Setelah patung Soeharto dibakar

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setelah patung Soeharto dibakar
Perjalanan perlawanan aktivis mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto dimulai sejak 1990-an awal. Bukan gerakan instan.

 

JAKARTA, Indonesia — Maret 1998, Soeharto dipilih kembali oleh parlemen menjadi presiden selama tujuh periode berturut-turut.

Mandat itu ternyata menjadi keramat untuk mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tersebut. Keramat karena memicu protes di beberapa daerah. 

Riak-riak protes itu pertama kali disuarakan oleh sejumlah mahasiswa di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Maret 1998.

“Setidaknya sekitar 25.000 orang berkumpul, jumlah itu besar sekali, belum pernah ada kejadian demonstrasi besar di Yogya,” kata Lexy Rambadeta kepada Rappler, Rabu, 18 Mei 2016, belasan tahun setelah penguasa Orde Baru itu jatuh dari pucuk pimpinan.

Lexy saat itu bekerja sebagai jurnalis yang mengambil gambar untuk kantor berita Associated Press TV (APTV).

Saat itulah, sekelompok anak muda dari Resistência Nacional dos Estudantes de Timor-Leste (RENETIL), sebuah gerakan perlawanan siswa untuk Timor Timur terhadap pendudukan Indonesia, membopong sebuah patung yang menyerupai Soeharto

Patung itu dibuat oleh seniman-seniman muda dari kelompok Taring Padi asal Yogyakarta. 

Waktu itu, kata Lexy, tak ada yang berani membopong patung pemimpin Orde Baru itu. “Karena Soeharto saat itu ditakuti, jadi yang berani membopong hanya anak-anak RENETIL,” katanya. 

Setelah digotong, patung itu diturunkan dan dibakar. 

Pembakaran ini dipercaya sebagai demistifikasi Soeharto yang mempunyai nilai politis tinggi, karena belum pernah ada yang membakar patung orang nomor satu di negeri ini saat itu. 

Setelah pembakaran itu, mahasiswa, seniman, dan aktivis RENETIL lari tunggang langgang. Mereka bersembunyi karena pihak yang diduga intelijen yang menyaksikan pembakaran itu murka. 

Lexy mencatat pembakaran patung Soeharto itu tidak pernah diberitakan di media-media lokal, hanya media asing, salah satunya tempat ia bekerja. 

Tapi ratusan televisi di seluruh dunia berlangganan APTV. Gambar itu pun cepat tersebar luas. “Story demistifikasi diktator Orde Baru itu disiarkan di seluruh dunia, kecuali di Indonesia,” katanya. 

Pada saat yang bersamaan, berita mengenai hilangnya aktivis mahasiswa mulai terdengar. Kabar pertama mengenai hilangnya aktivis Nezar Patria. Ia hilang pada 13 Maret 1998 ketika diambil paksa di rumah susun Klender, Jakarta Timur.

Setelah pembakaran patung Soeharto itu, perjalanan protes panjang mahasiswa dimulai. 

Tepatnya pada 25 Maret 1998, mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat UGM mengadakan aksi mogok makan dengan mendirikan tenda di halaman fakultasnya untuk memprotes hilangnya rekan-rekan mereka. 

Saat mahasiswa diculik, praktis tak ada protes baik dari masyarakat maupun kalangan akademik. Hanya demo mogok makan itulah satu-satunya yang membawa isu tersebut hingga ke dunia internasional. 

Lexy yang meliput kejadian tersebut mengaku mempertanyakan kondisi yang tenang dan tanpa pergolakan dari masyarakat saat itu.

“Sepertinya masyarakat enggak tahu mau berbuat apa. Tidak ada gagasan bahwa itu pelanggaran kemanusiaan. Tidak ada gagasan melapor ke kantor polisi dan menggelar konferensi pers,” katanya menyimpulkan dari hasil wawancaranya dengan sejumlah narasumber. 

Karena ketiadaan respons dari dalam negeri, Lexy memutuskan untuk mengirim fax berita tentang kehilangan mahasiswa ke kantor berita di Australia, Amerika Serikat, dan Kanada. 

Setelah kabar penculikan mahasiswa dan demo mogok makan itu meluas, pergerakan mahasiswa juga mulai meluas ke kota lain, seperti Purwokerto, Solo, Medan, dan Surabaya. Tapi saat itu, di Jakarta belum ada pergerakan yang terlihat kasat mata. 

