LINI MASA: Anggota DPR 2014-2019 yang terlibat korupsi

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LINI MASA: Anggota DPR 2014-2019 yang terlibat korupsi

ANTARA FOTO

Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2014-2019 yang terlibat kasus korupsi.

JAKARTA, Indonesia – Sejak dilantik pada 1 Oktober 2014, sudah tujuh dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 2014-2019 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan sangkaan menerima suap.

Tiga di antara mereka sedang menjalani hukuman penjara, dan yang lain masih menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau dalam proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Ketujuh anggota legislatif itu berasal dari lintas partai dan komisi di DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) “memimpin” dengan dua kader, sementara Komisi V yang membidangi infrastruktur dan perhubungan menjadi yang terbanyak dengan “menyumbangkan” tiga anggota.

Siapa saja mereka? Berikut rangkuman politisi Senayan yang harus berurusan dengan hukum lantaran kedapatan melakukan tindak pidana korupsi.   

28 Juni 2016: I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat

Anggota Komisi III DPR fraksi Demokrat, I Putu Sudiartana, mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Gedung, KPK, pada 30 Juni 2016. Foto oleh Hafidz Mubarak A/Antara

Politikus Partai Demokrat, I Putu Sudiartana, dicokok KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa malam, 28 Juni, dengan sangkaan menerima uang suap sebesar S$40 ribu dan Rp 500 juta untuk menggolkan rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumetera Barat dalam APBN Perubahan 2016 yang disahkan DPR pada Selasa, 28 Juni.

Sebagai anggota Badan Anggaran, Sudiartana yang duduk di Komisi III DPR ini memang bisa “mengatur” alokasi anggaran negara, dalam hal ini APBN-Perubahan. Proses penyidikan masih berlangsung tetapi KPK sudah mengatakan anggota legislatif dari daerah pemilihan Bali itu dikenakan UU Tipikor Pasal 12 A atau Pasal 11.

Selain Putu, KPK juga menangkap Noviyanti (Sekretaris Putu), Muchlis (suami dari Noviyanti), Suhemi (pengusaha), Yogan Askan (pengusaha), dan Suprapto (Kepala Dinas Prasarana, Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Barat).

27 April 2016: Andi Taufan Tiro dari Partai Amanat Nasional (PAN)

Mantan anggota DPR Komisi V Andi Taufan Tiro menunggu pemeriksaan di lobi gedung KPK, pada 13 Juni 2016. Foto oleh Rosa Panggabean/Antara

Andi Taufan Tiro ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 27 April 2016. 

Dalam surat dakwaan, Andi dituduh menerima suap sebesar Rp 7,4 miliar dari pengusaha Abdul Khoir, Direktur PT Windu Tunggal Utama (WTU) untuk mendorong Komisi V DPR meloloskan usulan proyek rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Andi adalah anggota Komisi V yang membidangi infrastruktur dan perhubungan.

Penetapan Andi sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan kasus suap yang menyeret anggota Komisi V lain, Damayanti Wisnu Putranti dari PDI-P. 

Andi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.  

2 Maret 2016: Budi Supriyanto dari Partai Golkar

KPK menetapkan politikus Golkar, Budi Supriyanto, sebagai tersangka pada 2 Maret 2016 dengan sangkaan menerima suap dari pengusaha Abdul Khoir, Direktur PT Windu Tunggal Utama, untuk memuluskan proyek infrastruktur jalan di Maluku dalam tahun anggaran 2016.

Abdul Khoir dihukum 4 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 13 Juni lalu.  

Budi diduga menerima suap dari Abdul Khoir terkait program aspirasi yang diusulkan, yakni proyek pembangunan jalan di Maluku. Sebenarnya, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Budi sempat mengembalikan uang suap sebesar S$305 ribu tetapi ditolak Direktorat Gratifikasi KPK lantaran terkait dengan tindak pidana yang sedang ditangani lembaga antirasuah tersebut.

Setelah mengabaikan dua surat panggilan, KPK menjemput Budi secara paksa pada 15 Maret 2016 lalu. 

Sama seperti Andi Taufan Tiro, politikus Golkar ini menjadi tersangka sebagai hasil pengembangan kasus dugaan korupsi dengan tersangka Damayanti Wisnu Putranti dari PDI-P.  

