Lima tuntutan aktivis perempuan dalam RUU PKS

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lima tuntutan aktivis perempuan dalam RUU PKS
Kaukus aktivis perempuan tak mendukung hukuman kebiri dan mati untuk pelaku kejahatan seksual. Menurut mereka pelaku punya kewajiban ikut memulihkan korban.

JAKARTA, Indonesia—Kaukus aktivis perempuan Indonesia menyepakati lima poin penting dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) setelah melalui pembahasan di Komisi Nasional Perempuan pada Jumat, 24 Juni. 

Apa saja kelima poin tersebut? Perwakilan Komnas Perempuan dari Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Sri Nurherwati menjelaskan: 

Pertama, RUU PKS diharapkan menjadi perubahan hukum dan memberikan akses keadilan bagi korban. 

Kedua, RUU PKS diharapkan memberikan hak pemulihan untuk korban dan keluarganya. 

Ketiga, RUU PKS diharapkan dapat menindak pelaku dan memutus impunitas. “Supaya pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya,” ujar Sri. 

Keempat, RUU ini diharapkan dapat merumuskan secara detail pencegahan yang harus dilakukan oleh beberapa pihak terkait dengan pencegahan kekerasan seksual. “Baik di lingkungan pendidikan, sarana publik, yang itu berkaitan dengan kerentanan perempuan yang mengalami kekerasan seksual,” ujarnya. 

Kelima terkait dengan pembuktian. “Kami melakukan perumusan yang berkaitan dengan pengalaman korban, bagaimana supaya dia mendapatkan akses keadilan,” katanya. 

RUU PKS sudah berada di tangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2016. Artinya, DPR berencana membahas dan mengesahkan RUU tersebut pada 2016 ini.

Menurut Sri, selama ini penanganan kasus kekerasan seksual menggunakan undang-undang yang lain atau di hukum acara pidana sehingga tidak maksimal karena tidak mengakomodir kepentingan korban. “Undang-undang yang lain hanya mengakomodir hak tersangka dan terdakwa, korban enggak ada,” ujarnya. 

Sementara itu, kata Sri, korban kekerasan seksual menderita dampak yang cukup serius dalam jangka panjang, sehingga membutuhkan penegasan undang-undang untuk pemulihan. 

Konsisten menolak hukuman kebiri dan mati 

Selain lima poin di atas, kaukus aktivis perempuan juga menolak dengan tegas hukuman mati dan kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, walau itu berarti mereka harus berbeda pendapat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Kementerian Sosial, bahkan dengan pemerintahan pusat. 

Sebelumnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua No. 23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak. Dalam perppu yang sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat itu, pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak dapat diancam dengan hukuman mati dan kebiri sebagai hukuman tambahan.

Jokowi mengatakan Perppu itu diterbitkan untuk mengatasi tindak kekerasan seksual yang menimpa anak-anak yang akhir-akhir ini jumlahnya semakin signifikan.

“Kekerasan terhadap anak sudah saya tetapkan sebagai kejadian luar biasa karena dapat merusak pribadi dan tumbuh kembang anak. Selain itu, juga menganggu ketenteraman dan kenyamanan di masyarakat, sehingga perlu penindakan luar biasa,” kata Jokowi ketika mengumumkan Perppu tersebut di Istana Negara pada Rabu, 25 Mei, lalu.

Dalam Perppu itu terdapat pidana tambahan bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku tindak pencabulan.

Menteri PPA Yohana Yambise juga mengatakan pemerintah mendukung hukuman mati untuk pelaku pemerkosaan. 

Menteri Yohana bahkan mengusulkan pasal hukuman mati masuk dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PSK). Penambahan pasal ini, kata Yohana, berdasarkan keluhan masyarakat yang disampaikan padanya.

Tapi Yohana memberikan catatan, pemberlakuan hukuman mati ini untuk kasus korban yang meninggal dunia seperti kasus YY, gadis berusia 14 tahun yang diperkosa 14 laki-laki, termasuk 7 anak-anak, hingga meregang nyawa.

Apa yang akan dilakukan kaukus aktivis perempuan terkait perbedaan pendapat dengan pemerintah ini? 

Sri mengatakan, kaukus akan tetap menggunakan alasan kemanusiaan untuk menolak kedua bentuk hukuman tersebut. 

“Prinspi utama dalam RUU ini adalah tetap melihat pelaku dan korban sebagai manusia yang memiliki martabat,” katanya. 

Selain itu, kaukus akan menggunakan pendekatan anggaran. “Kebiri dan hukuman mati itu anggarannya cukup besar,” katanya. 

Apa tawaran kaukus selain kedua bentuk hukuman mati itu? 

“Kenapa tidak digunakan itu akses keadilan bagi korban, misal penganggaran visum misalnya, hukuman mati, kenapa harus ditembak mati, selama pelaku masih bisa memenuhi tanggung jawab pemulihan pada korban. 

Sri menambahkan, bukan hanya perbedaan pendapat dengan pemerintah, tapi kaukus telah mempersiapkan skenario untuk menghadapi penolakan dari masyarakat. 

Menurutnya, penolakan masyarakat terjadi karena kurangnya informasi tentang kekerasan seksual ini. “Padahal kekerasan seksual bukan hanya soal alat kelamin, tapi juga cara berpikir, berperilaku, dan kewajiban negara untuk memberikan informasi,” katanya. 

Selanjutnya, Komnas Perempuan sebagai perwakilan resmi kaukus perempuan akan membawa usulan tersebut ke anggota DPR untuk dibahas, dan jika dimungkinkan RUU PKS disahkan dalam waktu dekat. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!