Indonesia

Prediksi Euro 2016: Stabilitas Jerman melawan tradisi Perancis

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Spanyol hanya menjadi bayang-bayang di Euro 2016.

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

JAKARTA, Indonesia – Euro 2016, alias Piala Eropa, kali ini bakal lebih susah diprediksi. Jauh lebih susah dibanding edisi sebelumnya yang dengan gampang siapapun pasti menunjuk La Furia Roja alias tim Matador Spanyol yang berpeluang besar jadi juara.

Maklum, di era tersebut, belum ada yang menemukan obat penawar tiki taka. Dominasi Barcelona di Eropa membuat entrenador (pelatih) Vicente Del Bosque menjadikan Blaugrana sebagai tulang punggung tim nasional. Baik dalam permainan maupun pilihan pemain.

Karena itulah, setelah menjuarai Euro 2008, Piala Dunia 2010, dengan gampang orang akan langsung kembali menunjuk mereka untuk menjuarai Euro 2012.

Tapi, saat ini, tiki taka sudah bukan lagi teka-teki. Pola permainan dengan mengandalkan penguasaan bola dan pergerakan jenius pemain itu sudah berhasil dipecahkan misterinya.

Bahkan di level klub pun, possession football tak lagi menjadi momok mengerikan. Setelah Inter Milan mempecundangi Barcelona di Liga Champions 2010, banyak yang sudah menemukan formula penjinak tiki taka.

Dengan sendirinya, situasi di klub memengaruhi permainan di level timnas. Bukti yang paling nyata, Iker Casillas dan kawan-kawan bahkan tak lolos fase grup di Piala Dunia Brasil 2014.

Skuat timnas Spanyol tidak lagi diunggulkan menjadi juara di Euro 2016. Foto dari EPA 

Karena itu, sebagai juara bertahan, Spanyol tak lagi bisa diharapkan peluangnya. Dari tiga tim favorit juara, Spanyol hanya jadi pilihan ketiga setelah tuan rumah Perancis dan Jerman.

Apalagi, para pemain utama di jawara tiga kali Piala Eropa itu tak mengalami kegemilangan yang sama di level klub. Situasi yang dialami Spanyol saat mereka menjuarai Piala Eropa empat tahun silam.

“Gerbong” Barcelona seperti Jordi Alba, Gerard Pique, Sergio Busquets, Andres Iniesta, tak lagi digdaya di level Eropa. Mereka hanya mampu mencapai perempat final.

Belum lagi faktor usia. Iniesta yang menjadi otak permainan tim sudah merambah 32 tahun. Masa-masa senja bagi seorang pemain sepak bola.

Membandingkan penampilannya sekarang dengan empat tahun lalu jelas sangat jauh. Apalagi saat itu dia ber-partner dengan duet sehatinya di Barcelona, Xavi Hernandez.

Alternatif selain Iniesta sejatinya ada dalam diri David Silva, Koke, dan Cesc Fabregas. Namun, Silva dan Koke bakal tak cocok sebagai otak permainan tim. Gaya bermain mereka tidak terlalu “Barcelona”, terutama Koke yang cenderung lebih fisikal di bawah Diego Simeone, pelatih Atletico Madrid.

Yang bisa mengemban peran itu sejatinya adalah Fabregas. Bahkan, Euro kali ini seharusnya menjadi panggung baginya. Tapi, badai di Chelsea membuat banyak pihak tak yakin dengan pemain produk La Masia (akademi sepak bola Barcelona) itu.

Selain problem permainan yang harus dipecahkan Del Bosque, Spanyol juga masih memiliki beban mental lainnya: Mental juara yang hilang.

Setelah begitu digdaya sejak menjuarai Euro 2008, juara Piala Dunia 2012, dan Euro 2012, tak ada lagi kegairahan yang sama terhadap perburuan gelar. Mereka tak lagi “lapar”.

Karena itulah, Del Bosque banyak memadukan pemain yang memperkuat timnas sejak 8 tahun lalu dengan wajah-wajah yang relatif anyar. Mulai dari Bruno Soriano, Nolito, Aritz Aduriz, Lucas Vazquez, hingga Hector Bellerin.

Tapi, para pemain anyar yang tak punya pengalaman tampil di laga-laga besar bakal membawa risiko tersendiri bagi Del Bosque.

Bekal tradisi Prancis

Timnas Perancis sedang berlatih di Stade de France di Saint-Denis. Sebagai tuan rumah, Perancis dijagokan keluar sebagai kampiun Euro 2016. Foto oleh EPA   

Jika Spanyol berada di urutan terbawah dari 3 tim favorit juara, tidak demikian halnya dengan Perancis. Tim tuan rumah itu menjadi unggulan utama.

