Islandia di Euro 2016: Reykjaneshollin dan kerja keras 14 tahun

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Islandia di Euro 2016: Reykjaneshollin dan kerja keras 14 tahun
Kesuksesan Islandia seharusnya bukan menjadi kejutan. Bagi mereka yang memperhatikan geliat negaranya membangun sepak bola.

Aaron Gunnarsson melangkah ke salah satu sudut stadion Allianz Riviera, Nice. Pasukannya mengikuti langkah sang pemimpin timnas itu. Kapten timnas Islandia tersebut lantas merentangkan tangannya dan mengayunkannya dengan lambat. Dia meminta para suporter hening sejenak.

Pemain berewokan itu lantas mengangkat kedua tangannya. Ratusan suporter tim berjuluk Starkarnir okkar itu pun mengikutinya. Dalam aba-aba tertentu, mereka menepuk kedua tangan di udara.

Tempo tepuk tangan terus berjalan cepat. Sampai klimaks. Dan mereka terus bersorak. Bersama-sama. Selebrasi haka malam itu barangkali adalah perayaan terindah yang pernah mereka lakukan.

Ya, di malam tak terlupakan pada 28 Juni itu, Gunnarsson dan kawan-kawan baru saja meraih prestasi yang bahkan siapapun tak akan menduganya. Mereka baru saja menjungkalkan Inggris di babak 16 besar Euro 2016.

Inggris, negara yang selalu disebut sebagai penemu sepak bola, mereka kirim pulang. Padahal, negeri yang baru memutuskan hengkang dari Uni Eropa itu adalah “sekolah” bagi para pelatih “Gunnarsson-Gunnarsson” yang lain.

“Kami tidak memiliki individu yang luar biasa. Kami menang karena kesatuan tim dan kerja keras. Kami harus lebih baik dari siapapun dalam hal ini,” kata pelatih Islandia Lars Lagerback, saat timnya lolos ke Euro 2016 sebagai runner-up mengungguli Turki dan Belanda.

Dua hal itu memang menjadi fokus Islandia: kebersamaan dan kerja keras. Negara bekas wilayah kekuasaan Denmark tersebut tak memiliki banyak sumber daya. Jumlah penduduknya hanya sekitar 332.529 jiwa atau sepersepuluh Kota Surabaya (3 juta jiwa).

Dengan penduduk yang tak seberapa banyak itu, suplai talenta juga tidak melimpah. Dalam satu kota di Islandia, misalnya, terdapat sekitar 4.200 penduduk. Setiap tahun, hanya sekitar 35-50 orang yang dilahirkan.

Dari generasi baru segelintir itu, berapa banyak yang akan memilih sepak bola sebagai jalan hidupnya? Belum lagi sepak bola harus “berkompetisi” dengan cabang olahraga lainnya untuk menarik minat bakat baru.

Karena Islandia hanyalah sebuah pulau kecil (luasnya sekitar 102.775 km persegi atau sepertiga luas DKI Jakarta), klub-klub bola di sana tak banyak punya pilihan. Tidak banyak pemain luar negeri yang mau bermain di sana.

Mau tidak mau mereka memilih pemain-pemain yang ada dan mati-matian membina mereka.

Selain itu, anak-anak di sana boleh memilih lebih dari dua cabang olahraga. Bahkan, saat mereka sudah berusia 18 tahun pun, mereka masih boleh berpindah cabang olahraga dan berlatih dengan klub manapun.

Ini seperti kasus yang terjadi pada Gunnarsson, sang kapten. Saat berusia 16 tahun, dia terpilih untuk memperkuat timnas sepak bola dan bola tangan.

Program tersebut memberi keuntungan bagi anak-anak bertipe late boomer. Saat mereka menemukan masa emasnya, mereka bisa dengan gampang beralih dan menekuninya menuju kesuksesan.

Infrastuktur dan kerja keras

Islandia membina sumber daya yang tak banyak itu dengan faktor kedua: kerja keras. Dan kerja keras itu dimulai 14 tahun lalu.

Saat itu, Knattspynusamband Islands alias KSI (PSSI-nya Islandia) memulai langkah revolusioner. Mereka berusaha mengatasi hambatan utama dalam pembinaan sepak bola: cuaca.

Ya, musim sepak bola di Islandia berlangsung sangat singkat. Hanya berputar dari Mei hingga September atau hanya lima bulan. Tidak sepanjang tahun seperti umumnya liga-liga sepak bola lainnya.

Penyebabnya, cuaca. Di luar bulan-bulan tersebut, Islandia tertutup salju. Akibatnya, pemain tak bisa melakoni pertandingan. Pihak klub pun hanya membuat beberapa program latihan. Bukan laga sebenarnya.

Namun, langkah revolusioner dilakukan KSI pada 2002. Mereka membangun satu gedung khusus untuk sepak bola. Tujuannya, olahraga si kulit bundar itu tak lagi dilakukan di luar ruangan, tapi di dalam ruangan.

