Kenapa akses kesehatan gigi dan mulut menjadi masalah untuk perempuan?

Dea Safira Basori

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa akses kesehatan gigi dan mulut menjadi masalah untuk perempuan?
Gigi dan mulut yang sehat merupakan cermin tubuh yang sehat juga

Dewasa ini seringkali kita lupa akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Sepertinya ada kecenderungan di masyarakat bahwa memeriksakan kesehatan gigi hanya penting saat sakit gigi saja, bahkan ada yang sampai tidak memeriksakan hingga giginya mati karena tidak tertangani. Pendidikan mengenai bagaimana menjaga kesehatan gigi dan mulut juga sangat kurang.

Gigi dan mulut yang sehat merupakan cermin tubuh yang sehat juga. Jika kesehatan gigi dan mulut kurang baik, kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan, dan pendidikan kita juga akan kena dampaknya.

Secara sosial, kondisi gigi yang kurang baik akan membuat kita tak percaya diri ketika bersosialisasi, sementara secara ekonomi, kita harus menghabiskan biaya cukup besar untuk merawat gigi.

Dari segi lingkungan, perawatan gigi di klinik gigi menghasilkan limbah medis, sementara dari segi pendidikan, seseorang tidak bisa konsentrasi ketika sedang sakit gigi. Sayangnya hal-hal seperti ini belum menjadi perhatian masyarakat umum.

Karies gigi di Indonesia

Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Kesehatan, penyakit gigi dan mulut terbesar di Indonesia adalah karies gigi atau gigi berlubang dan penyakit gusi. Dari 2007 hingga 2013, prevalensi karies di antara penduduk naik dari 43,4 % menjadi 53,2%.

Jika data Kementerian Kesehatan benar bahwa penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 176.689.336 jiwa pada 2013, maka jumlah penduduk dengan karies bisa mencapai hampir 94 juta orang.

Penyakit gusi

Kasus pembengkakan gusi hingga berdarah juga cukup banyak di Indoneia, terutama di antara remaja perempuan dan ibu hamil. 

Saat pubertas, peningkatan hormon progesteron dan estrogen menyebabkan peningkatan sirkulasi darah ke gusi. Hal ini dapat membuat gusi lebih sensitif sehingga akan berreaksi berlebihan terhadap iritasi. 

Sesudah masa pubertas terlewati, kecenderungan gusi untuk bengkak karena respon dari iritan akan berkurang. Namun demikian, kesehatan gigi dan mulut tetap perlu diperiksa secara rutin.

Perempuan hamil juga rentan terkena gusi bengkak atau berdarah. Sekitar 40% perempuan hamil akan mengalami penyakit gusi yang disebut (pregnancy gingivitis). Hal ini seringkali tak menjadi perhatian saat kehamilan. Perlu ada kerjasama antara dokter kandungan dan dokter gigi untuk memberikan edukasi mengenai perubahan yang terjadi pada kondisi gigi dan mulut saat kehamilan.

Studi yang diterbitkan oleh The Journal of the American Dental Association menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit gusi dan kelahiran prematur. Ibu hamil yang menderita penyakit gusi yang kronis lebih rentan melahirkan sebelum usia kandungan 37 minggu dan bayi yang lahir dibawah berat badan yang ideal.

Perempuan hamil sangat direkomendasikan untuk kedokter gigi untuk memeriksakan serta mendapatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Perawatan yang bersifat preventif dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terkena penyakit gusi.

Jika dibutuhkan perawatan penambalan (untuk mengurangi penjalaran karies) dan pembuatan mahkota maka waktu yang paling ideal dapat dilakukan saat trimester kedua.

Namun jika diperlukan perawatan darurat seperti perawatan saluran akar dan pencabutan gigi dapat dilakukan dengan mengkonsultasikannya terlebih dahulu kepada dokter kandungan. Perawatan yang sifatnya kosmetik juga harus ditunda sampai kelahiran.

