Catatan kelam buruh perempuan

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Catatan kelam buruh perempuan

ANTARA FOTO

Komite Aksi Perempuan menuntut pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dengan standar HAM bagi buruh perempuan dan meratifikasi konvensi PBB No. 183 tahun 2000

 

JAKARTA, Indonesia — Hari Buruh yang diperingati setiap 1 Mei bukan hanya milik lelaki, tapi juga para pekerja perempuan. 

Sejak pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dilantik, menurut Komite Aksi Perempuan (KAP), belum ada perubahan secara fundamental yang dialami buruh perempuan, padahal motto yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi adalah “Ayo Kerja!”.

Kebijakan yang tidak berpihak pada buruh perempuan terlihat ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP Pengupahan ini dinilai lebih condong kepada pengusaha.

Bahkan ketika kaum buruh mengadakan aksi menolak PP Pengupahan, 26 aktivis ditangkap dan sekarang menjadi terdakwa. Empat di antaranya adalah perempuan.

Tarik ulur pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga masih sebatas janji belaka.

Selain itu, masih ada sejumlah isu lain seperti petani wanita di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, yang menolak pembangunan pabrik semen di daerahnya. Sembilan perempuan Kendeng ini bahkan datang ke depan Istana Negara untuk menyemen kaki mereka sebagai tanda protes pada April lalu.

Hal yang sama juga dialami para perempuan dan keluarga nelayan, para buruh migran, dan korban-korban penggusuran yang umumnya bekerja sebagai buruh dan pedagang.

Demo buruh tolak PP Pengupahan diwarnai kericuhan pada Oktober 2015. Foto oleh Rappler

Berikut catatan mengenai buruh perempuan yang dihimpun dari KAP sebagai refleksi kepada pemerintah selama 2016: 

Minimnya hak maternitas di tempat kerja

Menurut KAP, pelanggaran hak maternitas masih banyak terjadi di tempat kerja, namun jarang dilaporkan. Penyebabnya adalah masih minimnya kesadaran dan informasi tentang hak-hak maternitas di kalangan buruh perempuan.

Contohnya, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, terdapat kurang lebih 80 perusahaan dari sektor garmen yang mempekerjakan sekitar 80.000 orang dengan jumlah buruh perempuan mencapai 90 persen. Tetapi sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui (laktasi). 

Ketiadaan ruang laktasi memaksa para ibu membuang air susu (ASI) ke toilet, atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja, sehingga merembes ke pakaian mereka.

Tidak adanya ruang laktasi ini juga berdampak pada bayi, yaitu tidak memperoleh ASI eksklusif setidaknya dalam masa 0-6 bulan. 

Penelitian Fakultas Kedokteran UI pada 2013 menunjukkan bahwa persentase pekerja sektor formal di Jakarta yang memberi ASI eksklusif hanya mencapai 32 persen. Hasil studi ini juga menyebutkan hampir 80 persen pekerja pabrik di Jakarta tidak memberikan ASI eksklusif.

Selain menyusui, masalah yang dihadapi kaum perempuan di tempat kerja meliputi pemecatan setelah cuti melahirkan hingga keguguran di tempat kerja.

Beberapa orang buruh perempuan anggota Gabungan Serikat Buruh Mandiri (GSBM) di PT Kuanjin, perusahaan asal Korea Selatan yang terletak di Cikarang, diberhentikan setelah mengajukan cuti melahirkan. 

Para buruh perempuan juga rentan mengalami keguguran di tempat kerja. Hal ini dikarenakan beberapa hal seperti: Jam kerja yang panjang lebih dari 8 jam dan tidak disediakannya fasilitas untuk ibu hamil, seperti kursi duduk untuk yang bekerja dengan berdiri lebih dari 5 jam dan ruang kerja yang terhindar dari paparan zat kimia. 

Praktik kerja paksa dan pelecehan seksual

Praktik kerja paksa terjadi ketika buruh perempuan dikondisikan untuk lemah skill dan kapasitas. Maka ketika bekerja, setiap menit mereka harus berproduksi menggenjot mesin demi mengejar target.

Sedangkan pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di pabrik masih terus terjadi. Pelecehan terjadi ketika buruh perempuan sering disentuh dan dilecehkan oleh para teknisi pabrik ketika teknisi tersebut sedang memperbaiki mesin. Kadang mereka tak kuasa melawan karena takut dipecat.

Perjuangan petani perempuan

Ibu-ibu Kendeng menanam kaki mereka di semen. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Lahan produktif para petani perempuan di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, terancam oleh pembangunan pabrik semen. Ini menunjukkan bukti keberpihakan pemerintah pada investasi sektor industri. 

Padahal apabila pabrik-pabrik semen di wilayah pegunungan beroperasi nanti, ribuan hektar lahan pertanian produktif akan hilang dan para petani kehilangan ruang hidup dan sumber ekonominya. 

Para petani akan dipaksa menjadi buruh pabrik semen yang tentu saja penghasilannya tidak akan sebanding dengan memiliki dan menggarap lahan pertanian mereka sendiri.
Hilangnya ruang hidup dan sumber ekonomi juga mendorong perempuan untuk menjadi buruh migran di luar negeri yang pada akhirnya seringkali harus menghadapi kekerasan berlapis.

Sudah ratusan hari perempuan petani Rembang bertahan di tenda perjuangan dengan tujuan memblokir akses pembangunan pabrik semen. Tindak kekerasan berkali-kali sudah mereka hadapi, yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan sebagai bentuk keberpihakan mereka pada pemilik modal.  

Menagih hak-hak pekerja rumah tangga

Sejak 2004, sudah 3 periode pemerintahan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diajukan di DPR, namun belum rampung hingga kini.

PRT bekerja dalam situasi tidak layak: beban dan jam kerja panjang tak terbatas lebih dari 14 jam, tidak ada istirahat dan libur mingguan, cuti, tanpa jaminan sosial, upah rendah, tidak dibayarkan, pelecehan dan perendahan, hingga pengekangan hak berkumpul berserikat.

Dari data yang dihimpun JALA PRT 2012- 2015, terdapat 1.474 kasus kekerasan yang dialami PRT. Di awal 2016 terdapat 121 Kasus PRT umumnya multikekerasan, di antaranya upah yang tidak dibayar, penyekapan, dan penganiayaan.

Buruh migran perempuan rentan alami kekerasan

Buruh migran perempuan Indonesia, Erwiana Sulistyaningsih, menjadi korban kekerasan di Hong Kong. Foto oleh AFP

Perempuan buruh migran yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerja, sehingga hak-hak normatif mereka sebagai buruh seringkali terlanggar. 

Kasus ini terjadi dalam berbagai bentuk, seperti gaji tidak dibayar, tidak adanya hari libur, hingga jam kerja dan beban kerja yang tidak manusiawi.

Berbagai kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami perempuan buruh migran menunjukan bahwa negara belum hadir dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati hak-hak perempuan buruh migran.

Atas catatan-catatan di atas, KAP menuntut pemerintah melaksanakan kebijakan dengan standar hak asasi manusia bagi perempuan buruh dan untuk meratifikasi konvensi International Labour Organisation (ILO) No.183 tahun 2000.

Ratifikasi konvensi tersebut meliputi standar komprehensif perlindungan hak maternitas dan memastikan adanya keputusan bersama tentang perlindungan maternitas.

KAP juga mendesak DPR dan pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan melakukan pembahasan sekaligus pengesahan RUU PPRT.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!