#PHVote

Kaum difabel minta perbaikan kesejahteraan dan jaminan hak

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kaum difabel minta perbaikan kesejahteraan dan jaminan hak
Rekomendasi yang dihasilkan mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari pendidikan, kesehatan, hak hukum, hingga prevensi dini.

 

YOGYAKARTA, Indonesia – Acara diskusi Temu Inklusi 2016 menghasilkan 10 rekomendasi untuk perbaikan hak dan kesejahteraan kaum difabel ke depannya. Direktur Sasana Integrasi Advokasi Difabel (SIGAB) Joni Yulianto selaku penyelenggara, mengatakan ada dua kategori rekomendasi, yakni umum dan khusus.

“Ini buah pikiran hasil workshop dan diskusi yang berlangsung selama seharian penuh,” kata dia pada puncak malam seni dan budaya, Jumat, 26 Agustus 2016.

Rekomendasi yang dihasilkan mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari pendidikan, kesehatan, hak hukum, hingga prevensi dini. Hak politik juga disinggung, dengan melibatkan perwakilan difabel saat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang); hingga penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes).

Sedangkan, rekomendasi khusus lebih memuat rincian dari bidang-bidang tersebut. Seperti penambahan tenaga kesehatan khusus untuk menangani difabel di Puskesmas, hingga penggunaan teknologi untuk pemenuhan pendidikan anak difabel.

Rekomendasi ini akan disosialisasikan ke pihak terkait seperti pemerintah desa hingga pusat. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDT) Eko Putro Sandjojo yang sempat menghadiri acara, telah memberikan sambutan yang positif.

“Dukung praktek desa inklusi, nanti akan didorong juga lewat Kementerian Desa,” kata Eko.

Mengubah pola pikir

Hal lain yang dibahas adalah perubahan persepsi masyarakat terhadap difabel. Diharapkan, pejabat desa dapat lebih berperan untuk mendorong warganya menerima warga difabel.

“Perlunya dukungan keluarga dan orang tua untuk memotivasi difabel dengan hal-hal yang positif,” kata Joni.

Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) Imam Aziz mengatakan, stigma semacam ini kerap kali menghambat pertumbuhan anak-anak difabel. Keluarga cenderung mengekang mereka lantaran ada rasa malu dianggap memiliki ‘beban.’

“Untuk mengubah ini memang perlu ada diskusi yang komprehensif,” kata dia. Organisasi keagamaan dapat membantu lewat pendekatan rohani seperti pengajian, maupun pesantren.

Selain itu, perlu ada juga pemerataan pemahaman di kalangan pejabat publik dari pusat hingga ke pelosok daerah. Ketua DPC Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Situbondo Lulu Ariyantiny mengungkapkan keberatannya atas istilah ‘penyandang cacat’ dan ‘kaum kurang beruntung’ yang masih sering digunakan pejabat.

Sebelumnya, Camat Lendah, Sumiran, sempat menyebut kaum difabel sebagai ‘mereka yang kurang beruntung.’ Padahal, ia sudah membawahi 6 desa inklusi sejak tahun 2015 lalu.

“Kami selalu menyebut diri difabel,” kata Lulu. Ia dan rekan-rekannya di PPDI Situbondo, secara konsisten menggunakan istilah tersebut hingga masyarakat pun terbiasa.

Selama ini, penggunaan istilah penyandang cacat ataupun kurang beruntung dianggap meremehkan dan bermakna diskriminatif. Paradigma tersebut, lanjut Lulu, harus mulai diubah.

Ia melihat, Kementerian Sosial sudah mulai menggunakan istilah difabel. Namun, hal tersebut belum merata di daerah-daerah terpencil. “Perlu ada sosialisasi dan pemahaman merata,” kata dia.

Pendidikan dan pekerjaan

Kesetaraan juga harus dipertimbangkan dalam aspek pendidikan dan pekerjaan. Harta Nining Wijaya dari Komunitas Perspektif Yogyakarta tengah berupaya merevolusi mental kaum difabel lewat medium seni.

Berdiri sejak Mei 2014, komunitas ini berupaya merevolusi mental kaum difabel lewat medium seni. “Kami ingin menghilangkan istilah berbakat atau tidak, pintar atau bodoh. Setiap difabel butuh kesempatan dan akses,” kata dia.