Disekap tentara dan berdirinya KontraS

Mugiyanto Sipin, yang juga diculik bersama dengan Nezar Patria, menuturkan bahwa pada 13 Maret 1998 lalu, ia baru pulang dari pertemuan dengan rekan-rekan di East Timor International Support Center. Saat itu Mugi merupakan anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). 

SMID adalah gerakan mahasiswa yang dibangun sejak awal 1990-an. Gerakan mahasiswa ini dipercaya sebagai think tank, atau pusat wadah pemikir aksi mahasiswa, di seluruh Indonesia. 

Gerakan mereka juga dinilai rapi dan terstruktur, sehingga berhasil mengagendakan hampir semua aksi di kota-kota di Tanah Air. 

Saat tiba di rumah susun Klender, Jakarta Timur, ia mendapati kediamannya sudah dikepung tentara. 

“Saya ditangkap, dibawa dengan mata tertutup ke tempat X, tempat penyekapan dan penyiksaan,” akunya, merujuk ke sebuah rumah di mana ia disekap. Hingga kini ia mengaku tak tahu di mana lokasinya.

Sebelum sampai ke “Rumah X”, Mugi mengaku sempat dibawa ke Komando Rayon Militer (Koramil) Duren Sawit dan Kodim Jakarta Timur. Matanya masih dibuka. 

Setelah dari Kodim, barulah matanya ditutup. Setelah dua jam perjalanan, baru ia dapat melihat. 

“Di sana (Rumah X) sudah ada Nezar Patria dan Aan Rusdiyanto,” tuturnya. Ternyata kedua rekannya itu sudah berada di tempat itu selama kurang lebih satu jam. 

Interogasi demi interogasi dijalani oleh Mugi dari sejak di Koramil, Kodim, hingga Rumah X. 

Mugi dan Nezar bukan orang pertama yang diculik, sederet aktivis yang sebagian besar anggota SMID telah disekap sebelumnya. 

Ada 24 aktivis yang ditangkap selama periode ini. Sembilan orang kembali, 14 orang masih hilang, dan satu orang ditemukan meninggal dengan luka tembakan. 

(BACA: Apa yang perlu kamu tahu soal penculikan aktivis 1998)

Hilangnya sejumlah aktivis dan mahasiswa ini belum cukup untuk mengunggah masyarakat dan kaum akademis saat itu. Bahkan dengan ditemukannya seorang aktivis yang sudah meninggal pun, belum ada pergolakan di masyarakat. Entah karena takut dengan rezim Soeharto atau memang sengaja memilih diam.

Kemudian muncullah seorang pionir aktivis hak asasi manusia (HAM) bernama Munir Said Thalib. Dialah yang pertama kali menggagas penculikan mahasiswa harus dibawa ke ranah hukum, dan negara harus bertanggung jawab. 

Munir dan aktivis lainnya pun sepakat mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). 

Poster peringatan wafatnya aktifis HAM Munir Said Thalib yang diracuni arsenik pada 7 September 2004. Foto oleh nobodycorp.org

“Aku ingat, KontraS kebanjiran laporan. Ide Munir itu langsung menjamur ke seluruh Indonesia,” kata Lexy mengenang jasa Munir yang tewas diracun sianida dalam perjalanan ke Belanda di atas pesawat pada 7 September 2004. 

Keluarga mahasiswa yang hilang ramai-ramai melapor ke KontraS. Lembaga itu menjadi harapan baru bagi mereka yang ingin mencari keadilan. “Termasuk kehilangan binatang pun dilaporkan ke KontraS,” ujarnya.

KontraS menjadi magnet baru, penyeimbang rezim Orde Baru yang membangun “tembok tinggi” dengan masyarakat. 

Lexy sendiri masih mengingat ketika Munir menggelar konferensi pers pada Agustus 1998 di gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH) bersama Nezar, Mugi, dan Aan. Semua mata masyarakat dan media nasional tertuju ke sana.

Dia membeberkan kasus penculikan yang terjadi ke hadapan publik. Pemaparan mengenai kasus penculikan sebelumnya juga sudah dilakukan oleh Pius Lustrilanang pada 27 April 1998. Penjelasan kasus serupa kembali disampaikan beberapa hari kemudian oleh Desmon, Raharja W Jati,  dan Faisol Riza.

Tiga bulan yang mencekam

Setelah Maret, bulan-bulan berikutnya berubah jadi suram. Tapi solidaritas mahasiswa semakin solid di kota-kota lainnya di seluruh penjuru Tanah Air. 

