Road to Final Argentina: Demi beban juara La Pulga

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Road to Final Argentina: Demi beban juara La Pulga
Lionel Messi dan kawan-kawan adalah generasi emas Argentina yang belum sekalipun meraih gelar juara.

JAKARTA, Indonesia – Tak ada yang menyanggah bahwa pemain Argentina terbesar saat ini adalah Lionel Messi. Pemain terbaik dunia lima kali itu sudah mempersembahkan 28 gelar bagi klubnya, Barcelona.

Bersama pemain kelahiran Rosario, Argentina, itu, Barcelona meraih 8 gelar Primera Division, 4 gelar Liga Champions, dan 3 gelar Piala Dunia Antar Klub.

Sudah puluhan rekor pencetak gol terbanyak dia pecahkan.

Rentetan gelar di level klub itu bahkan tak akan pernah bisa disamai pemain Argentina manapun dalam sejarah. Tidak juga Maradona, sosok yang sudah dianggap sebagai dewa dalam sepak bola Argentina.

Namun, sefantastis apapun penampilan Messi, dia tak pernah dicintai oleh rakyat Argentina. Bahkan, menurut mereka, pemain 29 tahun itu “tidak terlalu Argentina”.

Ya, Messi memang dilahirkan di Rosario, sebuah kota kecil yang berada sekitar 300 km dari Buenos Aires. Namun, dia meninggalkan negeri Tango itu sejak usia 13 tahun demi mengikuti akademi La Masia milik Barcelona.

“Satu-satunya yang membuat kami sadar bahwa dia adalah orang Argentina adalah aksen bahasa Spanyolnya,” kata jurnalis sepak bola Argentina Martin Mazur kepada Jeff Himmelman, wartawan The New York Times, dalam tulisan tentang Messi yang sangat menyentuh: The Burden of Being Messi.

“Tanpa itu, orang mungkin lupa bahwa dia orang Argentina. Atau justru mereka ingin membunuhnya,” imbuh Mazur.

Pemain berjuluk La Pulga (Si Kutu) itu memang bakat terbaik sepak bola dunia dalam generasinya. Dan dia mendapatkan segalanya dengan handicap yang tak mudah. Posturnya kecil membuat dia kerap menjadi sasaran tekel lawan.

Tapi, dia selalu bisa melewati satu per satu bek. Meliuk-liuk, melompati serbuan tebasan kaki pemain dengan mudah untuk kemudian menempatkan bola ke sudut sempit sela-sela kiper atau pojok tiang gawang.

Namun, itu semua tidak ada artinya bagi warga Argentina. Bahkan, pada suatu hari di 2013, layar raksasa di Central Stadium Rosario memajang gambar Messi lengkap dengan jersey La Albiceleste—julukan timnas Argentina.

Alih-alih bertepuk tangan, para suporter yang berada di stadion melancarkan boo hingga gambar itu menghilang dari pandangan mereka.

“Bakat Messi dilahirkan di Eropa. Bukan di sini,” kata Jonathan Gilbert, jurnalis Argentina lainnya.

Sosok Messi memang berbeda dibanding pemain-pemain besar Argentina lainnya. Mereka hijrah ke Eropa setelah musim gilang gemilang di klub lokal.

Mulai dari Carlos Tevez yang alumni Boca Juniors, Gonzalo Higuain (produk River Plate), dan Maradona yang berkibar di Boca Juniors sebelum dipinang Barcelona dan Napoli.

Semua celaan dan makian terhadap Messi itu bahkan sempat membuat dirinya berpikir untuk mundur dari timnas. Namun, sejatinya semua kritikan itu bisa berkurang. Atau bahkan berbalik menjadi pujian. Syaratnya, dia harus mempersembahkan piala untuk negaranya.

Peluang itu sempat datang saat Argentina mencapai final Piala Dunia 2014. Namun, momen selangkah dari gelar juara dunia itu harus kandas di tangan Jerman.

Peluang serupa datang tahun lalu saat mereka sampai di final Copa America 2015. Tapi, gelar akhirnya harus dikuasai tuan rumah Chile.

Jika Xavi Hernandez mengatakan bahwa sepak bola selalu memberimu kesempatan kedua, tidak demikian halnya dengan Lionel Messi. Messi mendapat kesempatan ketiga.

Dia akan kembali memimpin rekan-rekannya menghadapi (lagi-lagi) Chile di babak final Copa America Centenario 2016, Senin, 27 Juni, pukul 06.30 WIB.

