Negara diminta jamin keamanan data kuburan massal 1965

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Negara diminta jamin keamanan data kuburan massal 1965
Data kuburan massal bukan untuk dibuka ke publik karena keamanan barang bukti menjadi taruhannya.

 

 JAKARTA, Indonesia— Usai bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pada Senin, 25 April, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan kepada media bahwa ia diperintahkan untuk mencari kuburan massal korban tragedi 1965. 

“Presiden tadi memberitahu bahwa memang disuruh cari aja kalau ada kuburan massalnya itu. Jadi selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa sekian ratus ribu yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita menemukan satu kuburan massal,” ujar Luhut. 

Ia bahkan meminta kepada lembaga swadaya masyarakat manapun yang memiliki data tersebut untuk menyampaikan ke jajaran Menkopolhukam. “Kapan, saya pergi dengan dia (LSM),” katanya menyodorkan dirinya sendiri. 

Juru bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, mengatakan tak tahu pasti perintah tersebut. Ia hanya tahu Jokowi sedang merencanakan pertemuan dengan korban atau penyintas ’65. 

“Presiden ingin mendengar sendiri keterangan dari korban, sebenarnya bukan hanya korban ’65, tapi juga semua pelanggaran HAM. Baru nanti presiden akan menyimpulkan apa yang harus dilakukan,” kata Johan menjelaskan pada Rappler pada Selasa malam, 26 April. 

Meski demikian, pernyataan Luhut ini keburu ditanggapi oleh komunitas korban. Mereka bahkan ramai-ramai menunjukkan lokasi kuburan yang dimaksud. Benarkah buka-bukaan data ini mendesak untuk saat ini? 

Urgensi pengungkapan data kuburan massal

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar adalah salah satu yang menyambut baik niat pemerintah tersebut. 

Ia malah mempersilahkan pemerintah memeriksa temuan kuburan massal korban peristiwa 1965 yang dikumpulkan KontraS. 

Data itu sudah ia kumpulkan sejak 2007 melalui investigasi khusus yang dilakukan oleh timnya. KontraS turun ke tempat-tempat yang diduga sebagai lokasi kuburan massal korban pembantaian tahun 1965.

Dari hasil investigasi tersebut, Kontras menemukan 16 lokasi yang diduga sebagai lokasi kuburan massal yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lembaga tersebut kemudian melakukan verifikasi dengan mengumpulkan keterangan dan kesaksian dari warga perihal peristiwa eksekusi yang terjadi, termasuk proses eksekusi yang dilakukan oleh tentara saat itu. 

(BACA: Tom iljas ditangkap saat ziarah ke kuburan massal tragedi 1965)

Setiap malam, kata warga, tahanan dibawa ke tempat eksekusi dan penguburan menggunakan truk yang hanya dikawal oleh beberapa tentara bersenjata. Sampai di lokasi, 4 sampai 5 tahanan disuruh turun dan menggali sebuah lubang kuburannya sendiri. 

Setelah itu, seorang tentara akan memintanya berdiri dan kemudian mengeksekusi tahanan tersebut. 

Selanjutnya, tahanan berikutnya akan diminta turun, menutup lubang yang telah berisi mayat tahanan sebelumnya. 

Tahanan itu kemudian diminta menggali lubang kuburan untuk dirinya sendiri, seperti yang terjadi pada tahanan yang pertama. 

“Begitu seterusnya. Orang-orang itu disuruh menggali kuburannya sendiri,” kata Haris. 

KontraS memperkirakan terdapat 10 orang sampai 40 orang yang dieksekusi di satu lokasi kuburan massal. 

Tapi data-data tersebut tidak dibuka ke publik oleh Haris. Mengapa? “Ini soal menagih komitmen kepada negara, kalau data kita kasih, data mau mereka apakan?” katanya. 

Pemerintah harus terlebih dulu memberikan jaminan terhadap proses verifikasi dan keamanan semua data yang dimiliki baik KontraS maupun lembaga lain. 

Haris juga menyarankan kepada semua lembaga yang mengumpulkan data kuburan massal, seperti Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, untuk tidak gegabah membuka data ke publik. 

“Boleh membuka data kuburan massal yang sudah dikenal masyarakat, tapi data yang lain disimpan demi keamanan barang bukti,” katanya. 

Libatkan Komnas HAM 

Soal urgensi data kuburan massal ini, Wakil koordinator Indonesia tim People Tribunal 1965 (IPT 1965) Ayu Wahyoningroem ikut sumbang pikiran. Ia sepakat bahwa penyerahan data itu harus ditangani resmi oleh kementerian yang dipimpin Luhut. 

Setelah itu, yang harus dipikirkan, adalah penanganan data yang berisi bukti-bukti penting tersebut. 

Menurut Ayu, pelaksanaannya harus melibatkan lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan tim ahli forensik. Ayu meminta pemerintah membuat panduan atau standard operating procedure (SOP) dan mempersiapkan payung hukumnya. 

“Karena ini bukan bagian dari ritual sosial dan budaya, tapi bagian dari upaya judisial,” katanya kepada Rappler. Masyarakat, katanya, belum bisa membedakan kebutuhan untuk kepercayaan mereka dan hukum. 

Ayu belajar dari upaya penggalian kuburan massal yang dilakukan pada 2000 silam. Keluarga korban bukannya menyerahkan tulang-belulang untuk diteliti tim forensik, tapi malah menguburkannya kembali. 

“Ini sia-sia,” katanya. 

Jika penggalian yang dilakukan tidak ditangani dengan khusus, bukti tak bisa dibawa ke ranah hukum, atau dikonfrontir dengan pernyataan Luhut saat di Simposium Nasional 1965 tentang jumlah korban yang hanya mencapai 80.000, jauh dari angka 1 juta jiwa yang disebut di berbagai penelitian. 

Pelajaran lainnya diambil Ayu dari kasus penggalian kuburan massal di Bali pada Oktober 2015 lalu. “Di Bali itu semua tulangnya dibakar, hilang semua barang buktinya,” katanya. 

(BACA: Bali memulai pembongkaran kuburan massal 1965)

Peristiwa pembakaran atau ngaben itu disiarkan di media lokal. Lokasinya tepatnya di Masean, Desa Batuagung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. 

Warga mengeluhkan gangguan mahluk halus yang dipercaya adalah roh dari korban pembunuhan massal. Akhirnya masyarakat dan pemerintah setempat sepakat menggelar Ngaben Mamungkah (Menggali tulang belulang untuk dibakar) di lokasi tersebut. 

“Tujuan pengabenan ini adalah untuk menyucikan roh kesembilan korban, agar mendapat tempat yang layak. Selain itu juga bertujuan membersihkan leteh atau kekotoran secara niskala di wewidangan (wilayah) banjar setempat. Ini berkaitan dengan kepercayaan arwah para korban yang masih gentayangan,” kata salah seorang tokoh masyarakat setempat.  

Ayu selanjutnya mengatakan pengungkapan kebenaran atas peristiwa 1965 ini memang butuh proses. Tapi perlu proses yang panjang, termasuk meneliti kuburan massal. “Kalau prosesnya benar, maka outputnya juga benar. Jangan seperti simposium kemarin, itu jalan pintas,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!