Penculikan yang terjadi justru menjadi martir bagi mahasiswa untuk merapikan barisan. “Ada rapat-rapat mahasiswa yang saya hadiri di Yogya dan Solo, isi rapatnya intinya mereka ingin memperbesar intensitas demo dengan cara keluar dari kampus,” kata Lexy. 

Rencana ini dianggap melawan arus, karena tidak sesuai dengan program universitas Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang dicanangkan oleh Soeharto sejak 1980-an. 

Program ini, menurut Lexy, salah satunya menginspirasi pihak Universitas Indonesia untuk memindahkan kampus tersebut dari Salemba, Jakarta Pusat, ke Depok, Jawa Barat.

“Supaya tidak terlibat dalam isu-isu membela rakyat dan tidak dekat dengan masalah kemiskinan dan penindasan di kota. Supaya mahasiswa itu fokus belajar,” ujarnya. 

Tapi aral yang bernama NKK/BKK itu pun disingkirkan. Mahasiswa di seluruh kota mulai bergerak keluar kampus. 

Di beberapa kota, aksi mahasiswa di luar kampus dilakukan setiap Jumat. Tapi di Yogya, aksi digelar di hari-hari yang tak bisa ditebak aparat.

Hampir setiap pekan, masyarakat bisa mendengar berita-berita bentrokan antara aparat dan mahasiswa. 

April dan Mei 1998 menjadi bulan demonstrasi bagi mahasiswa di seluruh Indonesia. 

Dengan semakin solidnya pergerakan dan demo mahasiswa, kampus mengeluarkan perintah agar mahasiswa tak keluar ke jalanan. Tapi perintah itu tak diindahkan. 

Demo justru meluas. Setelah kampus negeri, gerakan turun ke jalan pun menjalar ke kampus-kampus swasta. Salah satunya Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. 

Mahasiswa UGM dan Sanata Dharma pun bergabung. Demo semakin solid. 

Di tengah demo itu, pada awal Mei, ada pemandangan yang menarik. Aparat mulai mengeluarkan alat tercanggihnya.

“Untuk pertama kalinya saat itu saya melihat water cannon keluar ke jalanan,” kata Lexy. Sebelumnya petugas menggunakan gas air mata. 

Martir pertama: Moses Gatutkaca 

Keluarga besar kampus beserta kerabat korban melakukan tabur bunga saat Peringatan 18 Tahun Tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta, pada 12 Mei 2016. Foto oleh Antara

Semakin kuatnya ketegangan antara mahasiswa dan aparat akhirnya menelan korban. Seorang mahasiswa bernama Moses Gatutkaca tewas pada 8 Mei 1998. 

Moses adalah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma. Ia meninggal setelah kepalanya terluka oleh pukulan benda tumpul.

“Dia adalah korban pertama,” kata Lexy. Bersamaan dengan kabar tewasnya Moses, sejumlah mahasiswa di kota lain pun dikabarkan meregang nyawa. 

Terbunuhnya Moses, alih-alih membuat nyali mahasiswa ciut, mereka justru meningkatkan skala aksi. 

Kematian rekan mahasiswa itu juga memicu mahasiswa Institut Agama Islam negeri (IAIN) Yogyakarta untuk bergabung dalam barisan. 

Disusul bergabungnya universitas lain di Jakarta, seperti Universitas Nasional, Universitas Indonesia, dan Universitas Trisakti.

Puncaknya pada 12 Mei, aksi mahasiswa digelar di Universitas Trisakti. Mahasiswa solid menuntut Soeharto turun. 

Lalu terjadilah insiden penembakan itu. Empat nyawa mahasiswa Trisakti melayang, puluhan lainnya luka-luka. 

(BACA: Peringatan Tragedi Trisakti, 18 tahun kemudian)

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. 

Setelah peristiwa Trisakti itu, Jakarta mencekam selama tiga hari, sepanjang 13-15 Mei. Terjadi pembakaran di mana-mana. Perusakan properti. Penjarahan toko-toko. Kerusuhan menyebar hingga ke kota-kota besar lainnya. 

Titik kerusuhan salah satunya di pertokoan di Glodok, Jakarta Barat. Disusul dengan meroketnya nilai rupiah dari Rp 11.000 menjadi Rp 17.000.  

Tapi aparat tak terlihat di mana-mana. “Tanggal 15 Mei, aparat baru muncul ke lapangan, tapi pembakaran sudah tinggal sedikit,” kata Lexy. 

