Kelompok intoleran ancam bubarkan ASEAN Literary Festival

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kelompok intoleran ancam bubarkan ASEAN Literary Festival
Massa intoleran memaksa panitia untuk membatalkan penyelenggaraan ASEAN Literary Festival 2016

JAKARTA, Indonesia — Sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3) menuntut pagelaran ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 untuk dibubarkan. Mereka mengira ada agenda lain di balik acara sastra ini.

“Pelaksanaan yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi kedailan dan kemanusiaan hanyalah pemanis belaka,” demikian tulis mereka di siaran pers, yang Rappler terima Kamis pagi, 5 Mei.

Mereka menduga pelaksanaan ALF bertujuan mendukung penyebaran paham komunis dan mempromosikan isu Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ).

Tujuan tersebut terlihat dari agenda acara yang memang memuat diskusi dengan topik seperti yang disebutkan. Untuk itu, massa berencana untuk menyampaikan aksi unjuk rasa penghentian kegiatan.

Adapun tiga tuntutan mereka adalah:

  1. Stop menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berbau penyebaran paham/ajaran komunisme, termasuk penyelenggaraan ALF. Menurut mereka, hal ini tidak dibenarkan di Indonesia.
  2. Serukan persatuan bagi masyarakat Papua dalam bingkai NKRI. Tolak segala bentuk separatisme.
  3. Berhenti menyebarkan paham-paham pembenaran terhadap LGBT karena tidak sesuai dengan fitrah manusia dan budaya Indonesia.

Paksaan polisi

Sementara itu, novelis sekaligus salah satu pengisi acara, Leila S. Chudori, mengatakan ada paksaan dari aparat untuk membatalkan acara diskusi.

“Sampai hari ini polisi memaksa panitia untuk membatalkan acara-acara diskusi sastra 1965 dan acara diskusi sastra LGBT dibatalkan,” kata dia melalui pernyataan tertulis.

Panitia ALF masih bertahan untuk menyelenggarakan kegiatan yang digelar dari Kamis, 5 Mei, hingga Minggu, 8 Mei, ini. Beberapa pemberi materi sudah hadir di Jakarta, termasuk pemberi opening speech Jose Ramos-Harto, seorang penerima Nobel Perdamaian.

Keputusan berada di pihak Taman Ismail Marzuki (TIM) selaku pemilik tempat. Namun, Leila tak terlalu optimistis lantaran pihak ini cenderung tunduk pada polisi.

Acara yang berbau komunis dan LGBT

Pantauan Rappler, acara diskusi yang menyinggung kedua topik ini berjumlah sedikit. Dalam sehari, bisa hanya ada satu, atau bahkan tak ada sama sekali.

Pertama-tama, pada Jumat, 6 Mei, ada diskusi oleh kelompok Ingat ’65 dengan tema “Remembering 1965 through digital storytelling.”

Lalu pada Sabtu, 7 Mei, ada diskusi “On LGBT, Sexuality, Freedom of Expression.” Juga diskusi panel “Refugee and exile stories” serta Papua and Timor Leste Stories.”

Pada sorenya ada peluncuran buku tentang korban peristiwa 1965; juga pertunjukan monolog “Nyanyi Sunyi Kembang Genjer-Genjer.”

Sisanya, lebih banyak workshop tentang terjemahan sastra, maupun perkembangan dunia literatur di seluruh kawasan ASEAN. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!