Ahok, pemimpin yang berpihak pada mayoritas

Amalinda Savirani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ahok, pemimpin yang berpihak pada mayoritas

ANTARA FOTO

Mengapa Pemprov DKI lebih mengutamakan mayoritas daripada melindungi yang lemah, seperti warga miskin?

Pernyataan Gubernur DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama bahwa ia siap membunuh 2.000 warganya untuk menyelamatkan 10 juta warga lainnya pernah menghiasi media pertengahan tahun lalu. 

Rentetan kebijakan penggusuran yang ia lakukan belakangan ini di ibu kota, seperti di Kampung Pulo, Jakarta Timur; dan Kalijodo, Luar Batang, dan Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara, bertujuan untuk penataan kota, yang konon bermanfaat bagi mayoritas warga Jakarta. 

Kasus terakhir adalah proyek reklamasi 19 pulau buatan di Teluk Jakarta. Ahok menyatakan proyek reklamasi yang dikelola sektor swasta ini untuk kepentingan publik, dengan dalih pertumbuhan ekonomi DKI. Dampak dari proyek reklamasi ini, menurut data Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), sekitar 17 ribu nelayan akan kehilangan mata pencaharian

(BACA: Gugatan nelayan dari Muara Angke)

Dalam rangka menopang argumen kemanfaatan itu, Ahok dengan sangat baik melakukan penyederhanaan masalah. 

Masalah banjir yang sangat kompleks, misalnya, disederhanakan sebagai “perilaku warga miskin yang tidak tahu diri menduduki tanah negara yang merupakan wilayah resapan air”. Padahal, masalah banjir menyangkut penurunan permukaan tanah di ibu kota, tata kelola air bersih, pengelolaan sampah, isu status tanah, dan juga hubungan DKI dengan daerah tetangganya

Saat warga menolak dipindahkan ke rumah susun (rusun) yang jauh dari pusat kegiatan penghidupan mereka, label baru melekat pada mereka sebagai “kelompok yang tidak tahu diri dan tidak tahu berterimakasih pada pemerintah”. 

Padahal, rusun dibuat tanpa mengenali secara mendalam relung-relung kehidupan (livelihood) warga miskin, bahwa warga miskin tercerabut dari kehidupan asli mereka dan tidak ada pengganti bagi sumber penghidupan tsb. 

Pindah ke rusun adalah momentum pemiskinan warga yang sudah miskin. Publik kebanyakan mengamini berbagai label terhadap orang miskin ini dalam rangka membenarkan pembelaan pada kepentingan mayoritas. 

(BACA: Kehidupan di Marunda pasca relokasi Pasar Ikan)

Dari label ini, Ahok memahami orang miskin sebagai pengganggu kemajuan ibu kota. Dari pengkerangkaan ini, mengalirlah berbagai kebijakan terhadap kelompok miskin, mulai dari  kekerasan verbal  sampai penggusuran yang bukan hanya melibatkan Satpol PP dan polisi, melainkan juga TNI.

Pengkerangkaan dan penggunakan aparat militer dalam mengurusi orang miskin di Jakarta adalah salah satu bentuk pembelaan kelompok terbanyak dengan mengorbankan kelompok minoritas. Posisi membela kelompok mayoritas ekonomi di ibu kota menjadi cara pandang utama, dan menjadi semangat semua kebijakan Pemprov DKI.  

Gagasan utilitarianisme 

RUMAH BARU. Salah satu sudut ruangan di rusunawa Marunda tempat relokasi warga dari Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Nalar pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh Ahok memiliki kesamaan dengan cara berpikir filsafat utilitarianisme. 

Ide pemikiran ini adalah aspek kegunaan (utility) dari sesuatu. Pertanyaan dasar pemikiran ini adalah: “What is in use?” Apa gunanya sesuatu? 

Semakin tinggi aspek kemanfaatan sesuatu, semakin baik. Semakin banyak orang yang dapat memanfaatkan sesuatu tersebut, semakin baik. 

Adagium yang sangat terkenal dari pemikiran ini adalah “the greatest happiness of the greatest people”. Pemikiran filsafat ini dipopulerkan oleh filsuf Inggris, John Stuart Mill, yang sangat mengagumi filsuf Jeremy Bentham, tokoh pertama yang merumuskan filsafat pemikiran ini. 

Pertanyaan kunci yang mendasari konstruksi berfikir para filsuf ini adalah, “What is in use?” Apa gunanya sesuatu itu?  

Aspek kegunaan adalah hal terpenting dalam menilai sesuatu sebagai yang baik atau tidak. Tidak heran kalau pemikiran ini dianggap membenarkan praktek tirani oleh mayoritas.

Selain menekankan derajat kemanfaatan yang tinggi bagi kelompok mayoritas, pemikiran utilitarian menekankan hasil akhir (kemanfaatan) lebih penting daripada proses mencapai hasil itu (ends justify means). 