Nama gedungnya Reykjaneshollin. “Segera setelah gedung itu dibangun, tim-tim lain menginginkannya juga. Sebab, ternyata gedung itu sangat baik untuk latihan sekaligus untuk pertandingan,” kata mantan Direktur Teknik KSI Sigurdur Ragnar Eyjolfsson dalam wawancara eksklusif dengan These Football Times.

Total pemerintah akhirnya membangun enam gedung.

Enam gedung tersebut dibangun menyebar di seluruh wilayah Islandia. Gedung-gedung itu membuat sepak bola bisa dilakukan di tengah musim dingin. Bahkan, ada tempat khusus untuk para suporter menyerupai tribun stadiun.

Dengan program tersebut, rata-rata per 50 ribu penduduk mendapat satu gedung sepak bola. Itu belum termasuk 20 lapangan sintetis dan 130 lapangan mini untuk sekolah dan beberapa komunitas. Langkah tersebut membuat sepak bola bisa digelar sepanjang tahun.

Jika di negara-negara lain, fasilitas olahraga seperti itu biasanya dimiliki swasta. Klub atau tim nasional harus membayar ongkos sewa yang tak murah.

Namun, tidak demikian halnya di Islandia. Gedung sepak bola dimiliki pemerintah kota. Klub boleh bebas memakainya. Jika sedang tak dipakai klub, warga setempat bisa memanfaatkannya.

Dengan demikian, sepak bola bukan “dimiliki” oleh pihak swasta atau klub. Tapi milik masyarakat. Sepak bola menjadi bagian dari hidup mereka. Fasilitas yang dipakai adalah milik pemerintah kota dan warga menghidupkannya dengan anak-anak mereka bermain di sana.

Ekspansi infrastruktur sepak bola tak hanya dalam pembangunan gedung-gedung tersebut. Tapi juga lapangan sepak bola mini yang dibangun di sekolah-sekolah.

“Ini semua adalah bagian dari filosofi KSI. KSI ingin membangun sepak bola secara terbuka,” kata Sigurdur Ragnar.

Percaya pada pelatih muda

Program sepak bola Islandia tak berhenti di situ. Di tahun yang sama, mereka mengirim sejumlah besar utusannya untuk belajar sepak bola ke Inggris. Mulai dari bagaimana melatih bibit-bibit sepak bola hingga mengelola manajemen klub.

KSI bekerja sama dengan Football Association (PSSI-nya Inggris) untuk memberi pelatihan kepelatihan sepak bola profesional. Orang-orang Islandia itu juga mengejar lisensi pelatih UEFA A dan B.

Total saat ini ada sekitar 700 pelatih dan 70 persen di antaranya memegang lisensi UEFA B sedangkan sisanya UEFA A.

Dengan pelatih berkualitas sebanyak itu, tidak sulit bagi mereka untuk mengelola negara yang kecil. Rasionya, satu pelatih berlisensi B menangani 800-an orang.

Karena Islandia adalah negara kecil, para pelatih tersebut memantau bakat dan melatih mereka dengan intensif. Bahkan, seorang anak berusia 8 sampai 12 tahun, usia di mana bakat besar sepak bola sudah bisa terlihat (Lionel Messi dibeli Barcelona saat berusia 13 tahun) sudah ditangani pelatih berlisensi Eropa.

Para pelatih muda itu rata-rata adalah rekrutan dari pelatih sepak bola sekolah. Sebagian besar dari mereka adalah mantan pemain. KSI sangat agresif mendorong mereka untuk terus belajar kepelatihan.

Para pelatih muda itu pula yang menemukan bakat-bakat besar sepak bola Islandia. Mereka antara lain Aron Gunnarsson (Cardiff City), Gylfi Sigurdsson (Swansea City), atau pendahulu mereka yang lebih populer seperti Eidur Gudjohnsen, peraih gelar Liga Primer, Liga Spanyo, dan Liga Champions bersama Chelsea dan Barcelona.

“Islandia memiliki 90 pemain profesional yang bermain di luar negeri,” kata Siggi Eyjolfsson, Direktur Teknik sekaligus Direktur Pendidikan Pelatih KSI dari 2002-2014.

Kerja keras KSI yang dimulai 14 tahun lalu mulai terbayar sekarang. Di Euro 2016, mereka dianggap tim paling dini bakal angkat koper. Tapi, mereka justru mengalahkan negara tempat mereka belajar sepak bola, Inggris.

“Kepercayaan kami terhadap pelatih muda bukan tanpa alasan. Ingat apa yang dikatakan Joachim Loew, pelatih Jerman, saat membawa timnya juara dunia. Dia bilang, ‘para pelatih muda. Mereka adalah para pencipta juara dunia’,” kata Eyjolfsson.—Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!