Filipino comic strips

Kontroversi Awkarin, salah siapa?

Dara Tri Alia

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontroversi Awkarin, salah siapa?
Masa remaja adalah masa yang sulit. Penulis beranggapan, bukan salah Karin jika Karin Novilda menjadi seorang 'Karin'


Nama Karin Novilda, atau yang lebih dikenal lewat akun media sosialnya @awkarin, sepekan belakangan menjadi buah bibir baik, di dunia maya maupun dunia nyata. 

Setidaknya hampir di seluruh lingkungan pertemanan dan tempat-tempat yang saya kunjungi, nama Awkarin bergema dimana-mana. Muncul pula berbagai meme dan jokes yang mengolok-ngolok tentang dirinya, baik di Twitter, Facebook, Path, hingga grup-grup WhatsApp dan LINE yang saya ikuti.

Sejujurnya, tidak ada yang spesial dari video blog yang ia unggah beberapa hari lalu. Video berdurasi hampir 30 menit itu menceritakan tentang Karin yang walaupun sedang hancur patah hati dan galau gundah gulana setelah diputusin Gaga, (mantan) pacarnya, namun tetap berusaha tegar dan memberikan surprise untuk ulang tahun yang sudah ia siapkan sejak jauh-jauh hari. 

Jika penasaran lebih lengkapnya, kamu dapat langsung menyaksikan video tersebut di sini. Ini adalah kali kedua Karin mengunggah video yang sama, setelah video pertamanya dihapus karena terlalu banyak menerima respons negatif.

Drama dimulai ketika di akhir video, Karin menangis dan mengeluarkan kemarahan terpendamnya kepada para haters yang ia anggap sudah kelewat batas. Karin menuding perlakuan yang ia terima selama ini dapat dikatakan sebagai cyber bullying dan ia akan menyeret para haters tersebut ke jalur hukum. 

Rasanya tidak sulit untuk ikut menuding dan membenci Karin. Bagaimana tidak, foto dan video Karin dengan pakaian serba terbuka, tato permanen yang ia buat ketika masih di usia sekolah, kehidupan malam, dan pesta minuman keras.

Belum lagi pose mesra berciuman dengan sang (mantan) pacar diumbar dengan gamblang di media sosial yang diakses sebagian besar oleh pengagumnya, yang kebanyakan adalah anak-anak di bawah umur (Karin sendiri juga masih duduk di bangku SMA).

Kebiasaan Karin yang suka berbicara kasar penuh sumpah serapah dan pengakuannya bahwa dia menggunakan kunci jawaban ketika Ujian Nasional juga membuat banyak orang — termasuk saya —mengelus dada dan garuk-garuk kepala seketika. 

Salah siapa?

Kebanyakan stalking akun media sosial Karin bikin saya terus bergumam. Apa yang salah? Siapa yang salah? Kenapa anak zaman sekarang gini banget, ya?

Karin hanya satu dari banyak sekali remaja di media sosial yang saya tahu sibuk menghabiskan hidupnya menciptakan persona di dunia maya dan melewatkan begitu banyak potensi yang bisa mereka kembangkan. 

Oh iya, sudah tahu kan sebelum pindah ke Jakarta Karin adalah salah satu peraih nilai UN tertinggi tingkat SMP di Kota Tanjung Pinang?

Pernah tanya dengan anak sekarang apa cita-cita mereka? Saya yakin sekarang pasti lebih banyak yang bercita-cita jadi YouTubers atau “selebgram” ketimbang jadi dokter atau tentara seperti zaman saya TK.

Pernah lihat sekumpulan anak SD joget-joget dan teriak-teriak, “YouTube-YouTube-YouTube lebih dari TV” sambil mengacungkan jari tengah? Saya pernah. Percayalah saya takut punya anak setelah lihat adegan itu.

Mudah saja jika ingin menyalahkan penggunaan media sosial yang sudah sangat masif dan susah untuk dikontrol untuk membedakan generasi Karin dan generasi-generasi sebelumnya. Tapi kok rasanya naïf sekali mengingat begitu banyak manfaat dan kegunaannya jika digunakan secara benar.

‘Anak dan remaja adalah pusat dari pembangunan’

Anak, khususnya remaja, bukan hanya usia paling rentan, namun juga usia yang penuh dengan kesempatan. Anak dan remaja adalah pusat dari pembangunan. Karena itu juga anak dan remaja merupakan komponen penting dalam tujuan pembangunan berkelanjutan. 

Remaja berusia 10-19 tahun di Indonesia yang pada 2013 sudah mencapai 45 juta orang dan merupakan 18% dari total populasi penduduk Indonesia, jika mendapatkan hak-haknya dengan benar dapat menekan total angka kemiskinan dan ketimpangan negeri ini. 

