SEA Games

Komnas Perempuan: Zina dan kekerasan seksual tak terkait

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komnas Perempuan: Zina dan kekerasan seksual tak terkait
Komnas Perempuan dan ICJR menyampaikan perbedaan zina dan kekerasan seksual, serta bagaimana perubahan pasal 284, 285, dan 292 yang tengah diincar ini tak akan berdampak apa-apa

JAKARTA, Indonesia — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada Selasa, 30 Agustus.

Sidang uji materi KUHP ini digagas oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk mengubah pasal terkait pemerkosaan tidak hanya pada wanita; juga perzinaan supaya tidak hanya bagi mereka yang sudah menikah, melainkan juga mencakup pasangan yang belum menikah dan homoseksual.

Sidang hari ini menghadirkan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) untuk memberikan keterangan selaku pihak terkait.

Kedua lembaga tersebut menyampaikan perbedaan zina dan kekerasan seksual, serta bagaimana perubahan pasal 284, 285, dan 292 yang tengah diincar ini tak akan berdampak apa-apa.

(LIVE BLOG: Sidang uji materi KUHP di Mahkamah Konstitusi)

Menurut Komnas Perempuan dan ICJR, konteks antara zina dan kekerasan seksual tak berkesinambungan.

“Orang suka melihat zina sama dengan kekerasan seksual, atau pemerkosaan, padahal beda,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana.

Hal ini ia sampaikan karena melihat pemahaman hakim MK dan pemohon yang dinilainya masih sumir akan topik tersebut.

Bukan masalah hubungan badan

Menurut Erasmus Napitupulu dari ICJR, pasal zina yang tengah diperdebatkan sama sekali bukan urusan hubungan badan.

“Logikanya sederhana, perlindungan perkawinan. Begitu perkawinan dihilangkan, aduan hilang, tidak ada urusannya dengan perempuan,” kata Erasmus.

Menurutnya, delik zina yang ada di pidana tidak sama dengan yang ada di dalam kitab suci keagamaan.

Dalam pidana, sorotannya adalah bila ada pemaksaan, maupun pelanggaran pada UU Perkawinan. Sedangkan dalam konteks agama, barulah menyerempet persoalan moralitas.

Keduanya, kata Erasmus, tak bisa digabungkan begitu saja.

Bila permohonan dikabulkan, Erasmus menilai negara telah terlalu jauh masuk dalam ranah privat. “Belanda itu [negara] Kristen taat, berhubungan badan juga dilarang. Tapi mereka rasional, itu ranah privasi,” katanya.


Unsur terpenting adalah, ujarnya, tidak ada kekerasan, pemaksaan, eksploitasi, dan pihak yang dirugikan. Begitu ada pihak yang dirugikan, barulah negara berhak masuk dan mempidana pelaku.

Pendidikan dan tabu

Menurut ICJR dan Komnas Perempuan, hukum pidana bukanlah jalan pintas penghapusan kekerasan seksual. Ada sejumlah cara lain yang bisa ditempuh.

Salah satunya adalah mengubah persepsi masyarakat tentang seksualitas sebagai hal yang tabu. Tingginya angka anak-anak remaja yang sudah berhubungan seksual di bawah usia 18 tahun, menurut mereka, adalah karena terbatasnya informasi.

Bahkan, pasal 534 KUHP justru melarang sosialisasi alat kontrasepsi. Padahal, hal tersebut penting untuk menurunkan angka penyakit menular seks, dan menekan hamil di luar nikah.

“Mereka [anak-anak muda] punya rasa ingin tahu tapi tidak ada yang bisa menjelaskan karena informasinya dianggap tabu,” kata Azriana. Ketidakmengertian terhadap hal-hal berbau seks kemudian memacu mereka untuk melakukan hal tersebut dengan “coba-coba.”

Pasal 534 KUHP berbunyi: 

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah. 

Selain itu, kata Azriana, masih banyak persepsi lain yang mengobjektifikasi perempuan, juga melanggengkan kekerasan.

Cara mengatasinya adalah melalui pendidikan seks yang memadai. Sedangkan untuk bidang moral dan etika, pemuka-pemuka agama dapat memberikan penyuluhan dengan cara masing-masing.

Kuasa Hukum Komnas Perempuan Asfinawati menambahkan, upaya pemidanaan ranah privat seperti yang tengah dilakukan sekarang ini justru dapat memundurkan moral manusia. “Karena mereka hanya akan takut saat ada polisi, tapi begitu tidak, ya tetap dilakukan,” kata Asfinawati.

(BACA: Perlukah hubungan homoseksual dipidanakan?)

Selain regulasi, implementasi juga harus diperhatikan. Menurut Azriana, Indonesia sudah memiliki hukum yang cukup. Untuk kekerasan seksual pada anak, sudah tertuang dalam UU Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual baik lelaki maupun perempuan juga sudah tertuang dalam Pasal 289 KUHP.

Azriana menilai harus ada hal lain yang dilihat bila kekerasan seksual baik pada anak maupun dewasa masih marak terjadi. “Mungkin bukan regulasinya, tetapi penegakan hukumnya bagaimana?” kata Azriana.

Kurang paham konteks?

Azriana mengatakan majelis hakim tampak kurang memahami penjelasan konteks yang diajukan Komnas Perempuan maupun ICJR.  

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, misalnya, mengatakan kalau perzinahan justru berisiko dengan pembunuhan perempuan, perceraian, hingga hamil tak diinginkan.

“Bagaimana kalau hubungan suka sama suka, lalu perempuannya hamil dan prianya ingkar janji dan kabur?” kata Patrialis.

Azriana membalas kalau hal tersebut bukanlah zina maupun perkosaan. “Itu adalah eksploitasi seksual, dan sudah digodok masuk tindak pidana dalam RUU Pencegahan Kekerasan Seksual di DPR sekarang ini,” katanya.

Selain Patrialis, anggota majelis hakim lainnya turut melontarkan pernyataan senada, hingga baik Azriana maupun Erasmus harus mengulang penjelasannya. Atas hal ini, Azriana mengaku tak keberatan.

“Memahami konteks kekerasan seksual itu sulit, butuh waktu lama. Kami di Komnas Perempuan saja membutuhkan waktu puluhan tahun,” katanya kepada Rappler usai sidang.

Kesempatan menjawab pertanyaan hakim, lanjutnya, justru dapat membantu memberikan wawasan pada mereka.

Azriana mengakui kalau para hakim konstitusi memang jarang berurusan dengan kasus-kasus kekerasan seksual. “Ini menjadi PR-nya Komnas Perempuan ke depan,” ujarnya.

Akhir kata, baik Komnas Perempuan maupun ICJR meminta majelis hakim dapat mempertimbangkan faktor-faktor ini sebelum membuat keputusan. Jangan sampai apapun hasil yang diputuskan hanya demi kepentingan satu golongan tertentu.

“Diminta dipidana karena dilarang agama. Tuhan yang larang dalam bentuk agama aja, orang masih zina, apalagi negara mau larang?” kata Erasmus.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!