Indonesia

Merayakan Waisak di Borobudur

Famega Syavira

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merayakan Waisak di Borobudur

ANTARA FOTO

Perayaan Waisak bukan hanya menyaksikan pelepasan lampion

Detik-detik Waisak adalah perayaan Tri Hari Suci Waisak yang memperingati hari lahir, hari kematian, dan hari saat Sang Buddha Gautama mendapat pencerahan dan mencapai nirvana. Perayaan Trisuci Waisak dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Dulu perayaan Waisak terbuka untuk umum. Pelepasan lampion mengundang datangnya ribuan wisatawan. Namun tak semua wisatawan ini berperilaku baik. Puncaknya sejak beberapa tahun lalu saat di media sosial tersebar foto saat para wisatawan mengganggu perayaan

Akibatnya dari tahun ke tahun pengamanan menjadi jauh lebih ketat, dan tidak semua orang boleh mengikuti perayaan detik-detik Waisak. Tulisan ini adalah refleksi perayaan Waisak yang pernah saya ikuti selama ini, bahwa perayaan Waisak bukan hanya menyaksikan pelepasan lampion.

Wisatawan berpose dan mengambil foto di stupa Candi Borobudur. Foto oleh Andreas Fitri Atmoko/Antara

Prosesi Waisak dimulai dengan Pindapata di Magelang, lalu arak-arakan berjalan dari Candi Mendut ke Candi Borobudur. Sore hari, umat telah berkumpul di area dekat Taman Lumbini, Borobudur. Sementara menunggu acara berlangsung, umat dan para biksu berdoa di tenda-tenda. Ada banyak sekali tenda, dan setiap tenda berdoa dengan cara berbeda. Aneka doa bergema dari masing-masing tenda.

Sebagai Muslim, saya takjub menyaksikan banyak aliran yang nampak berbeda, berbeda warna baju, berbeda cara berdoa, berada di tempat yang sama, bersebelahan, dan berdoa memuji Buddha yang sama dengan beragam cara. 

Ada tenda yang dijaga ketat, melarang siapapun memotret kegiatan mereka. Ada juga tenda yang terbuka, mereka tidak keberatan ditonton dan dipotret. Saat saya mendekati sebuah tenda, biksu tengah membagikan makanan untuk umat di tenda itu. Lalu biksu itu berjalan keluar tenda, dan membagikan makanan itu kepada semua orang yang ada di sekitar tenda.

Sejumlah biksu membacakan ritual Mantra di depan altar patung Budha saat melakukan rangkaian ritual malam Waisak di Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, pada 21 Mei 2016. Foto oleh Aloysius Jarot Nugroho/Antara

Menjelang detik-detik Waisak, semua umat beranjak ke pelataran Borobudur untuk mengikuti prosesi utama. Di dekat stupa, panitia dari Walubi telah menyambut di tangga, tersenyum ramah dan memperingatkan agar semua berhati-hati. Meskipun dirayakan di Borobudur, perayaan tidak dilakukan di candi tapi di pelatarannya. Borobudur tegak dalam kesendiriannya, sungguh berbeda dengan candi yang biasa saya saksikan penuh dikerumuni manusia.

Di pelataran sudah ada panggung, semua orang dipersilakan duduk. Karpet digelar. Acara seremonial dimulai, dengan aneka ceramah, hingga mendekati detik-detik Waisak.

Detik-detik Waisak rupanya diisi dengan meditasi. Ribuan orang mendadak hening saat seorang biksu memimpin meditasi. Khusyuk dan syahdu, dengan bulan terang meskipun sebelumnya sempat tertutup awan.

Saya pun kembali takjub karena setelah acara utama, tiba saat berdoa. Berbagai aliran bergiliran membaca doa, sementara semua umat duduk rapi dan ikut berdoa dan mengamini. Dimulai dari Mahayana, Tridarma, Theravada, Tantrayana, Kasogatan… entah apa lagi, semuanya diberi waktu masing-masing lima menit. Saya bahkan tak berani membayangkan Syiah dan Sunni, LDI dan Ahmadiyah, bisa berdoa bersama bergantian dengan umat yang turut berdoa tulus dan mengaminkan doa dari kyai aliran lain.

Acara lainnya adalah pelepasan lampion. Suasananya sungguh mistis dan syahdu. Kabut turun menyelimuti Borobudur saat lampion pertama dilepaskan oleh biksu. Udara semakin dingin. Doa bergema berulang-ulang mengiringi lampion yang terbang tak henti-henti.

buddhang saranang gacchami

dhammang saranang gacchami

sanghang saranang gacchami

Sebait doa yang diucapkan tanpa henti itu berarti, kami berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Sebelum lampion dilepaskan, berbagai harapan dituliskan di setiap lampion.

Melepaskan lampion berarti melepaskan harapan, mengamatinya perlahan menjauh lalu lepas dari jangkauan, makin mengecil kemudian hilang di kegelapan langit. Foto oleh Famega Syavira Putri/Rappler

Saya tidak melepaskan lampion, hanya berdiri takjub menyaksikan semuanya. Rasa lelah dan ngantuk hilang menyaksikan perpaduan ajaib udara dingin, kabut, Borobudur, bulan purnama dan tentu saja ratusan lampion yang membentuk galaksi baru di langit.

Menurut saya, lampion yang indah itu justru bukan perlambang keinginan yang akan jadi nyata. Melepaskan lampion berarti melepaskan harapan, mengamatinya perlahan menjauh lalu lepas dari jangkauan, makin mengecil kemudian hilang di kegelapan langit.

Seperti ajaran Buddha, bahwa kebahagiaan tertinggi yang menjadi tujuan kehidupan adalah nibbana, yaitu saat manusia perlahan mencapai kesadarannya dan terbebas dari keinginan dan hawa nafsu. Padam.

Seorang biksuni duduk merenung di bawah pepohonan komplek Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, pada 21 Mei 2016. Foto oleh Aloysius Jarot Nugroho/Antara

—Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!