru dunia.

Dua kebijakan itu, baik soal penghentian pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta maupun moratorium izin lahan tambang dan kelapa sawit, sudah pasti mendapat respon positif dari penggiat lingkungan hidup dan mereka yang memandang perlunya ketegasan dalam mematuhi aturan tata ruang.

Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan bahwa dari sisi masyarakat adat dan petani, kebijakan moratorium bisa mencegah konflik baru, memberikan ruang untuk menyelesaikan tumpukan konflik dan tumpeng tindih izin.  “Ini kesempatan untuk menata ulang alokasi ruang yang saat ini sudah sangat sesak,” kata Abdon, menjawab pertanyaan saya. 

Bagi pemilik perusahaan yang memiliki konsesi lahan tambang dan kelapa sawit, kebijakan moratorium ini juga tidak menganggu, mengingat situasi ekonomi melambat dan harga komoditas yang turun.  Kalaupun sempat naik, seperti yang terjadi dengan kelapa sawit, situasi pasar sedang tidak menentu.  Di sektor pertambangan pun, pemutusan hubungan kerja menjadi mimpi buruk dalam setahun terakhir.  Buat apa berpikir perluasan lahan?

Dari sisi izin reklamasi, keputusan menghentikan sementara mungkin tidak memuaskan bagi penggiat lingkungan dan yang menentang reklamasi Pantai Utara Jakarta.  Tapi ini model “jalan tengah” atau “jalan ketiga” yang dipilih pemerintahan Jokowi, dengan maksud meredam kontroversi seputar pembangunan tanpa IMB yang sudah terlanjur terjadi, juga izin reklamasi yang “cacat”.  Kita memang bisa berdebat panjang soal duduk perkara izin reklamasi. Mana Peraturan Presiden dan UU yang berlaku.

Apa yang disampaikan Susi menjadi gambaran posisi Jokowi, yang mestinya dipahami juga oleh Gubernur Basuki Tjahaya Purnama.  Nelayan sejak awal menggugat proses pembangunan yang sedang berjalan di pulau hasil reklamasi.

“Reklamasi dilakukan tanpa adanya rekomendasi serta tidak adanya Perda Zonasi wilayah pesisir,” kata Susi kepada wartawan Jumat, 15 April.  Menurut Susi, Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah salah satu pihak yang dapat memberikan rekomendasi dalam kaitannya dengan proyek reklamasi.  “Bila DKI ingin mereklamasi pantai, maka harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah pusat, baru setelah itu bisa dilaksanakan sesuai dengan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir di setiap daerah.

Gubernur Ahok menanggapi dengan mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak menentang reklamasi, asalkan tidak merusak lingkungan.  Ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi tak menerbitkan izin pembangunan di pulau hasil reklamasi. 

Jadi, saya menganggap “jalan ketiga” yang diimplementasikan Jokowi atas kasus yang menjadi perhatian publik adalah “jaring pengaman” bagi posisi politiknya, pula posisi pemerintah.  Meskipun sebagian pihak, termasuk saya, menganggap Jokowi cukup berhasil melakukan konsolidasi kekuatan politik, posisinya belum (dan tidak akan) pernah aman.  Ini terlihat misalnya dari tarik-ulur rencana dan komposisi kabinet hasil kocok-ulang alias reshuffle. Jokowi seolah duduk di atas tumpukan jerami dilema.   Jokowi ingin melayani kepentingan investor, seraya berupaya menenangkan kegelisahan penggiat lingkungan hidup.

Keputusan moratorium izin perluasan lahan kepala sawit dan tambang juga dilakukan menjelang kunjungan Jokowi ke empat negara di Eropa, pekan depan.  Jokowi memang tidak berkunjung ke Perancis, negeri yang menyulitkan eksportir minyak sawit dengan pengenaan pajak tambahan pajak impornya. Tapi konsumen Eropa sangat kritis terhadap produsen minyak sawit yang dianggap melaksanakan produksi secara tidak berkelanjutan.  Kerikil dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi di dalam negeri bisa mengganggu tercapainya kesepakatan kerjasama ekonomi komprehensif antara Indonesia dengan Eropa. Bukan halangan batu besar yang bisa menjatuhkan.  Kerikil yang bisa membuat kita terpeleset.  Ini disadari betul oleh Jokowi, karena itu ia cenderung memilih jalan ketiga.  Seorang pemimpin memang tidak selalu bisa memuaskan semua pihak.  Masalahnya, memilih jalan ketiga pun ada risikonya, mengecewakan komunitas peduli Hak Asasi Manusia yang mendukung Jokowi ke panggung kekuasaan.  Ini bisa terjadi di kasus penuntasan tanggung jawab Tragedi 1965,  Pembangunan pabrik semen di Kendeng, sampai belum adanya titik-terang bagi ibu-ibu yang terus melakukan Aksi Kamisan di depan istana  – Rappler.com

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!