US basketball

Kartini: Yang patah dan tumbuh bersemi

Olin Monteiro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kartini: Yang patah dan tumbuh bersemi
Makna menjadi Kartini, 100 tahun kemudian

 

“Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang; jalan itu berbatu-batu, berjendul-jendul, licin … belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai di ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia.” 

—Surat Kartini, 7 Oktober 1900 kepada Nyonya RM Abendanon – Mandri. 

Bagaimana Kartini tahu bahwa dia patah di tengah jalan dalam perjuangannya? Apakah dia pernah mengira surat-suratnya akan menjadi tonggak pemikiran emansipasi perempuan Indonesia? 

Bagaimana pandangan beliau ketika jalan yang dirintis, masih berliku, masih berbatu lebih 100 tahun sejak suratnya ditulis? Bagaimana hatinya tergetar melihat perempuan Kendeng, Rembang, disemen kakinya di depan Istana Negara demi mencuri perhatian Presiden agar pabrik semen tidak merusak lahan pertanian mereka?

Bagaimana beliau melihat para perempuan Kendeng berjuang mencari keadilan bagi lahannya yang dilindas Pabrik Semen bersertifikat negara? 

Menjadi perempuan setelah 100 tahun Kartini

Ketika saya kecil, Kartini identik dengan perayaan berkebaya dan parade memakai baju daerah. Sosok Kartini selalu disenandungkan dan dirayakan dengan gempita feminitas perempuan ala rezim Orde Baru. Ia adalah simbol emansipasi dan pendidikan, sekaligus putri Indonesia yang ayu sesuai harapan bangsa terhadap “sosok perempuan Indonesia”.

Sayangnya, simbolisasi ini tidak dibarengi perayaan akan pemikirannya yang sangat penting: Soal nasionalisme, menjadi perempuan Jawa, permasalahan karakter bangsa, dampak kolonialisme, pernikahan, hak perempuan untuk pendidikan sampai kebebasan menyatakan pendapat. 

Kartini adalah sosok “pionir” atau pelopor perempuan pemikir yang tulisannya bertahun-tahun setelah kepergiannya menjadi inspirasi bagi banyak perempuan di Indonesia. 

Di abad 21 ini, berbagai permasalahan perempuan Indonesia menghadapi pasca jalan yang beliau rintis untuk perbaikan hak pendidikan perempuan. Lebih dari 200.000 sekolah bertebaran di penjuru Indonesia dan anak perempuan dipastikan ikut bersekolah dengan program wajib belajar 9 tahun.

Mungkin ibu Kartini akan bangga, karena sekarang ini anak perempuan sudah banyak bersekolah. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Mungkin ibu Kartini akan bangga, karena sekarang ini anak perempuan sudah banyak bersekolah dan tidak takut lagi menyatakan keinginannya untuk bersekolah sampai tinggi. Dengan berbagai problem dan kerumitan dunia pendidikan Indonesia, mungkin ibu Kartini lumayan bisa sedikit bernafas lega dengan begitu banyaknya anak perempuan bisa bersekolah.

Perempuan Indonesia di abad ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari kesehatan, representasi politik, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi dalam pekerjaan, kurangnya partisipasi dalam kebijakan publik, peraturan daerah yang mengekang tubuh perempuan, kemiskinan, buruh migran perempuan, lemahnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga, dan begitu banyak hal lainnya. 

Begitu banyaknya persoalan dan dinamika, maka Kartini akan terperangah. Apakah ia akan bahagia? Bingung? Kita tidak akan pernah tahu. Yang pasti, jalan berliku itu masih panjang.

Perdebatan domestik vs publik bagi perempuan Indonesia terus berlanjut di mana perempuan sebenarnya “masih” diharapkan menjadi pemegang peran domestik, dimana ide emansipasi dan kesetaraan sudah digaungkan dimana-mana oleh gerakan perempuan Indonesia sejak Kartini. 

Lebih lanjut, di Indonesia sekarang, berbagai hal sudah dilakukan untuk memastikan perlindungan dan hak-hak perempuan dalam ranah publik, seperti meningkatkan kuota 30 persen perempuan dalam proses politik Indonesia, bermunculannya tokoh-tokoh perempuan inisiator dan pemimpin yang memberikan warna bagi ruang publik Indonesia.

Di sini, nafas Kartini mungkin sudah agak panjang, walaupun lagi-lagi tidak ada jaminan dengan pemimpin perempuan, situasi politik Indonesia akan berubah menjadi lebih berperspektif gender.

