Indonesia

Rojit dan perjuangan perempuan pedagang yang terusir dari tanahnya sendiri

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rojit dan perjuangan perempuan pedagang yang terusir dari tanahnya sendiri
Rojit meninggalkan warisan sebuah bangunan yang akan menjadi dasar peletakan ekonomi kerakyatan di Papua.

JAKARTA, Indonesia—Berapa banyak orang di luar Papua yang mengenal nama Robert Jitmau atau Rojit? Namanya mungkin tidak sepopuler Gubernur Papua Lukas Enembe, atau bekas tahanan politik Filep Karma, tapi pedagang dari etnis Papua di Papua dan Papua Barat mengenalnya.  

Tak heran jika pada Jumat siang, 20 Mei 2016, ratusan pedagang asli Papua yang biasa disebut Mama-mama Papua memadati ruang kamar jenazah Rumah Sakit Bhayangkara, Jayapura. 

Sebab di sana tergeletak jenazah Rojit, seorang aktivis yang dikenal gencar menyuarakan Mama-mama Papua untuk mendapatkan lahan pasar sendiri di jantung Kota Jayapura. 

Cintya Warwe, rekan Rojit di komunitas itu, menuturkan pada Rappler, Senin, 23 Mei, bahwa perjuangan pria asli Papua tersebut sudah dimulai sejak 2002 atau 14 tahun yang lalu. 

Awalnya aksi Rojit belum terlembaga, hingga pada 2009, Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) terbentuk. Rojit mengkampanyekan perlunya sebuah pasar khusus untuk menampung 500 pedagang asli Papua di Kota Jayapura.  

Ia kemudian memimpin aksi demo untuk menuntut pemerintah daerah dan pusat untuk segera mendirikan pasar bagi para pedagang asli ini. 

Pendeta Dora, yang juga rekan Rojit menuturkan, bukan hanya memimpin aksi, tapi sehari-hari, aktivis Mama Pasar itu mengawasi dan memberikan perhatian pada komunitasnya. 

Menurut Dora, Rojit pernah mengungkapkan kerinduannya tentang pedagang Papua agar memiliki lapak sendiri di tengah kota, seperti pedagang dari luar Papua.

Selama ini, mereka selalu terlunta-lunta dan diusir jika berjualan di tengah kota. 

Budi Hernawan, mantan direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (periode 2005-2009) yang juga rekan Rojit, menulis di Tabloid Jubi tentang pengusuran ini. 

“Beberapa kali mama-mama diusir oleh Satuan Polisi Pamong Praja bahkan pernah disemprot air saat terjadi upaya penggusuran. Mama-mama juga berkali-kali demo ke DPRD Kota Jayapura, Pemkot Jayapura, kantor Gubernur Papua dan DPR Papua hingga Majelis Rakyat Papua,” tulisnya.

“Hasilnya adalah janji demi janji. Namun perjuangan mama-mama pasar justru semakin kuat dan berkembang menjadi Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) yang melibatkan berbagai pihak di Jayapura.”

“Lebih dari itu gerakan mama-mama pasar di Jayapura telah mengilhami mama-mama pasar di tempat-tempat lain di Papua untuk mulai mengorganisir diri dan menyatakan haknya. Gerakan ini tidak lagi menjadi gerakan mama pasar di Kota Jayapura melainkan simbol perlawanan rakyat Papua terhadap represi modal dan kekuasaan negara.”

Cintya menambahkan Pendeta Dora, bahwa pedagang asli selalu diusir karena ada peraturan dari Pemerintah Provinsi tentang lokasi pasar tradisional yang tak memperbolehkan mereka berjualan di tengah kota.

Namun dengan adanya Otonomi Khusus yang berlaku sejak 2001, wacana untuk melindungi pedagang asli harus dilakukan di tengah dominasi pedagang pendatang. 

Untuk mewujudkannya, Rojit dan pedagang asli Papua berdemo di kantor gubernur pada 14 September 2009. Meski tak pernah digubris pemerintah provinsi. 

