Kopi Gunung Puntang yang mendunia

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kopi Gunung Puntang yang mendunia
'Semua kopi yang tumbuh di Indonesia itu enak, dunia sudah mengakuinya. Tinggal bagaimana cara kita menanam dan mengolahnya'

SOLO, Indonesia – Sambil menyeruput kopi panas, Ayi Sutedja mulai bercerita tentang biji kopinya yang menjuarai lelang kopi dunia di Atlanta, Amerika Serikat. Petani kopi Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, itu mendapat harga termahal di Specialty Coffee Association of America (SCAA), April lalu, yaitu 55 dollar per kilogram green bean.

Harga itu cukup fantastis untuk kopi premium yang baru dikenal namanya di dunia. Kopi Gunung Puntang mendapat peringkat tertinggi dengan skor 86,25 dari Q-grader – para pencicip yang bersertifikasi sebagai penilai cita rasa kopi.

“Tidak pernah menyangka menjadi juara. Sayangnya kopi saya yang dibawa hanya 20 kilogram,” kata Ayi kepada Rappler dalam temu petani kopi di Solo, akhir Agustus lalu.

Ayi mengaku tidak ada metode khusus yang membuat kopi Arabika miliknya begitu istimewa bagi lidah para Q-grader. Seperti petani pada umumnya, ia mengolah kopinya dengan tiga cara yaitu natural, honey (semi wash), dan full-wash. Tak ada rahasia.

Lalu apa yang membedakannya dari kopi lain? Kombinasi antara kualitas bibit, ketinggian lahan, kondisi tanah, cuaca, dan cara pengolahan sangat menentukan cita rasa kopi. Ayi menyebut Gunung Puntang memang punya segala yang dibutuhkan tanaman kopi untuk tumbuh subur dan menghasilkan biji berkualitas.

Di samping faktor alam dan bibit, Ayi membudidayakan kopi dengan cara organik, sebagaimana tanaman kopi liar di lereng gunung itu yang hanya sebagai pagar pembatas kebun-kebun sayuran. Penanaman dan pemeliharaan tanaman tanpa melibatkan bahan kimia, pemanenan buah dengan cara petik merah, dan pengeringan yang tepat akan memengaruhi rasa dan aroma biji kopi.

Ayi sebenarnya seorang teknisi listrik dan tak punya latar belakang dunia pertanian. Namun, perjumpaannya dengan kopi pada 2011 secara tak sengaja telah mengubah jalan hidupnya menjadi petani.

Ia diberi bibit kopi Arabika oleh temannya, tetapi tidak tahu varietasnya, konon merupakan bibit kopi tertua yang ada di Priangan. Maksud awalnya hanya untuk menghijaukan lereng Gunung Puntang yang mulai rusak.

Tak disangka, ia berhasil mengembangkan menjadi 10.000 bibit, 1.000 di antaranya ia tanam di lahan dua hektar milik Perhutani dengan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat, dan sisanya dibagikan ke petani.

“Setelah berbuah, saya tak tahu buah ini mau diapakan. Kalau dijual mentah hanya Rp 2.000-3.000 per kilo,” kata Ayi.

Ia kemudian belajar mengolah red cherry (buah kopi) menjadi kopi yang siap konsumsi. Pada panen pertama, ia berhasil menjual kopinya di sekitar Bandung dengan label Kopi Gunung Puntang.

BIJI KOPI. Biji kopi Gunung Putang yang digemari para pecinta kopi. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Rupanya kopinya mulai dikenal. Ayi bergabung dengan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), organisasi nirlaba yang bekerja untuk pengembangan bisnis budidaya kopi. Pada akhir 2015, ia mengikuti cupping test (uji cita rasa kopi).

Kopi natural Ayi memperoleh skor 81, honey 85,3 dan full-wash 83,5. Ketiganya melebihi batas skor kualitas kopi spesial, yaitu 80.