Karena itu, ia mendorong setiap anggotanya untuk membuat karya seni dengan gambar titik. Bentuk tersebut, katanya, tidak rumit dan bisa dibuat siapa saja.

Saat ini, ada 7 orang anggota komunitas dengan berbagai jenis disabilitas: mulai dari tuli, low vision, hingga multiple disabilities. Hal tersebut tidak menghalangi mereka dalam berkarya. Bahkan pada 2015 lalu, Perspektif menggelar pameran seni di Australia.

“Kami ingin membongkar stigma dan membangun rasa percaya diri mereka,” kata Ning.

Ada juga komunitas Braille’iant yang membantu para tuna netra untuk bisa mengikuti tes uji kemampuan bahasa Inggris (TOEFL). “Sering ditolak dengan alasan tidak bisa, padahal kalau dari penyelenggara resmi TOEFL (ETS), ada tes khusus untuk tuna netra,” kata Ninda Arum Rizky Ratnasari, salah satu penginisiasi.

Untuk mengikuti tes, hanya dibutuhkan soal dalam bentuk huruh Braille, juga relawan pengisi lembar jawaban. Waktunya juga lebih panjang ketimbang tes untuk non-difabel; bisa lebih dari 4 jam. Ada juga kelonggaran persyaratan seperti pengulangan di tes kemampuan mendengar.

Hal ini penting untuk diingat, karena banyak pelajar difabel juga ingin memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Entah di dalam ataupun luar negeri.

Sementara untuk hal pekerjaan, Direktur Difa City Tour and Transport Triyono berbagi kisahnya. Ia membangun usaha transportasi yang 100 persen dijalankan kaum difabel ini, setelah ditolak menjadi pengemudi Go-Jek. Saat itu, ia disebut ‘tidak sesuai dengan standar pengemudi ojek.’

Padahal, di Yogyakarta, banyak kaum difabel yang ingin merintis usaha sebagai ojek. Karena itulah ia mendirikan Difa Ojek, yang mewadahi keinginan tersebut. Para  pengemudi difabel ini memodifikasi motor mereka menjadi beroda tiga, hingga aman digunakan.

“Kami harapkan munculnya Difa bisa menginspirasi para difabel di kota-kota yang lain untuk melakukan hal yang sama, sehingga difabel bisa mendapat penghasilan yang lebih besar dari sebelumnya,” kata dia.

Triyono mengatakan permintaan agar ojek difa meluas ke daerah lain sudah ada, salah satunya datang dari kaum difabel di Bandung. Tetapi, hal itu tetap berpulang kepada aturan yang diberlakukan oleh Pemda Bandung.

Keamanan

Salah satu pentingnya perubahan persepsi juga untuk mengurangi kekerasan terhadap kaum difabel, terutama perempuan dan anak-anak. “Kan ada saja yang suka mikir kalau perempuan atau anak, apalagi difabel seperti tuna grahita (gila, red.) ya boleh saja diperkosa atau dilecehkan,” kata Wakil Direktur Posko Pendampingan Rifka Annisa, Lisa Oktavia.

Aparat penegak hukum juga kerap tidak mempercayai, bahkan menyepelekan kasus kekerasan seksual yang menimpa difabel, karena laporannya dianggap tidak kredibel. Hal inilah yang kemudian membuat banyak korban memilih bungkam.

Beban berat juga dirasakan oleh keluarga korban, apalagi yang masih berpikir kalau mereka mendapat ‘kutukan.’ Lisa mengakui stigma anggapan difabel sebagai beban masih banyak dianut masyarakat.

Tak jarang, yang melaporkan ke organisasinya justru orang lain. “Kami harus mendekati keluarga berkali-kali, dan menjamin pendampingan supaya kasus bisa diusut,” kata dia.

Untuk tahun ini, hingga Juli lalu, Lisa mencatat dari 300 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masuk, 3-4 orang korban adalah difabel. “Itu yang dilaporkan, yang tidak juga pasti ada,” kata dia.

Namun, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Untuk di Yogyakarta, Lisa mengaku kepolisian kerap meminta bantuan organisasinya dalam penanganan kasus difabel.

“Kesadaran itu sudah masuk, dan harus lebih dikembangkan lagi,” kata dia. Tak hanya di kepolisian saja, lembaga hukum lain seperti pengadilan juga harus mulai menyiapkan tenaga ahli khusus untuk menangani korban difabel yang terlibat masalah hukum.– Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!