Perempuan Indonesia sekarang juga berhadapan lagi dengan satu musuh yang sedang bangkit, yaitu “fanatisme agama” yang kemudian berwujud pada pembatasan gerak perempuan, tubuh perempuan dan peran sosialnya. Ketika Perda Syariah berlaku di Aceh membatasi ruang gerak, cara berpakaian perempuan, bahkan dengan siapa perempuan harus berteman. 

Sebuah gerakan yang kelihatan sporadis tapi menjadi sistemis, sehingga meningkatnya penggunaan jilbab pada perempuan Indonesia mulai terlihat, belum lagi maraknya kelompok organisasi berdasarkan agama tertentu yang kemudian “mendukung” kembalinya perempuan pada posisi domestik saja, demi “keamanan” dan kestabilan suatu masyarakatnya.

Perempuan Indonesia kini masih mencari posisinya dalam satu pertarungan besar, dimana stereotip, diskriminasi masih bertahan dan jalannya berliku panjang, seperti kata Kartini. Beliau dulu merasa patah, tetapi dalam “patah” kehidupannya Kartini meninggalkan berjuta pemikiran.

Perda Syariah di NAD melarang perempuang dibonceng di motor. Foto oleh Hotli Simanjuntak/EPA

Feminisme Indonesia, bukan sekadar ideologi

Gerakan perempuan Indonesia menjadi signifikan ketika Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang berdiri sebelum tragedi 1965 mengambil alih ruang kosong itu, antara Kongres Perempuan I yang terjadi 1928, di mana berbagai isu terkait kehidupan perempuan mulai diperdebatkan di meja diskusi. Isu seperti poligami, sekolah bagi anak perempuan, beasiswa bagi perempuan juga pendirian lembaga atau kursus pemberantasan buta huruf.

Pada awalnya, gerakan perempuan Indonesia terlihat sebagai pendamping bagi gerakan nasionalisme Indonesia. Padahal gerakan ini berjalan dan tumbuh bersamaan dengan gerakan pemuda dan nasionalis Indonesia. Sejarah resmi yang dipakai dalam sistem pendidikan kita jarang, bahkan sering lupa, mencantumkan fakta sejarah ini. Kenapa ini terjadi?

Seperti yang diperjuangkan Kartini pada surat-suratnya, menjadi perempuan Jawa adalah “terbelenggu” dalam tata cara atau adat istiadat di mana perempuan bukan utama, atau subordinasi dalam sistem adat. Kondisi dan realita keadaan norma masyarakat menjadikan perempuan sebagai pihak yang dinomorduakan atau didiskriminasikan secara “sistemik” mulai dari lahir, pertumbuhannya, sampai ketika dia harus melangkah keluar dari rumah.   

Perempuan harus menjadi anak, adik, istri, ibu, dan segudang label lain sesuai yang dikonstruksikan dari masyarakatnya. Ketika dia menjadi yang di luar dari struktur sosialnya, dia menjadi aneh atau bahkan pembangkang.

Hal ini terlihat nyata dalam kehidupan Kartini, yang ingin mengubah pola relasi atau tata cara adat yang “membelenggu” perempuan. Kartini ingin bisa berlari sama seperti laki-laki, keluar rumah, belajar, sekolah ke Belanda dan melihat dunia. Dalam kondisi adat yang begitu membatasi, Kartini mengalami masih dipingit 4 tahun tidak boleh keluar kamar. Di dalam masyarakat yang mengamini perilaku adat atau sistem sosial seperti ini, perempuan tidak punya pilihan lain.

Menjadi feminis bagi Kartini adalah belajar, mencari tahu, dan memikirkan kepentingan generasi perempuan Jawa ke depannya. Mungkin ia tidak menamakan dirinya feminis, tapi itulah contoh kehidupan seorang feminis. Di sinilah perilaku feminisme bermulai, dari pikiran. 

Feminisme bukanlah hal menakutkan atau keberatan, tapi dia suatu ideologi yang memperjuangkan hak dan keadilan perempuan menjadi lebih baik. Dan bahwa hak tersebut ada dalam jiwa perempuan Jawa, perempuan Sumatera, Papua, atau dunia manapun. Pemikiran dalam diri seorang feminis, seperti Kartini, bukan ide orang Barat atau luar saja, tapi tercetak dalam pemikiran, perasaan, dan pekerjannya.

Dalam surat-suratnya, Kartini menulis menjadi perempuan Jawa adalah “terbelenggu” dalam tata cara atau adat istiadat.