Bedanya, jika dulu pertandingan digelar di Chile, kali ini digelar di Amerika Serikat, tepatnya di MetLife Stadium, East Rutherford, New Jersey.

Meyakinkan sejak laga perdana

Sejak laga perdana Copa America Centenario 2016, Argentina belum sekalipun menderita kekalahan. Rekor mereka sempurna.

Bahkan, dalam lima laga, hanya dua gol yang mampu menembus gawang Sergio Romero. Masing-masing dari Chile di fase grup dan Venezuela di perempat final.

Sisanya, Argentina mencatatkan clean-sheet alias nol kebobolan.

Dalam catatan produktivitas, tim Amerika Selatan itu juga lebih unggul dibanding Chile. Mereka mencatatkan 18 gol sepajang turnamen. Unggul satu gol dibanding Chile yang memproduksi 17 gol.

Namun, Argentina menjalani turnamen tersebut dengan lebih stabil. Mereka datang ke Amerika Serikat dengan skuat yang dalam. Lini depan mereka, misalnya. Bisa jadi ini adalah lini depan timnas terbaik di dunia.

Gonzalo Higuain adalah top scorer Serie A dengan 36 gol. Sergio Aguero musim ini menciptakan 24 gol di Liga Primer (hanya berselisih satu gol dari striker Tottenham Hotspur Harry Kane).

Sementara itu, Lionel Messi mempersembahkan 26 gol bagi Barcelona.  

Barisan penyerang berbahaya itu semakin tajam dengan dukungan gelandang dan sayap bertipe agresif seperti Angel Di Maria, Javier Pastore, Erik Lamela, dan Ezequiel Lavezzi.

Namun, Lionel Messi, sang bintang utama, sengaja disimpan di awal turnamen.

Dia tidak bermain di laga pertama saat rekan-rekanya mengalahkan Chile 2-1. Di laga kedua melawan Panama, dia baru masuk di menit ke-61 dan langsung menciptakan hattrick. Messi kembali masuk sebagai pemain pengganti di laga kedua melawan Bolivia.

Setelah Argentina lolos dari fase grup, Tata—sebutan Gerardo Martino—baru memasangnya sejak menit pertama. Hasilnya, Argentina menghancurkan Bolivia 4-1 dan tuan rumah Amerika Serikat 4-0.

Tata juga memasang formasi lebih fleksibel. Jika dengan Messi, tim akan bermain 4-3-3. Jika tanpa Messi, Argentina akan tampil dengan format 4-2-3-1 dengan Higuain jadi ujung tombak.

Formasi 4-2-3-1 memungkinkan dia untuk mengeksplorasi gelandang dan sayap yang jumlahnya cukup banyak di Argentina. Dengan formasi tersebut, Argentina bisa memasang Sergio Aguero dan Higuain bersamaan.

Aguero tampil sebagai penyerang sayap sedangkan Higuain di ujung tombak. Di sisi sayap lainnya, bisa dipasang Lavezzi, Nicolas Gaitan, atau Di Maria.

Pendek kata, Argentina adalah tim yang paling meyakinkan di semua lini. Dan mereka tidak lagi menggantungkan pada Messi.

Jika Chile di final hanya akan fokus pada pemain mungil tersebut, tukang gedor lain seperti Aguero dan Higuain akan menebar bahaya.

Lagi pula, Messi sudah mulai menunjukkan bahwa dia tidak terlalu ngotot mencetak gol. Dalam laga semi final melawan Amerika Serikat, 22 Juni, Messi lebih banyak membuka peluang untuk rekan-rekannya.

Messi yang sebelumnya adalah pemburu gol kini berubah menjadi pengatur alur bola di lini depan.

Hasilnya, dalam laga tersebut, Messi mengemas dua assist dan “hanya” satu gol.

Situasi semakin bagus bagi Argentina karena Di Maria kemungkinan bisa tampil di final pasca cedera. Kembalinya pemain Paris Saint-Germain (PSG) tersebut akan menambah kekuatan Argentina sepeninggal Lavezzi yang harus menjalani operasi cedera lengan.

Waktu bagi Messi untuk meraih gelar pertama dalam kiprahnya di timnas sudah tiba. Jangan sampai dia menyia-nyiakannya.

Seperti yang dikatakan Maradona. “Kalau mereka tidak juara, lebih baik mereka tidak usah pulang ke Argentina!” katanya.—Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!