Pemerintah pilih jalur non yudisial untuk selesaikan dugaan pelanggaran HAM 1965

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemerintah pilih jalur non yudisial untuk selesaikan dugaan pelanggaran HAM 1965

ANTARA FOTO

Pemerintah mengklaim telah melakukan pendekatan dengan mendengarkan aspirasi masyarakat soal dugaan pelanggaran HAM berat tahun 1965

JAKARTA, Indonesia – Pemerintah membentuk tim gabungan yang terdiri unsur Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Polri, pakar hukum dan perwakilan masyarakat untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat pada tahun 1965. Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan, Wiranto mengatakan pemerintah juga telah menetapkan 3 sikap terkait isu ini.

Pertama, pada tahun 1965 dan tahun sebelumnya telah terjadi perbedaan secara ideologi politis yang berujung pada makar, sehingga menimbulkan kemunduran dan kerugian besar bagi Bangsa Indonesia.

Kedua, pemerintah merasa prihatin atas jatuhnya korban dalam peristiwa 1965 dan secara bersungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Jalur yang dipilih yakni melalui proses non yudisial yang seadil-adilnya agar tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan,” ujar Wiranto yang ditemui usai peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2016 di Jakarta Timur pada Sabtu, 1 Oktober.

Sikap ketiga, pemerintah mengajak dan memimpin seluruh Bangsa Indonesia dengan mengedepankan ideologi Pancasila untuk bersama-sama merajut kerukunan bangsa agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali kini dan masa yang akan datang.

Pendekatan yang ditempuh pemerintah, ujar Wiranto, termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu pada tahun 1965.

“Dari pendekatan yudisial telah dilakukan pendalaman mengenai peristiwa itu. Dari kajian hukum pidana, peristiwa tersebut masuk ke dalam kategori the principles clear and present danger. Negara dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya dan nyata, maka tindakan yang terkait keamanan nasional merupakan tindakan penyelamatan,” tutur dia.

Wiranto menambahkan, dari peristiwa itu juga dapat berlaku adigium abnormal recht voor abnormaale tijden, yaitu tindakan darurat untuk kondisi darurat (abnormal) yang dapat dibenarkan secara hukum. Berdasarkan terori itu, maka peristiwa tahun 1965 tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang.

Konsultasi dan koordinasi (bedah kasus) antara penyelidik Komnas HAM dan penyidik Kejaksaan Agung ternyata menemui hambatan yuridis, terutama menyangkut pemenuhan alat bukti yang cukup (beyond reasonable doubt). Maka, untuk menyelesaikan hal ini, menurut Wiranto diarahkan melalui cara-cara non yudisial. Selain itu, kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan semangat kebangsaan yang membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan.

Penyelesaian melalui cara non yudisial dilakukan dengan mempertimbangkan frasa tidak ada nuansa saling menyalahkan, tidak lagi menyulut kebencian atau dendam, dan sikap atau keputusan pemerintah dibenarkan oleh hukum serta dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan. – dengan laporan ANTARA/Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!