Pada perempuan Kendeng, Rembang, yang baru saja beraksi pada pertengahan April 201 di depan Istana Negara dengan dipasung semen, untuk memprotes pabrik semen di daerahnya, ini adalah suatu pencapaian politik yang sangat cerdas. Tidak ada ide orang luar atau Barat, ketika ibu-ibu petani di Kendeng merasa perlu memprotes kebijakan yang pro pada industri bukan pada rakyatnya. 

Keberadaan pabrik semen yang mengganggu lingkungan hidup di Rembang juga berdampak pada kehidupan perempuan petani di sana. Selain kehilangan tanahnya dan hasil buminya, perempuan juga tidak memiliki sumber daya bagi keberlangsungan hidup anak-cucunya, karena cuma tanah itu yang mereka miliki. Pola pemikiran feminisme yang menuntut keadilan bagi perempuan petani dipakai tanpa mereka perlu bicara soal teori-teori. Di sinilah kehidupan nyata dan perjuangan feminisme berjibaku.

Di era millenium ini, feminisme menjadi ideologi yang sudah dianut banyak aktivis perempuan, aktivis laki-laki pendukung isu perempuan, organisasi perempuan, yayasan, atau insitusi perempuan yang ada. Tetapi apakah itu menjadi bagian dalam diri orang yang bekerja di sana atau bekerja dalam gerakan feminisme Indonesia itu? 

Menjadi feminis bukan sekadar ideologi atau teori feminism yang dihapal. Tetapi dia memerlukan rasa, pemikiran, dan aplikasi dalam karya nyata, seperti Kartini mendirikan sekolah perempuan. Ada urgensi dalam kegiatan seorang feminis dan karyanya harus memberikan perubahan bagi masyarakatnya, terutama perbaikan hak perempuan.

Yang patah lalu tumbuh bersemi

Bagi anak-anak, Kartini identik dengan perayaan berkebaya dan parade memakai baju daerah. Foto oleh Fikri Yusuf/Antara

Pada 2000-an awal, begitu banyak perdebatan soal feminisme dan apakah Kartini itu seorang feminis atau bukan. Entah mengapa kata feminisme atau menjadi seorang feminis menjadi perdebatan begitu sengit, bahkan di kalangan gerakan perempuan sendiri. 

Ada hantu yang melekat pada predikat feminis, padahal perjuangan feminisme bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Istilah feminisme yang dianggap kebarat-baratan atau dipenuhi ideologi Barat, hanya disampaikan karena ketakutan sepihak akan perubahan peran perempuan dalam kehidupannya. 

Hal ini disampaikan sejak argumentasi Mary Wollstonecraft dalam bukunya The Vindicaton of the Rights of Woman yang mengkritisi bahwa perempuan punya hak berpendidikan karena perempuan adalah edukator pertama dalam keluarga, plus harus bisa setara dengan suami dalam kehidupan sosialnya, di zaman yang saat itu masih sangat mendiskriminasikan hak perempuan. 

Feminisme ingin melihat bagaimana pemahaman ketidaksetaraan gender dalam masyarakat bisa merugikan perempuan. Dan bahkan ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak perempuan seharusnya tidak terjadi karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. 

Ketika feminisme menjadi cara berpikir, dia juga memerlukan aplikasi dalam nilai dan perilaku politis dalam masyarakat, supaya hak-hak bisa dicapai. Di sinilah ketika feminisme mungkin banyak disalahartikan menjadi perempuan meminta lebih, karena masyarakat tidak melihat perubahan itu sebagai hal penting.

Ketika hak-hak perempuan dan kesetaraan masih dianggap tidak penting atau dianggap tidak sesuai nilai-nilai masyarakat, maka feminisme harus diperjuangkan. Hak-hak perempuan sama sebagai hak asasi manusia, sesuatu yang ada melekat sejak manusia lahir.

Menjadi Kartini pada masanya adalah suatu hak istimewa dari seorang putri Jawa yang berusaha mendobrak nilai-nilai masyarakat Jawa pada saat itu. Sayangnya pada waktu itu Kartini dalam perjuangannya kemudian meninggal karena kurangnya pertolongan medis bagi proses kelahiran anaknya.

Banyak sekali orang lupa, bahwa hak kesehatan reproduksi dan proses melahirkan anak bagi perempuan Indonesia adalah bagian dari perjuangan perempuan Indonesia yang tak berujung. Hal mendasar hak atas kesehatan perempuan ini belum berubah dari dulu sampai sekarang.

