Kisah pelajar Indonesia yang tertangkap di Turki karena diduga pendukung Fethullah Gülen

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah pelajar Indonesia yang tertangkap di Turki karena diduga pendukung Fethullah Gülen
Keluarga di Wonosobo yakin Handika adalah korban salah tangkap oleh otoritas Turki

SEMARANG, Indonesia – Suara Supartiningsih bergetar ketika menceritakan kembali kisah putranya, Handika Lintang. Pelajar berusia 21 tahun itu ditangkap oleh otoritas berwenang Turki pada tanggal 3 Juni lalu bersama dengan 2 warga setempat lainnya di Kota Gaziantep.

Handika, nama panggilannya, merupakan anak yang berotak cemerlang. Hal itu terbukti sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga SMP, bungsu dari tiga bersaudara pasangan Basuki Raharjo dan Supartiningsih kerap menyabet nilai matematika tertinggi di sekolahnya. Termasuk ketika lulus dari SMP Negeri 2 Wonosobo.

“Saat SMP, hanya empat orang yang dapat nilai 10 pada pelajaran matematika. Salah satunya, anak saya,” ujar Supartiningsih kepada Rappler yang menemuinya pada pertengahan Agustus lalu.

Maka, tak heran jika dia kemudian mampu meraih beasiswa dan melanjutkan pendidikan sarjana di sebuah universitas di kota Gaziantep yang berjarak 4 jam dari Istanbul, Turki. Menurut Supartiningsih, putranya meninggalkan Tanah Air pada akhir tahun 2013 lalu.

“Dia memang cerdas. Jadi, ketika dia ikut olimpiade matematika, lalu dapat beasiswa ke Turki, saya sama sekali tidak kaget,” tuturnya.

Oleh sebab itu, dia mengaku syok saat mendengar kabar putranya ditahan oleh Pemerintah Turki. Batin Supartiningsih semakin terpukul saat mengetahui dari televisi swasta nasional yang menyebut secara gamblang alasan putranya ditahan karena dianggap mendukung Fethullah Gülen, orang yang dituding menjadi otak upaya kudeta di Turki.

“Berat badan saya sampai turun 8 kilogram. Ini ujian terberat dalam hidup saya,” katanya.

Supartiningsih yang mengaku kenal baik putranya menyebut Handika tak pernah memiliki pemikiran radikal, apalagi menjurus pada aksi militer. Dia yakin putranya adalah sosok kutu buku yang tekun belajar, sehingga kecil kemungkinan ikut gerakan itu.

“Dia datang ke Turki tujuannya hanya untuk sekolah dan tidak pernah neko-neko. Dia sudah berada di sana selama 3 tahun dan tidak pernah bermasalah, apalagi sampai memusuhi Presiden di negara lain,” kata Supartiningsih.

Prestasinya di kampus pun, ujarnya, selalu stabil dan tak mengalami perubahan.

Bahkan, dia ragu jika putranya itu ditahan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Mabes Polri di Jakarta, Handika hanya berada dalam sebuah karantina.

“Jadi, dia dalam pengawasan kepolisian dan tidak boleh keluar. Masih belajar seperti biasa,” kata dia.

Supartiningsih mengaku terakhir kali berkomunikasi dengan putranya melalui Skype pada tanggal 1 Juni lalu atau seminggu sebelum kudeta meletus. Handika termasuk rutin mengontak orang tuanya di Wonosobo. Setiap dua hari sekali biasanya mereka akan berkomunikasi melalui Skype.

“Biasanya kami hanya membahas mengenai sekolah. Tidak pernah ada hal yang negatif yang kami bahas, apalagi cerita politik,” tutur dia.

Justru, kata Supartiningsih, jika Handika membahas isu yang negatif, malah dimarahi.

“Pesan terakhir yang dia sampaikan ketika nanti wisuda, kami diminta datang ke sana,” katanya.

Setelah itu, semua informasi mengenai Handika hanya bisa diperoleh dari pejabat KBRI di Ankara.

“Pejabat KBRI pun menjenguk Handika juga tidak boleh membawa ponsel. Jadi, komunikasi hanya bisa disampaikan melalui pengacara ke pejabat KBRI,” katanya.

