What's the Big Idea series

Forum LGBTIQ dan IPT 65 menangkan penghargaan Suardi Tasrif

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Forum LGBTIQ dan IPT 65 menangkan penghargaan Suardi Tasrif
"Selama 71 tahun Indonesia merdeka, orang­-orang LGBTIQ tidak dilindungi juga tidak dibantu di Indonesia. Namun kami juga tidak dikriminalisasi." Tapi, saat ini tengah ada upaya revisi KUHP yang bertujuan memasukkan hubungan homoseksual sebagai tindak pidana

 

JAKARTA, Indonesia – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan Penghargaan Suardi Tasrif kepada organisasi Forum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer Indonesia (LGBTIQ Indonesia) dan IPT 65. Organisasi ini dianggap menyuarakan kebebasan berekspresi kaum minoritas di Indonesia, dan mengupayakan rekonsiliasi negara dengan masa lalu kelam.

“Kami harap penghargaan ini semakin mengobarkan semangat keduanya untuk melanjutkan perjuangan kesetaraan hak, serta informasi lengkap tentang apa yang terjadi di masa lalu,” tulis dewan juri dalam pernyataan pada Kamis, 26 Agustus 2016 lalu.

Selain dewan juri yang terdiri dari Anggota Dewan Pers Nezar Patria; Pendiri Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto; dan Luviana, jurnalis pemenang penghargaan tahun 2013; turut hadir Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

‘Jangan kriminalisasi kami’

Mewakili Forum LGBTIQ, hadir Abhipraya Ardiansyah dan Kanza Vina yang memberikan sambutan. Masing-masing kemudian menyampaikan pergulatan hidup mereka, yang berujung pada keterlibatan di forum.

Vina adalah seorang transwoman atau waria asal Bengkulu. Sejak kecil, ia telah dilecehkan dan menjadi bulan-bulanan untuk diejek dan dihina.

“Ketika mulai sekolah, makin tahun, saya makin sering jadi korban ejekan dan cemoohan karena saya feminin. Ketika pelajaran agama, saya menjadi ‘alat peraga’ karena penampilan saya,” kata dia di atas panggung. Ia disebut sebagai ‘umat Nabi Luth’, yang merujuk pada kaum homo seksual.

Saat kelas satu SMP, ia dipaksa oleh sekitar 10 orang kakak kelasnya, untuk melakukan oral sex. Tak terima, Vina mengadukan perbuatan tersebut ke gurunya. Ia berharap akan mendapat perhatian dan perlindungan.

“Namun guru malah menyalahkan saya karena feminin dan bencong,” katanya. Setelah itu, ia mengalami trauma yang mendalam hingga berhenti sekolah.

Setelah setahun menganggur, Vina yang berusia 15 tahun mulai merasa bosan dan mencari pekerjaan. Ia berujung menjadi pekerja seks untuk bertahan hidup. Saat itu, ia sering menerima perlakuan kasar dari preman yang menagih ‘uang setoran.’

4 tahun berlalu, ia diajak kawannya untuk bertolak ke Jakarta guna memperbaiki hidup. Saat itu, Vina sudah tak bisa kembali ke rumah lantaran kakak lelakinya tak mau menerima keadaannya.

Namun, ia hanya membawa Rp 5 juta dan ijazah Sekolah Dasar, yang tentu tak bisa menjamin kehidupan layak di ibu kota. “Saya kembali menjadi pekerja seks dengan harapan dibayar mahal oleh pelanggan Jakarta,” kata dia.

Titik terang terlihat ketika ia berjumpa dengan anggota-anggota sanggar waria remaja (SWARA) pada tahun 2011. Dari situlah ia tergerak untuk turut memperjuangkan orang-orang yang senasib dengan dirinya.

Vina mengatakan kalau seksualitas bukanlah penyakit yang harus disembuhkan. Kecenderungan ini tumbuh secara natural, bahkan sejak masa kanak-kanak.

Pengalaman serupa juga dicetuskan Abhi yang merupakan seorang transman, atau perempuan yang beralih jadi laki-laki. Sejak kecil, ia sudah merasa kalau dirinya adalah lelaki yang terjebak dalam tubuh perempuan.

“Saya ingat saat bermain dengan teman-­teman, saya kesal karena tidak bisa kencing berdiri. Saya juga kesal karena tidak boleh ke masjid dengan teman­-teman saya laki­-laki,” kata dia.

Saat adiknya lahir, ia juga meminta untuk dipanggil dengan sebutan ‘Mas.’ Namun, orang tuanya menentang dan mengatakan ia harus tetap dipanggil ‘Mbak’ seperti kakak perempuan pada umumnya.

Begitu masuk kuliah, ia seperti mendapat pencerahan. Ia bertemu dengan Forum LGBTIQ, dan akhirnya saat berusia 23 tahun, memutuskan untuk terapi hormon.

“Seksualitas adalah sesuatu yang dalam. Ia tampaknya tak cukup dimengerti dengan pendekatan biner: lelaki dan perempuan. Ia juga tak cukup dikatakan sebagai kelainan. Kami sendiri tidak ingin ditempatkan dalam posisi di mana kami harus banyak bertanya,” kata dia.

Tak ketinggalan, ia menyinggung tentang riuhnya upaya represi dan kriminalisasi terhadap hubungan homoseksual di masyarakat. Kepada Menag Lukman, ia meminta perlindungan.

“Selama 71 tahun Indonesia merdeka, orang­-orang LGBTIQ tidak dilindungi juga tidak dibantu di Indonesia. Namun kami juga tidak dikriminalisasi,” kata dia. Tapi, saat ini tengah ada upaya revisi KUHP yang bertujuan memasukkan hubungan homoseksual sebagai tindak pidana.

Abhi berharap Pemerintah Indonesia, mau melihat keadaan kaum LGBTIQ yang serba sulit. Mereka sering dipojokkan dan didiskriminasi. Ia berharap pemerintah akan memberikan pendidikan dan pemahaman publik untuk menghentikan hal tersebut.

Menag Lukman mengapresiasi pemilihan kedua organisasi sebagai pemenang penghargaan.

“Ada kelompok yang memiliki perbedaan-perbedaan baik yang sifatnya filosofis, atau agama, tetapi sebagai sesama saudara sebangsa, saya pikir kita harus bergerak untuk membantu persoalan yang mereka hadapi,” ujar Lukman.

Terkait dengan proses judicial review, Lukman berharap para hakim konstitusi dapat memberikan keputusan yang terbaik. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!