Tidak hanya faktor bermain di rumah sendiri, tapi juga generasi Perancis kali ini dianggap mulai mendekati kecemerlangan era Zinedine Zidane dan kawan-kawan.

Perancis banjir talenta di sektor depan dan tengah. Di depan, mereka memiliki Olivier Giroud dan superstar Atletico Madrid, Antoine Griezmann.

Karim Benzema seharusnya masuk dalam daftar. Tapi striker Real Madrid itu dicoret pelatih Didier Deschamps karena perselisihannya dengan Mathieu Valbuena.

Di lini tengah, jelas Paul Pogba bakal menjadi ikon. Deschamps memuji setinggi langit bakat pemain Juventus itu. “Dia adalah gabungan dari Patrick Vieira, Zidane, Ronaldinho, Ronaldo, Thiery Henry, dan Ronaldo,” kata Deschamps dalam wawancara dengan ESPN.

Selain Pogba, tim berjuluk Les Bleus itu masih punya gelandang tangguh, Blaise Matuidi. Dengan karakter fisik yang sangat kuat, kedua pemain tersebut bakal menjaga lapangan tengah dengan sangat dominan.

Belum lagi raja intercept Liga Inggris, N’Golo Kante, yang masih mengalami euforia juara bersama Leicester City.

Namun, pasukan Deschamps tetap punya celah. Lini belakang mereka termasuk tidak meyakinkan. Setelah Raphael Varane cedera dan absen dari Euro 2016, kuartet lini belakang terbaik mereka tinggal Bacary Sagna, Adil Rami, Laurent Koscielny, dan Patrice Evra.

Padahal, empat pemain tersebut tak terlalu menonjol di level klub.

Sagna dan Evra, misalnya. Selain sudah menua (Sagna 33 tahun, Evra 34 tahun), keduanya kerap tak banyak berkontribusi dalam serangan.

Memang, Sagna adalah pilihan utama Manuel Pellegrini di Manchester City. Begitu juga Evra di Juventus.  Tapi mereka bakal kerepotan jika harus berduel kecepatan. Karena itu, bek kiri muda AS Roma Lucas Digne bisa menjadi pilihan tepat Deschamps untuk memperkuat sektor kiri.

Selain karena munculnya generasi pemain hebat, Perancis juga diikat oleh tradisi. Sejak 1984, setiap kali mereka menjadi tuan rumah event akbar sepak bola, mereka selalu jadi juara.

Di Euro 1984, saat menjadi tuan rumah, mereka mengandaskan Spanyol 2-0 di partai puncak. Di Piala Dunia 1998, mereka meraih gelar juara dunia untuk kali pertama di depan publik sendiri.

Tapi, mengandalkan hitung-hitungan tradisi seperti itu kerap cukup menyesatkan. Dua momen luar biasa itu tak berdiri sendiri. Mereka ditopang skuat yang hebat.

Piala Eropa 1984 adalah era keemasan Michel Platini. Sedangkan Piala Dunia 1998 adalah generasi emas Perancis yang diisi oleh Zinedine Zidane, Lilian Thuram, Marcel Desailly, dan Didier Deschamps sendiri.

Era kekinian Perancis saat ini belum mencapai kegemilangan para pemain tersebut. Karena itulah, meski Perancis menjadi unggulan utama, mereka tetap belum meyakinkan untuk meraihnya.

Jerman lebih komplit tapi melawan badai cedera

Timnas Jerman saat membungkam Hungaria 1-0 dalam laga persahabatan pra-Euro 2016 pada 4 Juni. Foto oleh Arnea Dedert/EPA 

Penantang paling potensial bagi tuan rumah adalah Jerman. Tim berjuluk Die Mannschaft tersebut konsisten di major event. Sejak 2008, mereka tak pernah keluar dari tiga besar turnamen akbar.

Pasukan Joachim Loew menjadi runner-up Piala Eropa 2008, kemudian berada di posisi ketiga Piala Dunia 2012, dan mencapai titik klimaks dengan menjuarai Piala Dunia 2014.

Kondisi skuat juga lebih stabil bersama Loew. Der trainer 56 tahun itu identik dengan timnas Jerman. Dia bahkan sudah menangani para pemain sejak menjadi asisten Juergen Klinsmann pada 2004. Ini berarti sudah hampir 12 tahun dia membesut pasukannya.

Posisinya juga tak tergoyahkan hingga kini sejak dipromosikan menjadi pelatih utama Jerman pada 2006.

Karena itu, tak banyak prahara ataupun drama yang bisa ditemui di Jerman. Bandingkan dengan Perancis yang identik dengan konflik di hampir setiap turnamen besar yang mereka ikuti.

