LBH gugat UU penggusuran, meminta proses hukum sebelum eksekusi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LBH gugat UU penggusuran, meminta proses hukum sebelum eksekusi
Relokasi di Jakarta masih terus berlanjut dengan total 325 kampung.

JAKARTA, Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan warga korban penggusuran mengajukan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

“UU ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang pada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri saat melakukan penggusuran,” kata Pengacara Publik LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy di Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 27 September 2016. Turut hadir pula warga dari Papanggo, Jakarta Utara; dan Duri Kepa, Jakarta Barat.

Sekitar belasan perwakilan warga membawa spanduk bertuliskan Batalkan UU PrP Nomor 51 Tahun 1960 dan Perlakukan Korban Penggusuran dengan Manusiawi. “Kami di sini ingin menuntut hak kami,” kata Hadi, salah satu warga dari Duri Kepa.

Tanpa kompensasi

Mansur Daur, salah satu warga Duri Kepa lain yang mengajukan gugatan, mengatakan penggusuran daerahnya berbarengan dengan Kampung Pulo.

“Tapi karena berbarengan sama Kampung Pulo, jadi tidak terekspos,” kata dia.

Peristiwa tersebut terjadi pada 20 Agustus 2015 dengan 22 Kepala Keluarga menjadi korban. Mansur mengatakan ia sadar kalau mereka tinggal di tanah milik pemerintah, tepatnya sebagian lahan Dinas Pertamanan dan sebagian dari kompleks Pertamina.

Hal yang masih mengganjal adalah tidak adanya pemberitahuan terlebih dulu; ataupun upaya untuk berembuk dengan warga. Pemerintah kota mengklaim kalau mereka sudah melakukan pertemuan dengan pemilik tanah, namun bukan warga yang sesungguhnya.

Hadi dan Mansur mengatakan, ada seorang tokoh bernama Haji Romli yang mengaku sebagai pemilik tanah di Duri Kepa.

“Dia bilang dia yang punya sertifikat, jadi ketemunya sama dia padahal bukan,” kata Mansur.

Karena itu, dari sebelum bahkan sesudah penggusuran, tidak ada kompensasi apapun yang diberikan. Kalaupun ada, bukan diterima oleh Mansur dan kawan-kawan; melainkan sosok asing bernama Romli.

Mansur, yang sudah 19 tahun tinggal di Duri Kepa, mengaku kecewa dengan penggusuran tersebut. Kendati sudah mendapatkan tempat tinggal baru yang tak jauh dari lokasi lamanya, ia masih tak terima prosedur yang menurutnya tidak adil tersebut.

“Kalau mereka minta baik-baik, kami bersedia pergi kok,” kata dia.

Gugatan pasal

Alldo menjelaskan kalau ia dan penggugat lainnya mempermasalahkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6. “Bertentangannya itu, pertama warga jelas kehilangan tempat tinggal, hak atas pekerjaan layak, perlindungan harta benda dan rasa aman, kesamaan depan hukum,” kata dia.

Sesuai dengan kata-kata Mansur, salah satu hal yang diperjuangkan lewat JR ini adalah kesetaraan posisi masyarakat dan pemerintah. Pemerintah, lanjut Alldo, harus berdialog dengan warga dan menghormati proses hukum sebelum melakukan penggusuran.

Menurut Alldo, proses tersebut dianggap penting sebab lewat pengadilan kepemilikan tanah ditentukan. “Jadi tahu apakah tanah tersebut memang milik pemerintah atau bukan,” kata dia.

Setelah pendaftaran, sidang perdana akan digelar sebulan kemudian. Sebab, relokasi di Jakarta masih akan terus berlanjut, dengan total 325 kampung.-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!