Pada 2016, Kementrian Perdagangan dan Caswells Coffee – kurator kopi di Indonesia yang memiliki sertifikat standar SCAA – menyeleksi kopi dari seluruh wilayah Nusantara. Kopi Gunung Puntang terpilih di antara 17 kopi yang dibawa ke Amerika Serikat, selain kopi dari  Gayo dan Toraja.

Sejak menang lelang itu, harga red cherry dari petani di Gunung Puntang naik menjadi Rp 8.000-10.000 per kilogram. Sedangkan Ayi mematok harga kopi green bean olahannya Rp 300.000 per kilogram.

“Sekarang, semua petani kopi di Gunung Puntang menanam kopi organik,” ujar Ayi.

Selain Gunung Puntang, ada kopi lain yang menjadi pemenang di SCAA 2016, yaitu Malabar Honey. Sang petani, Slamet Prayoga, menuturkan cerita kopinya yang sudah beberapa kali melanglangbuana menjadi juara kontes kopi di mancanegara.

Sebelum meraih juara ketiga dalam lelang kopi di Atlanta, kopi Malabar Honey juga pernah menjadi bintang di ajang adu enak kopi dunia di Perancis, Australia, dan Thailand.

“Proses kami juga sama, ada honey, full-wash, dan natural, tak ada yang istimewa. Yang kami lakukan hanya mempelajari dan mengulang semua proses untuk mendapatkan hasil optimal,” kata Slamet.

Slamet menanam kopi di Pengalengan sejak 2012. Ia memang bercita-cita menjadi petani di masa pensiunnya.

Pertama kali menjadi petani kopi, ia benar-benar buta tentang tanaman itu. Beberapa kali, ia gagal mengolah buah menjadi kopi enak.

Namun, proyeksinya tentang peluang bisnis kopi sebagai komoditas dunia yang menjanjikan membuatnya tak pernah patah arang hingga ia berhasil memproduksi kopi yang rasanya diakui para Q-grader. Ia melihat kopi sebagai hasil bumi yang mempunyai pasar yang luas sejak zaman Belanda. Dan, kopi Indonesia kerap kali menjadi primadona di dunia.

“Semua kopi yang tumbuh di Indonesia itu enak, dunia sudah mengakuinya. Tinggal bagaimana cara kita menanam dan mengolahnya,” kata Slamet.

Ia mencontohkan seorang petani di Pangalengan, Jawa Barat, baru tahu kopinya ternyata sangat enak setelah 30 tahun. Sebelumnya, ia tidak tahu cara memproses yang benar dari mulai pemetikan hingga pengeringan, sehingga lebih memilih menjual langsung hasil panennya ke pabrik kopi bubuk dan kopi instan.

Tentu saja, pandangan Slamet tentang reputasi kopi Indonesia itu bukan omong kosong. Penulis buku The Road to Java Coffee, Prawoto Indarto, yang melacak perjalanan kopi dari Jawa hingga penjuru dunia pada abad ke-18, membenarkan bahwa kopi Jawa menjadi brand yang sangat populer di Eropa.

 “Kopi yang tumbuh di Jawa dibawa Belanda pada awal abad ke-18 dan mencapai harga lelang tertinggi, kemudian menguasai pasar Eropa jauh sebelum orang-orang Eropa mengenal kopi Brasil, Guatemala, dan India,” kata Prawoto.

“Kalau kopi dari Pulau Jawa menjadi juara lelang, itu memang sudah seharusnya.”

Pada akhir abad ke-18 wabah hama menyerang perkebunan kopi di Jawa yang menyebabkan stok kopi menipis. Untuk mengisi kekosongan stok, pasar Eropa mengambil kopi dari Amerika Latin.

Namun, nama Jawa sudah terlanjur identik dengan penghasil kopi Arabika paling enak. Jika mengecek kamus bahas Inggris Oxford Dictionary dan sejenisnya, definisi kata “Java” adalah “coffee”, misalnya “I am dying for a cup of Java”, selain berarti juga pulau Jawa dan bahasa pemrograman komputer.