Sampai saat ini, angka kematian Ibu di Indonesia masih sekitar 102 per 100.000 kelahiran pada 2015. Persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia yang akan memiliki anak masih cukup tinggi setelah seratus tahun kepergian ibu Kartini.

Apakah ini artinya? Persoalan hak kesehatan perempuan, masih menjadi hal yang signifikan untuk kembali dilihat, walaupun pemerintah sudah mulai memperbaiki infrastruktur kesehatan, tetapi angka ini belum mengecil.

Ibu-ibu Kendeng menanam kaki mereka di semen. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Kematian Kartini adalah bagian dari hal yang patah, berhenti dari perjuangan seorang Kartini. Pada saat yang hampir sama dengan Kartini, ada Dewi Sartika yang juga mendirikan sekolah. Semangat dan inspirasi mereka menumbuhkan banyak inspirasi dan pemikiran berbagai perempuan lainnya paska kepergian beliau. 

Keluarga Kartini tetap melanjutkan sekolah perempuan yang dirintisnya. Ada banyak perempuan lain berjuang, seperti Rohana Koedoes, perempuan Minang yang menjadi perempuan pertama pada 1912 melahirkan surat kabar, seperti mimpi Kartini. Perjuangan-perjuangan hak pendidikan perempuan inilah bagian dari perjuangan feminisme Indonesia walaupun mereka belum disebut feminis pada saat itu.

Kemudian pada 1928, beberapa perempuan seperti Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari, dan lainnya menggagas kongres perempuan pertama di Indonesia. Berbagai organisasi perempuan tumbuh dan bahkan Gerwani umpamanya konon memiliki anggota 650.000 pada 1965 di seluruh Indonesia dan aktivis dalam kegiatan sosial, pemberantasan buta huruf dan perbaikan pendidikan perempuan.

Organisasi Gerwani ini kemudian terhenti karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dilarang sejak 1965. Setelah kejadian ini, pemerintah hanya mengizinkan organisasi terkait pemerintah seperti Dharma Wanita dan KOWANI.

Pada awal 1980-an, berbagai organisasi perempuan Indonesia mulai aktif bekerja mendampingi perempuan atau hak-hak perempuan, seperti Yayasan Kalyanamitra, LBH APIK, Mitra Perempuan, Perempuan Mahardhika, Jurnal Perempuan, dan lainnya.

Pasca Reformasi 1998, organisasi perempuan lain mulai bersemi lagi dan menyemarakkan gerakan perempuan Indonesia dengan berbagai fokus programnya. Sekarang, sudah ada ratusan organisasi perempuan dan ribuan programnya di Indonesia.

Periode ini, feminisme sudah menjadi kata yang lebih “ramah” bagi perjuangan gerakan perempuan Indonesia, salah satu jurnal feminisme pertama, yaitu Jurnal Perempuan, lahir dalam masa ini dan menjadi salah satu tonggak dokumentasi feminisme terpenting di Indonesia.

Para perempuan Kendeng yang berjuang bagi lingkungannya dan masyarakatnya adalah pengorganisasian masyarakat yang juga menjadi bagian dari pemikiran feminisme Indonesia. Di luar itu ada banyak inisiatif feminis lain yang muncul di Aceh, seperti Flower Aceh, Balai Syura Inong Aceh.

Lalu berbagai organisasi perempuan seperti Rumah Perempuan & Jaringan Perempuan Indonesia Timur di NTT, Sekolah Perempuan – Institut Mosintuwu di Sulawesi Tengah, Swara Parangpuan di Menado, Forum Peduli Perempuan dan Anak di Ambon, dan berbagai organisasi di Papua yang memberi warna para gerakan feminis Indonesia dengan keunikannya.

Kini, feminisme dan tokoh-tokoh muda feminis Indonesia bermunculan, berbagai inisiatif kegiatan feminis berbasis komunitas atau online sudah terlahir dari rahim gerakan perempuan Indonesia yang terus berjalan, perlahan tapi pasti. Kita boleh berbangga bahwa Kartini punya legacy atau warisan yang bukan sekadar kebaya, tapi pemikiran yang bercabang bagai pohon kehidupan yang tidak berhenti menjalar.

Menyambung waktu dan ruang yang patah setelah ibu Kartini dan Gerwani bubar, maka yang bersemi mekar ini semoga bisa dirawat dan bekerja bersama untuk membangkitkan ide-ide feminisme yang lebih cemerlang lagi, di tengah tantangan yang tetap rumit dan berduri. —Rappler.com 

Olin Monteiro adalah seorang aktivis perempuan, penulis, penerbit buku independen, traveler, dan produser film dokumenter.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!