Hingga pada saat Barnabas Suebu menjadi gubernur Papua, periode 2006-2011, pemerintah provinsi akhirnya berjanji akan membangun pasar di lokasi Perum Damri.

Rojit dan Mama Papua kemudian meyakini bahwa Suebu akan menepati janjinya. Meski akhirnya Pemerintah Provinsi baru bisa mewujudkannya pada tahun ini. 

Riwayat status tanah Pasar Mama

Apa sebabnya? Status tanah di Perum Damri. Pasar itu akan dibangun di atas lahan milik Damri di pusat Kota Jayapura, dengan total luas 4.490 meter persegi.

Lokasi tempat pasar akan dibangun adalah milik hak ulayat marga Fingkreu dan Sanyi. Tapi hak itu telah diserahkan kepada Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Sementara itu, Perum Damri juga harus berkoordinasi dengan kantor pusat di Jakarta, apakah lahannya dapat digunakan sebagai pasar untuk Mama Papua. 

Untuk itu, semua pihak yang terkait dengan lokasi tanah ini, hak ulayat, KKSS, Perum Damri, Dinas Penerangan Umum (DPU), Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Biro Keungan dan Solpap, bertemu. 

Dalam kesempatan ini, masalah status tanah diurai. Pertama, pemilik tanah adat harus memastikan penyerahan lahan ke KKS. Kedua, Perum Damri harus memastikan tanahnya siap dipindah ke lokasi lain berkoordinasi dengan kantor pusat Jakarta. 

Sementara itu, Dinas PU harus menjelaskan dana yang menurutnya sudah ada di dokumen pelaksaan anggaran mereka. 

KKSS juga harus menjelaskan tentang kesiapan tanah yang mau diserahkan terakhir Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Papua. Baca selengkapnya di sini. 

Aksi Rojit dan para pedagang ini kemudian mendapatkan perhatian dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada akhir tahun 2014. Rojit kemudian menjadi salah satu perwakilan yang bertemu sejumlah pihak dari DPR RI dan Kementerian BUMN untuk membahas proses pelepasan lahan untuk pembangunan pasar.

Akhirnya, perjuangan Rojit mulai mencapai titik terang. Hal ini terwujud dengan peletakan batu pertama pembangunan Pasar Mama Papua di Jalan Percetakan oleh Presiden Jokowi pada 30 April 2016 lalu.

Tapi belum sempat Rojit menyaksikan pasar tersebut dibuka, ajal sudah menjemputnya.

Kematian yang tidak biasa

Dalam rilis pihak Kepolisian Resor Jayapura, Rojit tewas karena ditabrak orang tak dikenal dengan menggunakan mobil di Jalan Ring Road, Kelurahan Hamadi, Kota Jayapura sekitar pukul 05.00 Waktu Indonesia Timur. 

Saat itu, Rojit sedang mengobrol dengan dua temannya bernama Melianus Diwitouw (22) dan Nehemia Yarinap (32).

Tiba-tiba sebuah sedan berwarna putih langsung menghantam Rojit dan rekannya Melianus yang sedang duduk di badan jalan.

Nehemia selamat dalam kejadian ini. Rojit meninggal di tempat. Sementara Melianus mengalami luka serius di tangannya. Saat ini, Melianus masih mendapatkan perawatan medis di Rumah Sakit Dian Harapan.

Seusai jenazah Rojit dimandikan dan dimasukkan dalam peti, ia pun dibawa ratusan orang ke lokasi sementara Pasar Mama Papua di Distrik Jayapura Utara untuk menerima penghormatan terakhir dari seluruh pedagang.

Ia diantar dengan tangisan ratusan pedagang asli Papua. Termasuk generasi muda Papua yang menimba ilmu di Belanda, Ligya Judith Giay atau Gia. 

Gia yang sedang menimba ilmu di Universitas Leiden menulis sebuah surat untuk masyarakat Papua, surat itu kemudian dikirimkan ke Rappler.

(BACA: Farewell yet again to another Papuan leader

Ia menduga kematian Rojit bukan kematian biasa, mengingat perjuangannya untuk hak-hak ekonomi rakyat Papua, terutama perempuan. 

