Gagal paham penggusuran, relokasi dan ghettonisasi

Elisa Sutanudjaja

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Gagal paham penggusuran, relokasi dan ghettonisasi
Sepanjang 2015 ada 113 kasus penggusuran paksa, 95 kasus diputuskan secara sepihak.

Dalam 13 bulan terakhir, saya menyaksikan 4 penggusuran di DKI Jakarta. Yang pertama penggusuran Kampung Pulo dimana saya menyaksikan belasan alat berat dan demikian banyak aparat di sepanjang Jalan Jatinegara Barat maupun di dalam Kampung Pulo yang berbatasan dengan Kali Ciliwung. 

Penggusuran kedua adalah Kalijodo, dimana saya menyaksikan dari Jalan Bandengan, karena tidak diijinkan masuk ke dalam. Puluhan truk hijau membawa aparat keluar dari Kaliljodo sore itu.Kemudian di bulan April 2016, saya menyaksikan penggusuran Pasar Ikan dan Kampung Aquarium dari depan Menara Syahbandar, Kotatua Jakarta.

Baik Pasar Ikan, Kampung Aquarium, dan Kampung Luar Batang di seberangnya adalah tempat-tempat yang sering saya kunjungi dalam 2 tahun ke belakang untuk kegiatan konservasi dan revitalisasi Kotatua.

Hari ini saya menyaksikan penggusuran di Bukit Duri. Ketika tiba, sekitar 100 meter di kiri Bukit Duri sudah hancur rata, dengan puing-puing menutupi jalanan. Sayup-sayup saya mendengar permainan musik kendang dan tabuhan dari dalam.

Warga memang bertekad menggelar aksi budaya sebagai ekspresi penolakan terhadap penggusuran. Nampak alat berat berwarna hijau sedang mengerjakan tugasnya: menghancurkan satu persatu rumah tanpa peduli.
Saya menyaksikan penghancuran Sanggar Ciliwung Merdeka yang berlokasi di tengah-tengah Bukit Duri.

Sanggar tersebut didirikan pada tahun 2000 oleh oleh Sandyawan Sumardi, pejuang kemanusiaan dan hak asasi manusia yang kiprahnya sudah demikian panjang. CM, demikian singkatannya, bergerak tak hanya di bidang kemanusiaan, tapi juga kesenian dan kebudayaan. Ada juga program-program kesehatan, pendidikan hingga penataan yang dilakukan oleh CM. Pada 2013, CM bahkan mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pejuang City Changer, dalam hal ini sebagai organisasi yang mewujudkan semangat pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan. 

Dalam sejarah panjang permukiman di Jakarta, kampung-kampung kota sudah ada sejak keberadaban kota itu dimulai. Kampung Luar Batang misalnya, berasal dari para pekerja dari Cirebon dan Jawa yang membersihkan sedimentasi dari muara. Kampung Imigran Cina di Kotatua, berada dekat di muara Kali Besar. Sebelum direlokasi oleh VOC ke Glodok -Pancoran sekarang, memudahkan mereka untuk mengembangkan kegiatan ekonominya. 

Menurut laporan ILO tahun 2010, tenaga kerja ekonomi dari sektor informal capai 70% dari total tenaga kerja Indonesia. Sementara kampung kota merupakan rumah informalitas. Dengan sistem ekonominya yang informal dan hubungan kemasyarakatnya yang kental dengan modal sosial, maka kampung menjadi jaring pengaman sebuah kota.

Kampung memiliki kedekatan dengan pusat ekonomi. Karena posisinya strategis dan pada saat bersamaan juga memberikan permukiman yang terjangkau kepada warga yang tidak memiliki akses hunian formal. Keterkaitan ekonomi kampung tidak bisa dilepaskan dari masyarakat urban, terutama kelas menengah.

Betapa kehidupan kelas menengah ditopang dengan keberadaan kampung, dalam berbagai rupa, dari ketersediaan makanan dengan harga terjangkau, moda transportasi informal hingga keberadaan tenaga informal untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Berkat informalitas yang ditawarkan kampung dan penghuninya, beban hidup kelas menengah pun berkurang. 

