LINI MASA: Hari-hari jatuhnya Suharto

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LINI MASA: Hari-hari jatuhnya Suharto
4 mahasiswa Trisakti tewas pada 12 Mei 1998, hingga Suharto mundur pada 21 Mei 1998

JAKARTA, Indonesia — Penguasa Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun, Suharto, jatuh pada Mei 1998, berkat kekuatan sipil.

Meski demikian, Suharto diyakini tidak benar-benar jatuh. Penulis Pramoedya Ananta Toer, yang juga mantan tahanan politik dan dibuang ke Pulau Buru, pernah berkomentar atas kejatuhan Suharto. 

“Mereka banyak bertanya kepada saya, ‘Anda suka Harto sudah jatuh sekarang?’ Oh, saya bilang, jatuhnya Suharto itu badut-badutan saja. Kalau betul dia jatuh, dia lari ke luar negeri. Karena dia tidak pergi ke luar negeri, artinya dia masih berkuasa melalui tangan yang lain,” kata Pramoedya menyindir. 

Sindiran itu ditujukan pada BJ Habibie, pengganti Suharto saat itu. Namun upaya untuk menuntut Suharto mundur tak berlangsung satu, dua hari saja.

Berikut detik-detik lengsernya penguasa Orde Baru yang juga dijuluki Bapak Pembangunan tersebut, yang Rappler rangkum dari berbagai sumber

5 Maret 1998

Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mendatangi gedung DPR/MPR RI di Jakarta untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI.

11 Maret 1998

Suharto dan Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

14 Maret 1998

Suharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.

15 April 1998

Suharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus, karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan unjuk rasa menuntut dilakukannya reformasi politik.

18 April 1998

Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purnawirawan Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta, namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.

1 Mei 1998

Suharto, melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan, mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai pada 2003.

2 Mei 1998

Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Suharto mengatakan reformasi bisa dilakukan pada 1998.

4 Mei 1998

Mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak (2 Mei 1998) dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.

5 Mei 1998

Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.

9 Mei 1998

Suharto berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden RI.

12 Mei 1998

Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai. Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.

13 Mei 1998

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.

14 Mei 1998

Suharto mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.

Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Beberapa dari bagunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.

15 Mei 1998

Suharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah mengatakan bersedia mengundurkan diri.

Suasana Jakarta masih mencekam. Toko-toko banyak ditutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.

16 Mei 1998

Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih mencekam.

19 Mei 1998

Suharto memanggil 9 tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, di mana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Suharto mundur.

Permintaan tersebut ditolak Suharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada saat itu, Suharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden. Namun hal itu tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke gedung DPR/MPR RI untuk berunjukrasa semakin banyak.

Sementara itu, tokoh reformasi Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

20 Mei 1998

Jalur menuju lapangan Monumen Nasional (Monas) diblokade petugas dengan pagar kawat berduri untuk mencegah massa masuk ke komplek Monas, namun pengerahan massa tak jadi dilakukan.

Pada dini hari, Amien Rais meminta massa tak datang ke lapangan Monas karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung DPR/MPR RI. Mereka terus mendesak agar Suharto mundur.

21 Mei 1998

Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09:05 WIB, Suharto mengumumkan mundur dari kursi presiden. BJ Habibie disumpah menjadi presiden RI ketiga. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!