Lima hari sesudah itu, ratusan ribu orang turun ke jalan menggelar aksi damai di Yogyakarta pada 20 Mei.

“Tidak ada rusuh, dosen ikut, semua elemen ikut. Sultan Hamengkubuwono X juga ikut. Orang-orang memberi minum dan makan, senyum sambil bernyanyi,” kata Lexy, yang bolak-balik Jakarta-Yogyakarta ini. 

Pendudukan gedung kura-kura 

Pada 21 Mei, Lexy kembali Jakarta. Sore itu ia melihat mahasiswa berkerumun di Gedung DPR/MPR RI, yang bentuknya menyerupai tempurung kura-kura itu.

Mahasiswa berteriak-teriak, mengepalkan tangannya. Belakangan menurut kesaksian beberapa aktivis 1998 pada Rappler, diketahui bahwa mahasiswa baru juga ikut bergabung di gedung tersebut. Karena itu jumlahnya cukup fantastis saat itu. 

Sesaat kemudian, muncul kabar di televisi, Soeharto mengundurkan diri. Mahasiswa berteriak dan sujud syukur.

Euforia di gedung DPR ini direkam oleh televisi nasional dan disiarkan hingga ke daerah-daerah.

Ada yang belum tuntas 

Tapi di luar gedung DPR/MPR RI, sekelompok aktivis mahasiswa justru terkejut saat Soeharto mengundurkan diri. Mereka adalah aktivis SMID. 

Alih-alih bersorak, aktivis SMID yang sedang menonton televisi bersama di markas mereka, tak gembira. 

“Menurut mereka ini terlalu cepat, gerakan mahasiswa ini punya arah, tapi terputus gara-gara pengumuman pengunduran Soeharto. Mereka bahkan memperkirakan Soeharto jatuh pada Agustus 1998,” kata Lexy. 

Pemerintahan transisi demokratik yang mereka siapkan belum siap. Tapi sudah terputus oleh pengunduran diri Soeharto.

Salah seorang aktivis mahasiswa 1998, yang juga anggota SMID dan tak mau disebutkan namanya, membenarkan hal tersebut. Gerakan ini justru mencurigai pengunduran diri Soeharto hanya skenario untuk memutus perjuangan menuju pemerintahan transisi. 

Apa yang terjadi jika pemerintahan transisi demokratik dibentuk? “Semua aset Orde Baru yang merupakan hasil korupsi akan disita,” kata Lexy. 

Gelagat skenario ini sudah tercium sejak dua hari sebelum Soeharto mundur. Pada 18 Mei 1998, Ketua DPR/MPR saat itu, Harmoko, meminta Soeharto mundur. Harmoko didampingi pimpinan lain lembaga itu seperti Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid, 

”Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko saat itu.

Semua anggota kabinet juga setuju, kecuali Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Tapi bagi aktivis SMID, drama pengunduran diri dan penolakan ini hanyalah skenario belaka. 

Lexy juga sepakat. “Sungguh mengagetkan, Harmoko yang loyal pada Soeharto mengumpulkan anggota kabinet untuk menandantangi dokumen meminta Soeharto mundur? Kok berani?” katanya. 

Tapi berita kekecewaan itu tak sampai ke telinga masyarakat. Euforia bernama reformasi itu tetap menjadi tajuk utama. Indonesia telah bebas dari cengkeraman Orde Baru. 

Tapi ada satu orang penulis yang dapat membaca kekecewaan mahasiswa ini. Ia adalah Pramoedya Ananta Toer, penulis yang pernah dipenjara oleh rezim Orde Baru di Pulau Buru. 

Saat diwawancara harian Jawa Pos, Pramoedya ditanya apakah dirinya bahagia bahwa Soeharto sudah lengser.

“Mereka banyak bertanya kepada saya, Anda suka, Harto sudah jatuh sekarang? Oh, saya bilang, jatuhnya Soeharto itu badut-badutan saja. Kalau betul dia jatuh, dia lari ke luar negeri. Karena dia tidak pergi ke luar negeri, artinya dia masih berkuasa melalui tangan yang lain,” jawab Pram, menyindir pengganti Soeharto, BJ Habibie.

Setelah itu, mahasiswa kembali ke kampus masing-masing, kembali ke hari-hari biasa yang mereka jalani. Tak ada yang pernah membahas, apakah Indonesia benar-benar sudah memasuki masa Reformasi, atau apakah Soeharto dan rezim Orde Baru yang dibangunnya benar-benar telah runtuh? —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!