Di Amerika Serikat, kopi Jawa juga menjadi primadona karena cita rasanya. Perusahaan teknologi perangkat lunak Sun Microsystem menggunakan nama Java untuk bahasa pemrograman komputer mereka dengan logo secangkir kopi panas. Pengembang program, James Gosling dan kawan-kawan, mengambil nama itu dari kopi kesukaan mereka.

Meskipun saat ini Indonesia hanya menduduki peringkat 4 dalam produksi kopi dunia – dengan varietas Arabika terbanyak – kopi ternyata bersinonim dengan Java, bukan Brasil sebagai negara produsen kopi terbesar di dunia, bukan pula Kolombia atau pun Vietnam.

Ada sekitar 400 spesies dari genus Cofea, namun hanya sedikit yang dikembangkan oleh manusia secara komersial. Tiga di antaranya yang paling populer adalah spesies Arabika, Canephora (terutama varietas Robusta), dan Liberica – yang ketiganya berasal dari Afrika.

KOPI. Petani tengah memetik biji kopi dari pohon. Foto oleh Ari Susanto/Rappler


Arabika (Typica) dikembangkan di Yaman (Mocha), Panama (Geisha), Jamaica (Blue Mountain), Brazil (Maragogype), India (Kent), Pulau Bourbon (Bourbon), serta Jawa dan Sumatera. Dari kedua pulau di Indonesia itu, Arabika berkembang menjadi banyak varietas dan turunannya antara lain, Blawan, Pasumah, Berdendal, Garundang, Rasuna, Kartika, dan Andungsari.Catatan pertama mengenai kopi dibuat oleh Carl Linnaeus,“Bapak Taksonomi” berkebangsaan Swedia, pada 1753. Saat itu, kopi sudah populer di jazirah Arab, sehingga spesies yang ia temukan diberi nama Cofea Arabika varietas Typica. Pada 1792, ditemukan spesies Cofea Liberica di Sierra Leone dan pada 1857 ditemukan Cofea Canephora varietas Robusta di Kongo.

Sayangnya, kejayaan kopi Jawa di mancanegara tak serta merta membuat kesejahteraan petani kopi ikut meningkat. Masih banyak petani yang enggan mencari cara mengolah panennya untuk mendongkrak harga jual komoditas

Rata-rata mereka memilih menjual red cherry ke petani lain, pengepul, atau menjadi penyuplai pabrik kopi. Padahal, jika mereka lebih sabar dan sedikit telaten mengolahnya menjadi green bean kualitas premium, harganya bisa berkali lipat.

“Karenanya kami selalu mendorong para petani agar tidak hanya memproduksi dan menjual buah kopi, tetapi menjualnya dalam bentuk biji siap sangrai,” ujar Ayi yang kini memiliki tempat pengolahan biji kopi sendiri di Gunung Puntang.

Begitu pula yang dilakukan Suwondo, petani kopi di dusun Plalangan, Lencoh, di lereng Merapi. Meskipun Lencoh Honey mulai popular di kedai-kedai kopi, tetapi belum banyak petani yang mau serius menggarap kopi sebagai agribisnis.

Sama seperti di Gunung Puntang, penduduk desa Lencoh yang rata-rata punya kopi di halamannya, lebih suka membiarkan tanaman peninggalan Belanda itu menjadi kopi organik alias tumbuh liar tak terurus. Jika musim berbuah, mereka hanya mengumpulkan buahnya lalu menjual ke pengepul pabrik kopi dengan harga kisaran Rp 6.000 – Rp 7.000 per kilogram.

Di tangan Suwondo, buah kopi diproses menjadi green bean dengan harga Rp 70.000 per kilogram. Sedangkan harga biji kopi sangrai (roast bean) Rp 250.000 per 800 gram.

“Kalau petani mau untung, minimal menjualnya dalam bentuk green bean, bukan buah panen,” kata Suwondo. – Rappler.com

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!