Tidak penting bagaimana cara atau proses mencapai tujuan kemanfaatan dilakukan — misalnya dengan menggusur kelompok minoritas ekonomi atau warga miskin— yang penting adalah tercapainya tujuan Jakarta Baru. Yang terpenting adalah manfaat bagi mayoritas. 

Dengan cara berpikir ini, praktik perbudakan abad 18 yang dilakukan oleh warga kulit putih terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat dapat dibenarkan, karena kemaslahatan yang diperoleh oleh ekonomi AS, yakni warga kulit putih.

Upaya menjamin aspek kemanfaatan maksimal bagi kelompok mayoritas ini adalah pentingnya keberadaan aturan main yang jelas. Semua aturan main yang dapat membawa derajat kemanfaatan yang tinggi harus ditegakkan. Lepas dari aturan main itu telah berada dalam jalur demokrasi formal, atau tidak. Yang penting ada aturan main yang dapat membenarkan tindakan. 

Tidak penting bagaimana cara mencapai tujuan dilakukan — misalnya dengan menggusur warga miskin— yang penting adalah tercapainya tujuan Jakarta Baru.

Ada kecenderungan pola kepemimpinan para pemimpin di tingkat nasional dan lokal makin menuju pada pola utilitarian ini: Asal sebagian besar warga senang maka secara moral sebuah kebijakan ada benar. 

Apakah memang demikian yang seharusnya terjadi? Bukankah negara hadir bagi si lemah? Bukankah konstitusi kita mengatur dan memastikan semua warga negara sama posisinya di mata negara? 

Apakah memang sedemikian putus asanya Indonesia dalam mencari pemimpin yang baik, sehingga siapa pun yang dapat memenuhi kepentingan kelompok mayoritas dibenarkan meminggirkan hak minoritas? Apakah memang tidak ada lagi model pemimpin selain yang praktis dan pragmatis ini?

Ada gagasan filosofis lain di luar utilitarian yang disebut sebagai non-utilitarian. Amartya Sen adalah salah satunya. Ia mengonseptualisasi alat ukur kebijakan yang disebut “capabilities approach”.  

Baginya, cara kita membuat dan mengevaluasi kebijakan tidak semata melihat hasil akhir, melainkan melihat seberapa kebijakan telah membawa dampak pada peningkatan kemampuan warga untuk melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu, dan mengatasi hambatan-hambatan yang mereka hadapi, sehingga warga negara mampu menjalani kehidupan mereka. 

Ukuran lain selain capabilities, adalah kefungsian, functioning, termasuk bekerja, menjadi warga sehat, menjadi bagian dari masyarakat, dihormati haknya, dan lain-lain.

Kebijakan publik bertujuan meningkatkan kapasitas warga negara, bukan kemanfaatan. Dari Sen kita belajar bahwa ada kerangka pikir alternatif dalam mengelola kebijakan selain membela kelompok mayoritas dan mengorbankan minoritas. 

Fungsi negara dan pemimpin publik

RUSUH.  Penggusuran warga Kampung Pulo, Jakarta Timur berujung ricuh, pada 20 Agustus 2016. Foto oleh Rappler

Negara hadir untuk melindungi semua kelompok yang ada di masyarakat, baik yang kuat maupun yang lemah. Negara harus berlaku adil ke semua kelompok warganya: kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil. 

Dalam kasus pembangunan Jakarta, kelompok mayoritas yang dibela oleh kebijakan adalah kelas menengah. Negara berpihak pada kelompok ini, kelompok mayoritas, dalam rangka mencapai “the greatest happiness”. Bila negara hadir untuk si kuat, dan meminta si lemah untuk terus mengalah pada yang kuat, buat apa lagi ada negara?

Jakarta dan Indonesia bisa belajar dari tradisi negara kesejahteraan (welfare regime). Ini model pemerintahan yang di dalamnya negara memegang peran kunci untuk memproteksi dan mempromosikan penguatan kemampuan ekonomi dan sosial warganya.

Prinsip yang memayungi model ini adalah persamaan kesempatan bagi warga negara, distribusi kekayaan yang adil, dan kewajiban publik dalam melindungi warga negara lain dalam pemenuhan kebutuhan dasar untuk mencapai kehidupan yang baik.  

Dalam gagasan ini, negara hadir untuk si lemah, si minoritas. Negara merawat dan mengurusi warga saat mereka jatuh, melalui berbagai skema kebijakan kesejahteraan, termasuk pajak yang bersifat progresif, makin kaya seseorang makin tinggi pajak yang dibayar, yang kemudian dikelola negara dan digunakan untuk mensubsidi kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi. Kelompok paling rentan diurus negara. Ini fungsi negara yang sejati dan tertulis dalam konstitusi. —Rappler.com 

Amalinda Savirani adalah staf pengajar di Fisipol UGM.

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!