Nicolas Anelka diusir Raymond Domenech di Piala Dunia 2010. Begitu juga Samir Nasri di Piala Dunia 2014. Yang terbaru, Deschamps baru saja mencoret Benzema dari pasukan Piala Eropa 2016 setelah berkonflik dengan Valbuena.

Dengan stabilitas ruang ganti dan visi jangka panjang Loew, Jerman adalah favorit juara utama. Apalagi, para pemain muda yang menjuarai Piala Dunia 2014 kini mencapai masa emasnya.

Julian Draxler masih belasan tahun dan Andre Schurrle, Thomas Mueller, Toni Kroos, Mario Goetze, bahkan belum mencapai 25 tahun saat mereka menjadi juara Piala Dunia 2014.

Mereka yang dulu dianggap wajah baru kini  justru berada di usia emasnya pada Euro 2016 kali ini.

Mereka tak gelisah meski Philipp Lahm, Miroslav Klose, dan bek tengah Per Mertesacker menyatakan pensiun dari laga internasional. Pembinaan pemain muda timnas Jerman adalah salah satu yang terbaik di Eropa.

Meskipun begitu, bukan berarti Loew tanpa masalah. Dia harus menghadapi kenyataan pahit tiga pemain terbaiknya tak bisa dibawa ke Perancis. Mereka adalah Antonio Rudiger, Marco Reus, dan Ilkay Gundogan.

Bek tangguh Mat Hummels hampir saja mengikuti jejak tiga rekannya namun dia masih bisa “diselamatkan”. Dia hanya bakal absen di dua laga perdana.

Memang, Jerman bukan tim sempurna. Dua aib mereka di kualifikasi Piala Eropa 2016 adalah kalah dari Irlandia dan Polandia. Namun, turnamen besar seperti ini jelas bakal berbeda dibanding sekadar kualifikasi.

Dan Jerman termasuk tim yang “spesialis” turnamen.

Dua tim yang wajib dipantau

Kapten timnas Inggris, Wayne Rooney, yakin timnya bisa jadi kuda hitam di Euro 2016. Foto oleh Georgi Licovski/EPA 

Apakah Piala Eropa 2016 hanya milik tiga favorit juara tersebut? Tentu saja tidak.

Paling tidak ada dua tim yang cukup menjanjikan yang bisa disimak sejauh mana mereka akan bertahan. Bisa jadi salah satu dari mereka bakal jadi kuda hitam.

Pertama, Belgia. Sama seperti Perancis, Belgia sedang banjir talenta di hampir semua lini. Para pemain utama mereka tersebar di berbagai klub besar Eropa.

Mulai dari Eden Hazard di Chelsea, Radja Nainggolan (AS Roma), Marouane Fellaini (Manchester United), Kevin De Bruyne (Manchester City), dan Axel Witsel (Zenit Saint Petersburg).

Di lini depan ada Romelu Lukaku (Everton) dan duo Liverpool, Divock Origi dan Christian Benteke.

Daftar talenta luar biasa itu selalu membuat Belgia dianggap berada di generasi emas. Banyak yang menunggu gelar besar apa yang akan mereka raih. Apalagi, di Piala Dunia 2014, mereka mampu lolos hingga perempat final sebelum dihentikan finalis Argentina 1-0.

Sayangnya, di Euro 2016 mereka kehilangan bek tangguh sekaligus kapten Vincent Kompany.

Tim kedua adalah Inggris. Meski kerap jadi tim PHP (pemberi harapan palsu) kiprah Inggris tetap wajib ditunggu.

Tim berjuluk The Three Lions itu kini mendadak mendapat limpahan talenta baru, terutama di sektor depan. Mereka muncul dalam diri Jamie Vardy (Leicester City), Harry Kane (Tottenham Hotspur), Marcus Rashford (Manchester United), dan Daniel Sturridge (Liverpool).

Dengan empat striker yang menjadi pemain utama di timnya masing-masing, manajer Roy Hodgson tak bakal bingung. Apalagi, Wayne Rooney juga masih aktif bermain. Dia bisa dipasang sedikit ke dalam untuk memberi ruang bagi para bomber yang kebetulan berkarakter pelari cepat.

Lantas, bagaimana dengan tim-tim “tradisional” Piala Eropa? Italia tidak banyak memiliki bintang. Mereka kini hanya menggantungkan nasib pada efek teriakan Antonio Conte dari pinggir lapangan.

Apalagi setelah gelandang yang digadang-gadang sebagai penerus Andrea Pirlo, Marco Verratti, absen.

Praktis, Conte yang musim depan menangani Chelsea ini hanya bisa mengandalkan pada skuat tua yang tak terlalu potensial.

Begitu juga Portugal. Mereka hanya bisa mengandalkan Cristiano Ronaldo. Padahal, sepak bola bukan permainan yang bisa dimenangi sendirian.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!