Permukiman kampung pun bukan sesuatu yang terjadi secara instan dan serta merta. Permukiman dan kampung bukan blok-blok rumah susun yang dibangun secara cepat dengan ukuran 24m2 atau 36m2. Dalam permukiman ada kehidupan sosial yang butuh bertahun-tahun terbentuk, ada kekerabatan, dan ada sejarah. Ada mata rantai ekonomi yang telah mengakar, bagaimana seorang produsen tempe dan tahu di kampung sangat berkaitan erat dengan pasar-pasar di sekitarnya. Apa nasibnya ketika orang-orang seperti mereka pindah ke rusunawa yang letaknya puluhan kilometer dari tempat aslinya.

Selama tahun 2015, LBH Jakarta mencatat adanya 113 kasus penggusuran paksa, dengan 95 kasus diputuskan secara sepihak. Sebanyak 72 kasus penggusuran tidak memiliki tawaran solusi dari pemerintah, kembali warga terlunta-lunta. Bahkan untuk kasus Bukit Duri, warga-warga yang menolak penggusuran sedang berproses di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara di saat penggusuran terjadi.

Kerap kali penggusuran mengatasnamakan kepentingan publik dengan dasar Rencana Tata Ruang. Berkali-kali justifikasi untuk mencapai target ruang terbuka hijau diucapkan oleh pemerintah provinsi, setidaknya untuk kasus Kalijodo dan Pasar Ikan. Padahal proses penyusunan Rencana Tata Ruang hampir tidak pernah menyertakan warga, setidaknya menurut 94% responden survey tahun 2010 yang dilakukan oleh Koalisi Warga Jakarta 2030.

Produk tata ruang sebagai produk teknokratis dan produk rezim yang berkuasa saat itu memang kerap sekali tidak mengindahkan kondisi lapangan. Namun di saat bersamaan, Pemprov DKI Jakarta malah mengakomodasi developer-developer dalam melanggar Koefisien Lantai Bangunan. Misalnya Mori untuk proyeknya di Sudirman, diijinkan menaikkan KLB dari 7 hingga 13, asal membayar kontribusi senilai 700 milyar. Tentu saja keuntungan ini tidak mungkin diakses oleh warga kampung.

Pada daerah tertentu, seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri, Rencana Tata Ruang Wilayah (2012) pun tidak ada kesinkronan dengan Rencana Detil Tata Ruang (2014). Dalam RTRW, arahan tata ruang Sungai Ciliwung di daerah Kampung Pulo dan Bukit Duri adalah pelebaran. Sementara RDTR, yang seharusnya merupakan turunan dari RTRW, malah memuat tata ruang yang bertentangan dengan RTRW, yaitu melakukan sodetan pada Sungai Ciliwung di Kampung Pulo dan Bukit Duri.

Jikapun ada solusi, pemerintah selalu mengabaikan solusi in-situ, ataupun perbaikan setempat. Solusi yang ditawarkan paska penggusuran paksa adalah relokasi ke rusunawa. Hanya sebagian kecil korban penggusuran paksa yang direlokasi ke tempat relatif dekat, seperti sebagian korban gusuran Kampung Pulo yang berpindah ke Rusunawa Jatinegara Barat yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Padahal solusi in-situ ini adalah solusi yang lestari dan memberdayakan warga, seperti contoh program MH Thamrin atau Kampung Improvement Program di masa Ali Sadikin. Dalam evaluasi KIP, Darrundono sebagai pelaksana KIP memberikan catatan betapa KIP tak hanya berhasil memperbaiki sanitasi dan infrastruktur kampung, namun program ini juga memompa warga untuk memperbaiki rumahnya sendiri. Ada rasa kebanggaan pada diri warga. Bahkan jika kita mundur ke belakang sebelum kemerdekaan Republik ini, bahkan pemerintah Kolonial Belanda, didorong oleh putra Betawi, Muhammad Husni Thamrin, melakukan Kampongverbertering (perbaikan kampung) di tahun 1928. 

Dengan semakin majunya teknologi dan desain, semakin beragam dan kreatifnya juga solusi in-situ. Romo Mangun di tahun 1990an dengan Kali Code, Urban Poor Consortium dan Paguyuban Warga Strenkali Surabaya dengan konsep Jogokali nya di tahun 2010. Bahkan Alejandro Aravena, kurator Venice Biennale 2016, lewat firmanya Elemental, terkenal dengan pendekatan inovasi permukiman yang memungkinkan permukiman tumbuh.

