Review film ‘3 Srikandi’: Yang kena sasaran dan yang meleset

Karina Maharani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Review film ‘3 Srikandi’: Yang kena sasaran dan yang meleset
Film yang dibintangi Bunga Citra Lestari, Chelsea Islan, dan Tara Basro ini akan tayang di bioskop tgl 4 Agustus.

JAKARTA, Indonesia – “Yang paling penting dalam hidup bukan menaklukkan, tapi berjuang keras.” Sebuah kutipan dari Pierre de Coubertin, bapak Olimpiade modern, yang membuka film 3 Srikandi. Kutipan yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah film yang tidak sempurna, tapi patut dihargai usahanya. 

Film 3 Srikandi menceritakan kisah Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, atlet pemanah perempuan Indonesia pertama yang memenangkan medali di ajang Olimpiade. Mereka bertiga meraih medali perak untuk panahan berregu di Olimpiade Seoul 1988. Ketiga atlet itu diperankan oleh Bunga Citra Lestari, Chelsea Islan, dan Tara Basro.

Usaha produser Raam Punjabi dan sutradara Iman Brotoseno untuk mengangkat kisah ini menjadi sebuah film layak dipuji. Cerita ketiga atlet ini memang belum terlalu dikenal dan pantas diketahui oleh khayalak luas.

Tapi sayangnya, mungkin hanya 15% dari film yang menunjukkan aksi tiga wanita ini memanah di Olimpiade Seoul. Dan  25% lagi menunjukkan persiapan mereka untuk Olimpiade.

Sisa 60% dari film yang lamanya kira-kira 2 jam lebih itu menekankan masalah-masalah pribadi dalam kehidupan tiga Srikandi dan juga pelatih mereka, Donald Pandiangan, yang diperankan oleh Reza Rahadian. 

Masalah yang dialami ketiga pemeran utama itu berbeda-beda. Nurfitriyana, misalnya, awalnya tidak didukung oleh ayahnya untuk menjadi atlet. Sang ayah berharap ketimbang menjadi atlet, Yana (sapaan akrab Nurfitriyana) lebih baik fokus kepada studinya saja.

Kusuma Wardhani, yang akrab dipanggil Suma, juga tidak mendapatkan dukungan penuh dari orangtuanya. Ayahnya mendorong Suma untuk menjadi PNS supaya hidup lebih terjamin. Sementara, Suma justru jatuh cinta kepada mantan atlet panahan Adang Adjiji. Hubungan ini membuat konflik karena Adang dimusuhi oleh pelatih Donald Pandiangan.

Lain ceritanya dengan Lilies Handayani, atlet panahan yang berasal dari Surabaya. Kedua orangtua Lilies adalah mantan atlet dan mendukung anak mereka dalam berlatih. Tapi sang ibunda tidak menyetujui pacar pilihan Lilies, seorang atlet silat. Ibunya ingin Lilies menikah dengan seorang pengusaha mebel yang kaya supaya masa depannya aman.

PEMAIN UTAMA. Pemeran film 3 Srikandi bersama atlet yang diperankannya. Dari kiri Kusuma Wardhani, Tara Basro, Lilies Handayani, Reza Rahadian, Chelsea Islan, Nufitriyana, dan Bunga Citra Lestari. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Film 3 Srikandi memakan waktu yang cukup lama untuk membawa penonton ke dalam kehidupan pribadi ketiga karakter utamanya. Tapi, tidak pernah dijelaskan peraturan-peraturan dalam kompetisi panahan, teknik apa saja yang dibutuhkan, atau bagaimana menghitung poin untuk menang.

Sutradara Iman Brotoseno mengatakan film ini terdiri dari 70% fakta dan 30% fiksi atau “bumbu”. “Film perlu juga bumbu supaya menarik,” kata Iman.

Iman dan produser Raam Punjabi mungkin berpikir film yang hanya fokus dengan prestasi olahraga ketiga atlet perempuan ini akan terlalu membosankan untuk penonton. Pendapat mereka tidak sepenuhnya keliru. Tapi, mengingat judul film ini memakai nama seorang pemanah legendaris, 3 Srikandi justru kurang menonjolkan olahraga panahan itu sendiri.

Film dimulai dengan irama yang cukup lambat dan terkesan lompat-lompat dari satu Srikandi ke Srikandi lainnya. Baru setelah sekitar setengah jam, mereka semua bertemu dalam seleksi atlet Olimpiade di Jakarta. Di sini film baru mulai hidup.

Ketiga pemeran wanita utama memiliki chemistry yang cukup bagus. Pertemanan mereka tampak authentic dan dapat dipercaya bahwa kerjasama mereka menghasilkan sebuah medali. Bunga Citra Lestari terutama, sangat baik dalam memerankan Yana, atlet yang paling senior. Dia memancarkan aura seorang kakak yang ingin memandu adik-adiknya. 

Reza Rahadian, sebaliknya, tampil sedikit monoton sebagai pelatih tim perempuan yang galak. Gerakan andalannya terlihat menarik yakni rambutnya yang sedikit gondrong ke belakang karena frustasi. Walau begitu, adegan antara sang pelatih, yang dipanggil Bang Pandi, dan atlet asuhannya cukup mengundang tawa.

Adegan-adegan terakhir 3 Srikandi –  menjelang Yana, Lilies dan Suma meraih medali perak – adalah adegan paling memikat dalam seluruh film. Rakyat Indonesia dari berbagai daerah ditunjukkan menunggu di depan televisi dengan cemas. Yana menyemangati kedua rekannya dengan kata-kata inspiratif. Pendukung di Seoul bersorak: “IN-DO-NE-SIA! IN-DO-NE-SIA!”

Adegan ini diperankan dengan penuh perasaan dan mampu membangkitkan rasa nasionalisme orang yang tersinis.

Menurut penilaian penulis, film ini masih memiliki beberapa kekurangan. Tetapi secara keseluruhan, 3 Srikandi  tetap layak ditonton – paling tidak untuk mengenali sosok pemenang medali Olimpiade pertama untuk Indonesia di cabang olah raga panahan.

Film ini juga mampu membangkitkan rasa nasionalisme publik Indonesia yang pesimistis terhadap perkembangan dunia olah raga Tanah Air. Sehingga rasanya pas dengan harapan sang produser, Raam Punjabi yang ingin membangkitkan nasionalisme penonton agar berbuat sesuatu bagi negara.  –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!