Tapi pernahkah kita, pemerintah, guru, orangtua melibatkan mereka dalam agenda pembangunan? Apakah kita tahu apa yang sebenarnya Karin dan remaja di luar sana pikirkan, butuhkan, dan perjuangkan? Sudahkah Indonesia menjadi negara yang ramah dan layak untuk anak dan remaja?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya tersadar bahwa masalah Karin hanyalah salah satu dari akibat sering terlupakannya anak dan remaja dalam partisipasi pembangunan berkelanjutan. 

Indonesia bersama ratusan negara lainnya pada 2015 telah menyepakati begitu banyak target terkait kesejahteraan anak dan remaja lewat Global Goals. Padahal Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam pidatonya di World Economic Forum 2015 sudah secara tegas menyatakan keseriusannya dalam investment in people dan investment in children.

“Today, we must change from consumption back to production, from consumption to investment in our infrastructure, investment in our industry, but most importantly, investment in our human capital, the most precious resource of the 21st century,” kata Jokowi saat itu.

i go crazy because here isn’t where i wanna be ☠ • sabrina top: @theshopaholicshouse  by @iaraemid

A photo posted by karin novilda – @k.ayin (@awkarin) on

Fokus perhatian kepada isu hak anak tidak melulu harus tentang kekerasan atau pelecehan seksual yang selama ini sering dibesar-besarkan olehmedia. Bukan berarti itu semua tidak penting, namun kita sebagai orang dewasa, pemerintah, begitu juga guru dan orangtua sering kali tidak sadar bahwa anak memiliki empat hak dasar yaitu Hak Hidup, Hak Tumbuh Kembang, Hak Perlindungan dan Hak Partisipasi. 

Lalu sudahkah kita menghargai Hak Partisipasi anak? Jika kita ingin menginvestasikan anak-anak kita agar menjadi sumber daya manusia yang berdaya nantinya, maka kita harus membiarkan mereka berpartisipasi menentukan arah pembangunan ini.

Sayangnya, saat ini ruang partisipasi anak begitu rendah. Forum anak nasional yang ada di tiap-tiap kota dan kabupaten yang harusnya dilibatkan dalam setiap musrenbang tidak pernah terdengar.

Kalaupun ada perwakilan anak yang dilibatkan aspirasi mereka cendrung akan hilang ketika agenda dilimpahkan ke tingkat nasional. Ini baru di kalangan anak dan remaja dengan akses partisipasi yang memadai. Bagaimana dengan anak marjinal atau anak dengan disabilitas?

OSIS sebagai wadah organisasi siswa di sekolah saat ini semakin tidak berfungsi maksimal dengan hanya menjadi wadah seperti event organizer yang sibuk menggelar sebuah pentas seni. Sedangkan organisasi anak dan remaja di luar sekolah sangat jarang yang bersifat positif dan menjangkau semua kalangan. 

Hal ini kemudian membuat saya tersadar bahwa bukan salah Karin menjadi seorang “Karin”. Remaja adalah masa yang sulit. Saya sendiri pernah merasakan betapa sulitnya hidup sebagai remaja di mana masalah sekolah, cinta, dan persahabatan itu seperti masalah hidup mati yang tak bisa ditawar lagi.

Seperti kata G. Stanley Hall, presiden American Psychological Association, adolescence is a period of storm and stress. Jadi nikmati saja tapi jangan berbuat terlalu ceroboh, apalagi di media sosial, karena apapun yang kita post di sana akan tetap di sana selamanya. Dan pesan saya bagi para remaja yang galau di luar sana, don’t grow up. It’s a trap!

Sementara kita sebagai generasi yang lebih senior harus melihat keberadaan remaja dan orang muda sebagai keuntungan yang besar untuk Indonesia. Yang perlu kita lakukan adalah sesegera mungkin menemukan platform yang pas bagi mereka untuk berpartisipasi dan berprestasi. 

Di era digital seperti saat ini, media sosial yang sering dianggap racun justru dapat dimanfaatkan sebagai upaya pendekatan kepada para remaja. Kita harus ingat bahwa sosial media merupakan media dua arah. 

Jadi, dari pada kita sibuk mengutuki betapa tidak bermoralnya Karin dan remaja masa kini, mari kita gunakan media sosial untuk menjangkau mereka sembari kita berbenah menciptakan Indonesia yang lebih layak anak demi mereka adik-adik kita. Selamat Hari Anak! —Rappler.com

Dara Tri Alia adalah kandidat master jurusan Children and Youth, Social Policy for Development, International Institute of Social Studies, Erasmus University of Rotterdam, Belanda. Di waktu senggang, ia gemar jajan di pinggir jalan sambil menangkap Pokemon. Ikuti kesehariannya lewat Twitter @daratrialia

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!