Patah hati massal atas pencopotan Anies Baswedan

Zika Mandiri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Patah hati massal atas pencopotan Anies Baswedan

ANTARA FOTO

Mengapa sosok Anies Baswedan akan dirindukan oleh para orangtua dan siswa-siswi sekolah?

“Orang baik pilih orang baik,” kata Anies Baswedan saat masa kampanye pemilihan presiden 2014 lalu.

Sayangnya enggak semua orang baik akan bertahan lama, seperti Pak Anies Baswedan. Ia diangkat jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2014 tapi dicopot hampir dua tahun berikutnya.

Pencabutannya dari posisi nomor satu di Kemendikbud ini disesalkan banyak orangtua, termasuk saya, karena ia punya pemikiran yang tulus soal pendidikan. Ia juga punya gebrakan soal anti-plonco dan membuat mengantarkan anak ke sekolah jadi hal menyenangkan buat orangtua.

(BACA: Anies Baswedan anjurkan antar anak pada hari pertama sekolah)

Buat saya, Anies itu bapak dan panutan ideal. Ia punya prinsip yang kuat, tindakannya jelas mencerminkan ucapannya, punya ide inovatif jauh dibanding para pendahulunya yang enggak jelas tugasnya ngapain. Dan paling penting, he loves kids and education, dan sama sekali enggak keberatan mendidik mereka dengan cara yang paling penuh kasih.

Wajar jika kemudian hati ibu dan bapak patah saat Anies dicopot dari jabatan menteri. Padahal kalau mau jujur, dialah menteri pendidikan yang paling berani membuat pendidikan itu terlihat seksi. Ya, seksi!

Dulu, mana ada orangtua yang mau repot-repot menjadikan hari pertama sekolah as a big deal? Dulu juga mana ada orang yang kepikiran menghapus plonco?

Mungkin itu dianggap hal kecil, tapi hati anak yang berbunga karena diantar orangtuanya ke sekolah itu tak bisa diganti dengan uang sedunia. Plonco yang memalukan dan cenderung hanya balas dendam juga ditiadakan demi mengembalikan harkat adik kelas yang tadinya cuma sampah di mata kakak kelas. 

(BACA: Problematika Masa Orientasi Sekolah dari tahun ke tahun)

Ada satu momen yang membuat saya angkat topi pada Pak Anies adalah ketika ia meminta stafnya mengubah etos kerja. 

Alkisah, ada seorang guru dari daerah yang bertandang ke Kemendikbud di Jakarta dari Magelang untuk mengurus kepangkatan. Tapi sang guru senior itu harus pulang dengan tangan hampa karena staf yang mengurus permasalahannya tidak ada di tempat. Masalah klasik buat PNS di Indonesia.

Terbuanglah percuma semua uang tiket dan waktu yang ia habiskan untuk ke Jakarta karena satu orang staf enggak bertanggung jawab atas tugasnya. 

Untungnya si guru dan keluarga tanpa sengaja bertemu dengan Pak Anies. Setelah diceritakan permasalahannya, Anies tanpa ba bi bu langsung membantu si pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Setelahnya, ia mengirim surat panjang untuk bawahannya agar mau mengubah etos kerja dan menghargai guru-guru lain yang bernasib sama. 

“Jika bapak dan ibu menemui kendala, ada yang menolak untuk berubah, ada yang tidak sanggup untuk menyederhanakan proses, maka tegur dengan keras dan tegas. Beri aba-aba untuk minggir dari barisan!”

Top, markotop si Bapak! Berani menerabas hutan birokrasi yang karut-marut di Kemendikbud. Dan, itu semua ia lakukan karena dia tahu rasanya jadi anak guru karena dulu ayah kandungnya juga mengalami hal yang sama. Intinya, Anies bekerja berdasarkan empati. Dan akhirnya menghasilkan buah karya penuh kasih dan tulus dari hati.

Kecintaannya pada dunia pendidikan sudah terlihat ketika ia mengagas ide Indonesia Mengajar. Gerakan itu mengajak para sarjana yang baru lulus untuk mengajar di Indonesia paling pelosok selama setahun. Lihat bagaimana sarjana-sarjana kota ini jumpalitan menghadapi segala bentuk kendala akomodasi, bahasa, dan budaya.

Keceriaan siswa di SDN Paser saat dikunjungi relawan pengajar Indonesia Mengajar, gagasan Anies Baswedan. Foto dari indonesiamengajar.org

Saya sempat ngobrol dengan Saktiana Dwi Astuti, seorang gadis berjilbab berusia 24 tahun. Ia sempat menjadi relawan guru Indonesia Mengajar di SD 19 Limboro, Majene, Sulawesi Barat, mulai dari November 2010 hingga November 2011. 

“Akses dan fasilitas sangat minim di sana. Maka ketika saya kembali ke sini [Jakarta] saya merasa bersyukur bisa lahir dan mendapat pendidikan yang baik. Sedangkan mereka terus berjuang untuk mimpi-mimpi mereka,” kata Sakti yang mengaku sampai harus membuat ibu kandungnya menangis ketika ngotot pergi ke pedalaman situ.

Itu…itu! Semangat itu yang coba ditanamkan Anies pada anak-anak kota agar mau menengok saudara se-Tanah Airnya di pelosok sana. Anak kota jadi bersyukur punya kemudahan segalanya. Sedangkan anak desa juga jadi pintar karena dibukakan mata pendidikannya. Mutualisme yang enggak kepikiran sama orang-orang sebelum dia. Long live, Pak Anies.

Anies juga sepertinya “agak marah” ketika tahu dirinya akan diganti. Ini terpancar ketika dia tetap bertugas ke Sulawesi Selatan meski Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta para menterinya tidak kemana-mana pada 25 Juli hingga 29 Juli 2016.

Ketika ia resmi dicopot, Rabu, 27 Juli, dan digantikan Muhadjir Effendy, Anies mengirimkan surat yang diunggah lewat akun Facebook-nya. Patah hati Eneng bacanya, Bang!

Kata per kata ia pilih dengan sempurna, menunjukkan kedewasaan dan keeleganan pola pikirnya. Cara dia tetap mengedepankan pendidikan anak dan lingkungannya, mencerminkan kasih sayangnya yang amat sangat pada dunia edukasi.

Wajar jika kemudian Bapak-Ibu sedih dengan kepergiannya sosok macam ini. Biarkan mereka bilang jika ia hanya sosok konseptor dan bukan eskekutor, tapi di hati kami para orangtua, dialah sosok guru paling ideal yang kami harapkan akan mengedukasi anak-anak kami ke depannya. Bye, Pak Anies. Kami menunggu gebrakan Anda selanjutnya. —Rappler.com

Zika adalah seorang web-editor yang pernah menjajal tiga media nasional di Indonesia. Ia bermimpi mau punya SPBU sendiri sebelum minyak dunia habis dan nyaris mendapat titel kutu buku sejati. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!