Alangkah baiknya, sebelum merencanakan kehamilan, perempuan mengkonsultasikan hal ini agar bayi dalam kandungan dapat mendapatkan nutrisi yang baik untuk proses pembentukan gigi saat masih dalam kandungan. Biasanya perempuan hamil diberikan tablet fluor oleh puskesmas yang dapat dikonsumsi secara aman.

Akses kesehatan gigi dan mulut di Indonesia

Saat ini, Indonesia mempunyai  sekitar  27.500  dokter gigi. Tentu itu tidak cukup untuk melayani penduduk sekitar 250 juta. 

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut pun tak merata. Hampir 85% dokter gigi Indonesia adalah perempuan dan mereka cenderung mengikuti pasangannya saat menikah sehingga penyebaran menjadi tak merata.

Data Depkes 2013 menunjukkan terdapat 9.599 puskesmas di Indonesia, di mana terdapat 6.794 tenaga dokter gigi. Propinsi Jawa Barat mempunyai dokter gigi terbanyak dengan 804 orang, dan Papua Barat terendah dengan 14 dokter gigi.

Seringkali alasan ketidaktersediaan alat kedokteran gigi menjadi alasan bagi dokter gigi untuk tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

Puskesmas pun telah berupaya untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi namun kendala seperti menyediakan alat dan bahan yang terhitung sangat mahal menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah. Bayangkan jika satu dokter gigi harus melayani 9.000 pasien di daerahnya. Hal ini jelas sangat menyulitkan bagi dokter gigi untuk dapat memberikan pelayanan yang komprehensif.

Kesehatan gigi dan mulut dan perempuan

Kesehatan gigi dan mulut dan kaitannya dengan perempuan sangat erat. Perempuan lebih rentan mengalami perubahan hormon yang sangat berpengaruh terhadap sistem tubuh. Jka penyakit gigi dan mulut dibiarkan, perawatan dan penyembuhannya pun akan menjadi lebih rumit dan memakan biaya dan waktu yang dapat menghambat aktivitas perempuan di dalam masyarakat, menghidupi keluarga dan menempuh pendidikan.

Terlebih lagi pelayanan kesehatan gigi dan mulut sangat minim karena kurangnya tenaga medis akibat ketidakseimbangan gender pada profesi dokter gigi di mana masyarakat yang cenderung patriarkis membuat perempuan yang berprofesi dokter gigi terpaksa tunduk dan mengikuti pasangannya, sehingga kuota dokter gigi menjadi tidak terpenuhi.

Lalu apa solusinya?

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memberikan akses pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Pertama, memberdayakan kelompok kerja masyarakat seperti ibu-ibu PKK dan dokter gigi kecil di sekolah. Kedua, pemerintah harus menjamin pengadaan alat dan bahan kedokteran gigi dan mulut di setiap puskesmas.

Dan untuk menambah jumlah dokter gigi di Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan membuka lebih banyak fakultas kedokteran gigi di perguruan tinggi negeri. Selain itu, kurikulum modul kesehatan gigi masyarakat harus memasukkan studi gender agar mahasiswi kekdokteran gigi terbuka mengenai kesetaraan gender dan mahasiswi tergerak untuk terlibat aktif dalam mengabdi pada negara.

Sudah saatnya perangkat pemerintah dan masyarakat umum melibatkan program kesehatan gigi dan mulut dalam pemberdayan perempuan untuk meningkatkan taraf hidupnya. – Rappler.com

Dea Safira Basori adalah perempuan kelahiran Jawa yang senang melakukan eksplorasi jiwa, mengalahkan segala rintangan untuk menemukan hasrat, hidup dan cinta. Sekarang dia sedang menyelesaikan studinya di kedokteran gigi dan mempelajari tarian tradisional Jawa.

Dia juga menaruh minat pada isu perempuan, hubungan internasional dan kebijakan luar negeri. Dea dapat disapa di akun Twitter @DeaSB dan di www.deasafirabasori.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!