13 Januari 2016: Damayanti Wisnu Putranti dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Politikus PDI-P, Damayanti Wisnu Putranti, tertangkap tangan menerima suap dari Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir pada 13 Januari 2016. Anggota Komisi V DPR ini diduga menerima suap total Rp 8,1 miliar dalam tiga tahap, masing-masing S$328 ribu, Rp 1 miliar dalam mata uang dolar Amerika Serikat, dan S$404 ribu.

Diduga uang tersebut diberikan Abdul Khoir untuk memuluskan rencana pembangunan jalan yang melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kempupera) di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Kempupera merupakan rekan Komisi V DPR yang membawahi sektor infrastruktur dan perhubungan.

Hingga saat ini, kasus politisi PDI-P ini masih berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

20 Oktober 2015: Dewie Yasin Limpo dari Partai Hanura

Mantan anggota DPR dari fraksi Hanura, Dewie Yasin Limpo (tengah) menangis usai mengikuti sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 13 Juni 2016. Foto dari Wahyu Putro A/Antara

Anggota Komisi VII DPR, Dewie Yasin Limpo, dicokok dalam operasi tangkap tangan di sebuah rumah makan di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 20 Oktober 2015.

Dalam surat dakwaan, Dewie disebut menerima pemberian sebesar 177.700 dollar Singapura dari Kepala Dinas Kabupaten Deiyai Irenius Adi dan pengusaha Setiyadi Jusuf, melalui perantara Rinelda Bandaso.

Uang tersebut diberikan agar Dewie membantu mengupayakan anggaran dari pemerintah pusat sebesar Rp 50 miliar untuk proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

Pada 13 Juni 2016 lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis pidana 6 tahun penjara untuk Dewie Yasin Limpo. 

16 Oktober 2015: Patrice Rio Capella dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem)

DITAHAN. Tersangka kasus dugaan suap Patrice Rio Capella mengenakan rompi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat, 23 Oktober.

Anggota DPR dari Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, harus mengenakan rompi oranye dari KPK. Hari itu, 23 Oktober 2015, Patrice mendatangi gedung KPK untuk memberi kesaksian terkait kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Kejaksaan Agung.

Sebelumnya, Gubernur nonaktif Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti, ditangkap terlebih dulu.

Dalam persidangan, KPK berhasil membuktikan kalau Patrice terbukti menerima gratifikasi terkait proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah badan usaha milik daerah di Provinsi Sumatera Utara oleh kejaksaan. 

Pada 21 Desember 2015, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum mantan Sekjen Partai Nasdem itu penjara selama 1,5 tahun dan denda Rp 50 juta. Selain itu, pengadilan juga mencabut hak politik untuk memilih serta dipilih selama 5 tahun terhitung sejak yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana. 

9 April 2015: Adriansyah dari PDI-P

Politisi PDI-P, Adriansyah, ditangkap tangan oleh KPK di Hotel Swiss-Belresort Sanur, Bali, pada 9 April 2015.

Pria yang pernah menjabat Bupati Tanah Laut selama dua periode itu diduga menerima suap dari Direktur PT Mitra Maju Sukses Andrew Hidayat terkait dengan perizinan tambang di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Andrew juga menjadi tersangka sebagai pemberi suap.

Uang dari Andrew diberikan melalui seorang polisi, Brigadir Agung Krisdianto. Tujuannya, memuluskan rencana bisnis tambang. Duit Rp 2 miliar yang diterima Adriansyah berbentuk tiga jenis mata uang.

Duit senilai Sin$50 ribu diberikan pada April 2015 di Bali. Sementara duit Rp 500 juta diberikan pada 28 Januari 2015 di Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat.

Selain itu, sejumlah uang senilai US$50 ribu diberikan pada 13 November 2014 di Mall Taman Anggrek, Jakarta. Sementara uang senilai Rp 500 juta lainnya diberikan pada 20 November 2014 di Jakarta.

Dalam persidangan, ia dijerat Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pada 23 November 2015, Adriansyah dihukum penjara 3 tahun dan denda Rp 100 juta. 

—Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!