Hukuman mati, solusi atau pelampiasan?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hukuman mati, solusi atau pelampiasan?
Hukuman mati menjadi pelarian masyarakat untuk menghukum pelaku kejahatan luar biasa. Tapi, apakah memang efektif menimbulkan jera?

JAKARTA, Indonesia — Bagi Indonesia, hukuman mati menjadi solusi instan bagi para pelaku kejahatan yang tergolong berat, seperti terorisme, pengedaran narkoba, dan pembunuhan berencana. Eksekusi dianggap dapat memberi ganjaran berat bagi para penjahat hingga tak ada lagi yang berani mengikuti jejaknya.

Meski demikian, tak sedikit masyarakat yang justru resisten terhadap ide ini. Mereka biasanya berasal dari kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM). Hukuman ini, menurut mereka, hanya memperpanjang rantai kekerasan tanpa memberikan solusi yang memadai.

Solusi instan masyarakat

Menurut advokat HAM Julian McMahon, manusia memang selalu mengharapkan adanya utopia —suatu negara tanpa kejahatan.

“Saya melihat ada tren kenaikan jumlah terpidana mati meski angka negara yang melaksanakan hukuman ini justru menurun,” kata McMahon usai perhelatan ASEAN Literary Festival di Jakarta pada pekan lalu.

Pemerintah suatu negara yang masih memberlakukan hukuman mati, menurutnya, dapat mengubah cara pandang masyarakatnya terhadap kehidupan. Nyawa tak lagi menjadi hak dasar dan ranah privasi seseorang, namun bisa dicabut semaunya oleh negara.

Selama ini, terpidana mati yang nyawanya habis di tiang tembak terlibat dalam kasus perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Tetapi, tak jarang hukuman serupa diserukan untuk hukuman lain, seperti kasus pembunuhan berencana oleh Jessica Kumala Wongso, dan pemerkosaan yang menyebabkan hilangnya nyawa.

Mulai terlihat sumir apakah hukuman mati memang menjadi suatu ganjaran; atau sekedar pelampiasan rasa frustasi masyarakat terhadap akar kejahatan yang tak kunjung tuntas dan semakin merajalela.

Data Amnesty International menyebutkan 1.634 orang meninggal di tangan eksekutor pada tahun lalu. Angka ini juga diduga lebih tinggi karena Tiongkok tidak pernah mengeluarkan angka terpidana matinya. Namun, jumlah keseluruhan diperkirakan 50 persen lebih tinggi ketimbang 2014.

Sementara jumlah negara yang telah menghapuskan hukuman mati kini ada 102; sebelumnya hanya 60 pada 1996.

Tak menimbulkan efek jera

McMahon mengakui kalau seseorang memang harus mendapatkan ganjaran berat atas kejahatan luar biasa yang telah dilakukan. “Tapi kamu tak bisa memperlihatkan ke masyarakat untuk menghukum kematian dengan kematian lainnya,” katanya.

Lembaga independen HAM Amnesty International juga mengatakan proses hukum terpidana mati sering kali cacat dan tak adil. 

Riset Amnesty International mengungkapkan bahwa hukuman mati di Indonesia telah diterapkan dalam kasus-kasus yang melibatkan penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, pengabaian terhadap akses ke pengacara yang efektif, proses peradilan yang cacat, dan bahkan penggunaan hukuman mati kepada pelaku kejahatan anak atau orang yang memiliki gangguan mental atau intelektualitas.

“Dalam kasus-kasus yang kami teliti, polisi menyiksa atau melakukan perlakuan buruk lainnya kepada para tersangka dalam tahanan, termasuk mengambil ‘pengakuan’ dengan paksaan. Banyak yang tidak memiliki akses kepada seorang pengacara pada saat mereka ditangkap dan ditahan, dan pada proses hukum lainnya,” kata Rafendi Djamin, Direktur Regional Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International, lewat siaran pers yang diterima Rappler.

Ada pula kasus di mana pemerintah tak terlebih dulu menyelidiki atau memeriksa usia pelaku kejahatan. Sehingga ada terpidana yang diduga belum memasuki usia dewasa (di bawah 18 tahun) atau memiliki gangguan mental dan intelektual. Eksekusi mati terhadap orang-orang ini masuk kategori ilegal.

Rafendi juga mengkritik klaim Presiden kalau eksekusi mati ini bisa menjadi efek jera. “Klaim yang tak memiliki bukti. Malah bertentangan dengan komitmennya sewaktu kampanye 2014 lalu tentang penegakan HAM,” kata dia.

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sejak akhir 2014, sudah ada 14 orang terpidana mati yang dieksekusi. Untuk tahun ini, masih ada 55 orang yang sudah divonis mati dan menunggu waktu eksekusi. 

Grasi tertutup

Selain itu, kesempatan para terpidana mati untuk melanjutkan hidup lewat grasi juga sulit tercapai. Beberapa pekan setelah menjabat pada 2014 lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo langsung menolak permintaan grasi dari para terpidana mati. Efek jera masih menjadi alasannya.

“Keputusan Presiden mengenai pemberian grasi tak bisa diakses publik, padahal seharusnya boleh,” kata Anggara Suwahju dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) saat dihubungi Rappler.

Mereka akhirnya meminta dokumen tersebut ke Sekretariat Negara, dengan prosedur di Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Namun, permintaan itu ditolak dengan dalih ada akta otentik dan informasi pribadi. Padahal dokumen tersebut tak termasuk yang dirahasiakan. Akhirnya ICJR menggugat hal ini ke Komisi Informasi Publik dan berhasil memenangkan sengketa.

Menurut Anggara, penting bagi masyarakat untuk mengetahui apa isi Keppres tersebut. Selain identitas pemohon, ada juga pernyataan presiden apakah menerima atau menolak. “Kita mau tahu, ada alasannya atau tidak,” kata dia.

Bila Presiden tidak pernah memberi alasan untuk penolakan atau penerimaan suatu grasi, Anggara mengatakan ada potensi abuse of power. “Di UU Penyelenggaraan Negara, tercantum kalau presiden harus memberi alasan,” kata dia.

Solusi?

Bila hukuman mati tak dibenarkan, lalu apa solusi bagi kejahatan? Julian mengatakan kalau hukuman penjara saja sudah cukup.

Di dalam sana, para narapidana dijauhkan dari masyarakat dan direhabilitasi supaya siap berfungsi kembali. Karena itu, pemerintah perlu menjamin sistem penjara yang baik.

“Seperti menaikkan gaji sipir supaya mereka tak mudah disuap dan malah membantu narapidana kabur atau menjalankan bisnis dari penjara,” kata dia.

Bagaimanapun juga, tingginya angka kriminalitas adalah bukti adanya kesalahan dalam suatu sistem di masyarakat. Untuk menghapusnya, yang diperlukan adalah perbaikan. Bukan penghapusan nyawa orang.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!