Pasca insiden pengepungan asrama, mahasiswa Papua di Yogyakarta dicap separatis

Anang Zakaria

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pasca insiden pengepungan asrama, mahasiswa Papua di Yogyakarta dicap separatis
Sebagian besar dari mereka kini mengaku tak lagi nyaman hidup di Yogyakarta dan berniat kembali ke Papua

YOGYAKARTA, Indonesia – Kehidupan mahasiswa Papua di Yogyakarta tak lagi terasa nyaman pasca insiden pengepungan Asrama Kamasan I pada tanggal 14 Juli lalu. Pasalnya, stigma separatis melekat kuat ke semua mahasiswa Papua usai selama 4 hari asrama tersebut dijaga ketat aparat keamanan di Yogyakarta.

Bahkan, mahasiswa Papua di Yogyakarta merasa tak nyaman berada di ruang publik. Nosmin Kadoga, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta mengatakan ada perasaan yang berbeda ketika berada di tempat-tempat umum.

“Pandangan orang-orang itu rasanya lain,” ujarnya ketika ditemui Rappler pada Senin, 25 Juli.

Selama 7 tahun bermukim di Yogyakarta, dia mengaku tak pernah secemas dan setakut itu berada di ruang publik. Ketika tengah mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki, dia merasa seolah-olah ada seseorang yang tak dikenal tengah membuntuti.

“Saya selalu merasa was-was terus,” ujarnya lagi.

Selain disebabkan peristiwa pengepungan asrama, hal lain yang menyebabkan mahasiswa Papua semakin tak nyaman berada di Yogyakarta, karena adanya pernyataan dari Gubernur DIY, Sultang Hamengku Buwono X. Pekan lalu, seperti dikutip media massa, Sultan mengatakan tak ada tempat bagi separatis di Yogyakarta.

“Yogya sudah final jadi republik. Saya minta teman sebangsa, saudara, jangan punya aspirasi separatis,” tuturnya seperti dikutip media.

Perasaan paranoid berada di tempat publik juga dialami oleh mahasiswa asal Papua, Obet Hisage. Saking khawatirnya, dia mengaku memilih tak keluar dari asrama jika situasinya tak penting dan mendesak. Dia memilih mengajak teman jika memang terpaksa keluar rumah.

“Kalau jalan kaki ya paling tidak (harus dengan) dua orang. Jika bawa motor ya dua sampai tiga motor bareng-bareng,” kata dia.

Alasan Obet memilih pergi beramai-ramai karena dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa dirinya jika bepergian seorang diri. Oleh sebab itu, terbesit keinganannya untuk pulang ke Papua. Walau, hingga kini dia masih memilih bertahan tinggal di Yogyakarta.

Dia mengaku masih ingin menanti kedatangan kunjungan rombongan Pemerintah Provinsi Papua ke Yogyakarta untuk bertemu dengan mahasiswa.

“Sekarang, sebagian rombongan sudah ada di Yogyakarta. Tinggal menanti gubernurnya saja,” katanya lagi.

Surat terbuka kepada Sultan

Pernyataan Sultan itu kemudian direspons dengan menerbitkan sebuah surat terbuka. Sekelompok pemuda yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua menilai kalimat Sultan sebagai tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua, khususnya ketika merespons sikap mereka yang mendorong agar Papua menentukan nasibnya sendiri.

“Perlu kami tegaskan di sini, tentang status kami. Status kami, hanya Mahasiswa Pak. Hanya mahasiswa dan bukan separatis seperti yang Bapak maksudkan,” tulis pimpinan Komite Pusat AMP, Jefry Wenda dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Sultan pada Minggu, 24 Juli.

AMP menyebut jika Sultan melabeli mereka dengan sebutan separatis, maka stigma serupa juga diberikan kepada rakyat Yogyakarta yang tinggal di Kabupaten Kulon Progo. Mereka tengah memperjuangkan lahan dari tindak penggusuran karena area itu akan digunakan untuk pembangunan Bandara Temon.

AMP juga menuding Sultan sengaja membungkam kebebasan berekspresi di muka umum karena meminta agar aspirasi yang disampaikan mahasiswa Papua tak dilakukan di depan publik.

“Jika Bapak menggunakan kekuasaan sebagai Raja Jawa untuk membungkam kebebasan berekspresi di muka umum, maka hal itu sama saja dengan Bapak tidak mengakui NKRI sebagai negara demokrasi,” tutur mereka.

Berniat eksodus

ORMAS TOLAK OPM. Anggota polisi berjaga saat aksi tolak OPM di depan Asrama Mahasiswa Papua, DI Yogyakarta, Jumat,15 Juli. Dalam aksinya mereka menolak kelompok separatis yang tumbuh di Kota Yogyakarta. Foto oleh Hendra Nurdiyansyah/ANTARA

Juru bicara Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat dan mahasiswa Papua di Yogyakarta, Roy Karoba mengatakan Kamis pekan kemarin puluhan mahasiswa sepakat akan kembali ke kampung halamannya. Alasan utama mereka, apa lagi kalau bukan karena tidak lagi merasa nyaman tinggal di kota yang disebut-sebut sebagai kota pelajar.

“Eksodus itu sebagai pilihan,” ujarnya pada Ahad, 24 Juli.

Dia menyayangkan pernyataan Sultan yang justru dikhawatirkan malah akah dijadikan sebagai dalih dan pembenaran bagi masyarakat luas untuk mendiskriminasikan orang Papua di Yogyakarta.

“(Kelompok) masyarakat mana pun pasti merasa terancam kalau muncul tudingan separatis,” kata dia.

Menurut data yang diperoleh Rappler, ada sekitar 8.000 warga Papua yang tengah menempuh pendidikan di Yogyakarta. Mereka kuliah di kampus di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Selain tinggal di asrama Papua di Jalan Kusumanegara kota Yogyakarta dan 7 asrama lain di kawasan Sleman, mereka juga tinggal di rumah kontrakan dan kos-kosan.

“Tentu lebih baik kami pulang, kalau di sini sudah tak aman,” ujar Roy. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!