Oleh sebab itu, dia menyayangkan pernyataan perwakilan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang menyebut putranya malah ditangkap personil kepolisian. Supartiningsih mengaku heran mengapa ada pihak-pihak yang justru menghembuskan kabar tidak jelas di saat genting seperti saat ini. Apalagi, menurut dia, PPI berlokasi di Istanbul dan bukan di Gaziantep.

“Kalau memang anak saya jelek, saya ikhlas. Namun, faktanya kan enggak begitu. Kenapa malah ada pihak yang ingin menjatuhkan nama baik anak saya. Ditambah lagi televisi mempublikasikannya secara besar-besaran,” kata Supartiningsih.

Terlibat organisasi Fethullah Gülen?

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan berdasarkan keterangan dari otoritas setempat Handika terbukti terlibat dalam struktur organisasi  Fethullah Gülen. Bahkan, mereka memiliki bukti struktur organisasi itu dan terdapat nama Handika di dalamnya.

“Dia juga sudah menjadi sasaran dan telah dipantau oleh otoritas di sana,” kata Iqbal yang dihubungi Rappler melalui telepon pada pertengahan bulan Agustus.

Kini, Handika masih harus melalui proses persidangan. Sejak awal persidangan, kata Iqbal, dia telah diberikan pendampingan hukum.

Handika merupakan salah satu dari sekitar 300 pelajar Indonesia yang menerima beasiswa dari Yayasan Pasiad, sebuah organisasi yang mendapat dana dari Gülen.

Diakui Iqbal, nominal beasiswa yang diperoleh dari Yayasan Pasiad tidak sebesar yang diberikan Pemerintah Turki. Terlebih kini, banyak donaturnya yang mulai menghentikan pemberian dana untuk beasiswa itu.

“Kami sedang menyiapkan beberapa opsi bagaimana agar mereka bisa melanjutkan pendidikannya dengan tenang,” ujarnya lagi.

Namun, Supartiningsih bersikeras putranya tak bersalah. Menurutnya, Handika adalah korban salah tangkap, karena saat kudeta terjadi, dia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang tertinggal di apartemen.

Saat itu, Polisi Turki tengah mencari orang lain, tetapi yang ditemukan justru Handika.

“Yang mau dicari enggak ada, maka Handika yang ditangkap polisi,” kata dia.

Sesuai dengan aturan pendidikan setempat, Handika memang kerap berpindah apartemen. Tiap satu semester, mahasiswa Indonesia biasanya dipindah dari satu apartemen ke apartemen lainnya.

“Selama tiga tahun enggak pernah ada masalah. Justru, saat hampir selesai semesteran, baru diketahui kamar yang ditinggalinya ternyata bermasalah. (Kalau tahu seperti itu), kenapa anak saya lantas dimasukan di situ?” tanya dia.

Akan menyusul ke Turki

TUTUP SEKOLAH. Pemerintah Turki meminta 9 sekolah yang diduga terkait dengan organisasi pimpinan Fethullah Gülen agar ditutup. Gülen menjadi sosok yang dicari Turki karena diduga menjadi otak kudeta terhadap pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Lalu, apa yang akan dilakukan keluarga di Wonosobo? Supartiningsih mengatakan, dia berencana untuk terbang ke Turki agar dapat menemui putranya.

“Sekarang, tinggal menunggu jadwal keberangkatan dari kejaksaan di Turki,” katanya.

Dia mengucapkan terima kasih kepada semua teman Handika dan PPI yang selama ini tak kenal lelah memberikan dukungan. Di tempat terpisah, juru bicara Sekolah Asrama Bilingual Semesta, Nur Rochim membenarkan Handika merupakan alumninya.

“Dia lulus empat tahun lalu dan pernah menjadi juara Olimpiade matematika,” kata dia.

SMA Bilingual Semesta mengaku tak memahami mengapa Handika dituduh terlibat kudeta. Sementara, dia tengah menuntut ilmu di sana. Kepala sekolah, Mohammad Haris mengimbau agar keluarga tetap tenang dan memantau upaya pembebasannya.

“Pihak keluarga juga meminta kami untuk pro aktif dalam memberikan kabar mengenai putra mereka. Kami sedang dalam proses membebaskannya dari segala tuduhan,” kata Haris. – dengan laporan Santi Dewi/Rappler.com

 BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!