Gia menulis bahwa kematian Rojit jelas mengagetkan, dan masyarakat Papua patut curiga mengapa ada orang yang dengan sembrononya menabrak Rojit dan kawannya yang sedang bercengkrama. 

Insiden kematian mendadak ini bukan terjadi sekali. “Ini bukan yang pertama kalinya Papua kehilangan pemimpinnya dalam sebuah kecelakaan. Saya yakin dia (Rojit) tak akan menjadi yang terakhir,” ujar Gia. 

Karena itu ia tak heran jika masyarakat Papua curiga bahwa pemimpin mereka tidak mati karena kecelakaan biasa, tapi selalu ada motif politik di belakangnya. Sama dengan kematian pemimpin mereka lainnya Arnold Ap, Theys Eluay, dan Mako Tabuni. 

Berikut riwayat ketiga tokoh lainnya tersebut: 

  • Arnold Ap adalah budayawan, antropolog, dan musisi asal Papua Barat. Ia kerap memperkenalkan budaya Papua dalam acara radio mingguan yang diasuhnya sekaligus kurator Museum Cendrawaasih. Pada bulan November 1983, ia ditangkap oleh pasukan khusus militer Indonesia (Kopassus) lalu dipenjara dan disiksa atas dugaan menjadi simpatisan Organisasi Papua Merdeka. Pada April 1984, ia tewas akibat tembakan senjata api di punggungnya. 
  • Theys Hiyo Eluay adalah mantan ketua Presidium Dewan Papua (PDP) yang didirikan oleh mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid sebagai perwujudan daripada status otonomi istimewa yang diberikan kepada provinsi Papua. Pada tanggal 10 November 2001, Theys diculik dan lalu ditemukan sudah terbunuh di mobilnya di sekitar Jayapura. Menurut penyidikan Jenderal I Made Mangku Pastika, yang juga memimpin penyidikan peristiwa Bom Bali 2002, ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh oknum-oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus). 
  • Mako Tabuni adalah aktivis Papua dan wakil ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah ormas yang berkampanye untuk kemerdekaan wilayah Papua Barat Pada 14 Juni 2012, Mako tertembak dalam sebuah operasi penangkapan oleh Kepolisian Papua di Kompleks Perumahan Waena di Jayapura. Penembakan Mako memicu kerusuhan besar-besaran dan kekerasan di Jayapura. Aktivis pro-kemerdekaan Papua mengklaim bahwa Tabuni sengaja ditembak oleh kepolisian, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Mako dilaporkan masih hidup ketika ia dirujuk ke rumah sakit Bhayangkara di Jayapura dan bahwa ia meninggal karena pendarahan dari luka tembak yang dialaminya.

Melihat daftar kematian ini, Gia bertanya-tanya: “Apa ungkapan yang bisa menggambarkan kematian-kematian para pemimpin yang tidak wajar ini?” ujar Gia. 

Ketidakpercayaan terhadap kematian yang wajar itu semakin bertambah dengan insiden sebelum kematian Rojit. 

Sebelumnya, aktivis Papua Barat Steven Itlay ditahan karena memimpin doa massal di acara syukuran bergabungnya ULMWP ke MSG (Melanesian Spearhead Group). 

Setelah itu, insiden tewasnya Rojit. Semua kejadian tersebut terjadi antara 11-20 Mei. 

Gia menggarisbawahi bahwa kematian Rojit tak bisa dilupakan begitu saja oleh warga Papua, karena kerja kerasnya untuk membela Mama Papua yang berliku dan bahaya. “Dia akan dikenang,” kata Gia. 

Selanjutnya, bukan hanya untuk diingat, tapi Gia memastikan kejadian ini tidak akan berlalu begitu saja. 

Sebab, seperti yang kasus sebelumnya, kasus kematian Rojit perlu dijawab oleh pihak berwajib, jangan sampai terbengkalai seperti kasus sebelumnya.

Mungkinkah kasus kematian Rojit terkubur seperti kasus tokoh Papua lainnya? Dan sepeninggal Rojit, akankah pasar untuk Mama Papua tegak berdiri?—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!