Program revitalisasi permukiman di Thailand, Baan Mangkong, dalam 5 tahun pelaksanaannya saja sudah melakukan revitalisasi di 1001 kampung. Sungguh ironis, mengingat ketika Thailand hendak memulai program ini, mereka datang ke Jakarta untuk belajar Kampung Improvement Program.

Relokasi pun membawa bencana ekonomi bagi korban gusuran. Bahkan yang direlokasi hanya bergeser ratusan meter pun mengecap bencana tersebut. Tak sampai setahun, ada 138 KK di Rusunawa Jatinegara Barat yang menunggak sewa. Hal serupa terjadi juga di Marunda yang merupakan relokasi dari Pluit dan Pasar Ikan. Lokasi-lokasi rusunawa selain Jatinegara Barat yang ditawarkan oleh Pemprov DKI begitu terlepas dari denyut kehidupan kota, misalnya Marunda, Rawa Bebek dan Pinus Elok, yang bisa sejauh 20 kilometer dari tempatnya mencari hidup. 

Relokasi itu membawa kepada ghettonisasi. Istilah ghettonisasi, yang diambil dari kata ghetto, adalah menempatkan warga pada daerah yang terisolasi. Dari kampung yang kosmopolitan dan dekat dengan kehidupan ekonomi dan sosial yang beragam, ditempatkan pada lokasi yang demikian jauh dari sumber daya.
Apa artinya Transjakarta gratis di saat harus melewati kemacetan di Tanjung Priok bagi penghuni Marunda demi mengakses keberadaban. Walaupun ada upaya lokal penghuni rusunawa untuk melakukan inisiatif kreatif seperti bercocok tanam, akhirnya mereka menemui kendala tidak bisa menjual hasil cocok tanamnya, dikarenakan karena terisolasi dari keberagaman penghuni kota.

Ghettonisasi sendiri sudah menemui kegagalan fatal di tahun 1970, lewat penghancuran Pruit-Igoe, rusun di St. Louis, Amerika Serikat. 33 bangunan Rusun Pruit-Igoe yang mulai dihuni pada tahun 1954, begitu dielu-elukan pada masanya sebagai solusi bagi kekumuhan dan ketersediaan hunian bagi warga miskin.
Pruitt-Igoe pun terisolasi dengan lingkungan sekitarnya. Dan ketika dihancurkan pada tahun 1971 dan 1972, Pruitt-Igoe disebut-sebut sebagai kegagalan dalam dunia arsitektur, sosiologi dan politik kebijakan sekaligus.

Bahkan secara dramatis, penghancuran Pruitt-Igoe disebut-sebut sebagai matinya arsitektur moderen.
Kegagalan Pruitt-Igoe yang menjadi bak ghetto memang kerap kali dituding karena kebijakan publik yang tidak mendukung. Namun kota Jakarta pun saat ini semakin terfragmentasi dan tersegregasi, dengan kelas menengah yang terpinggirkan, dan kaum miskin yang terisolasi dalam rusunawa. Kondisi Rusunawa Pinus Elok yang menyedihkan secara kondisi infrastruktur dan perawatan, tidak jauh beda dengan tahun-tahun terakhir Pruitt-Igoe.

Kehidupan manusia tidak bisa diseragamkan dan disederhanakan seperti gambar-gambar teknokratik tata ruang. Permukiman tidak bisa disamakan dengan bangunan rumah. Solusi cepat tanpa dialog ala penggusuran paksa-relokasi yang selama ini dilakukan oleh Pemprov DKI adalah cara pikir yang sesungguhnya sudah mati dan malas saat Pruitt-Igoe rata dengan tanah. Solusi tersebut hanya memindahkan masalah, bahkan menambah masalah ke tempat baru. –Rappler.com

 

Elisa Sutanudjaja adalah Program Director di Rujak Center for Urban Studies dan penerima Eisenhower Fellow 2013 (South East Asia Regional Program) dan JENESYS Fellow 2010 (Education in Sustainable Development). Dapat disapa di @elisa_jkt.

 

.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!