Mewujudkan cita-cita membangun rumah ibadah bagi semua orang

Anang Zakaria

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mewujudkan cita-cita membangun rumah ibadah bagi semua orang
Baru sebagian rumah ibadah di Yogyakarta yang menyediakan fasilitas bagi penyandang difabel untuk memudahkan mereka berdoa

YOGYAKARTA, Indonesia – Slamet, warga Sidorejo, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul kini merasa lebih mudah masuk ke dalam masjid di kampungnya, Baitul Makmur. Lelaki berusia 47 tahun itu seorang tuna netra dan kerap mengalami kesulitan untuk salat.

Tetapi, sejak 2 bulan lalu di Masjid Baitul Makmur, terpasang guiding block dan warning block di halaman. Jalur pengarah bagi kaum tuna netra itu berupa ubin. Permukaannya bermotif dan tidak rata.

Di Masjid Baitul Makmur, jalur tersebut terpasang untuk menghubungkan tempat wudhu dan teras masjid.

“Sebelum ada itu (jalur khusus tuna netra), saya salatnya di sini. Yang jelas, sekarang sejak ada jalur itu jadi lebih mudah,” ujar Slamet pada Selasa, 27 September.

Selain jalur khusus bagi penyandang tuna netra, di tempat wudhu juga disediakan tempat duduk di depan keran. Fasilitas tersebut sebagai tempat duduk bagi penyandang difabel wudhu. Untuk memudahkan mereka masuk ke dalam masjid, pengurus masjid membuat ramp (jalan landai) di teras sebagai jalur kursi roda.

Ada sekitar 7.500 mesjid dan 400 musala di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi, belum semua bangunannya ramah bagi penyandang difabel.

“Masjid (Baitul Makmur) ini salah satunya (yang ramah bagi difabel),” ujar Kepala Seksi Kemasjidan Kantor Wilayah Kementerian Agama Yogyakarta, Anis Wiam Muttaqien pada Selasa, 27 September.

Sehari sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta mengeluarkan surat edaran pada pengelola masjid dan musala untuk mewujudkan aksesibilitas bagi kaum difabel. Di antaranya dengan memasang tempat duduk di tempat wudhu, ramp, hand rail (tempat untuk berpegangan) di jalan datar dan naik, toilet khusus, guiding dan warning block, serta kursi pendek bagi jemaah lanjut usia.

FASILITAS DIFABEL. Surat edaran MUI DIY tentang imbauan agar pengelola masjid dan musala menyediakan sarana bagi penyandang difabel, Selasa 27 September. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

Surat edaran itu rencananya akan diikuti dengan surat lainnya dari Kanwil Kemenag Yogyakarta. Isinya mendorong masjid yang ramah bagi penyandang difabel.

“Khususnya (kami mendorong) agar masjid yang potensial (ada jemaah) difabel untuk membuat fasilitas serupa,” kata Anis.

Dispensasi tidak berubah jadi diskriminasi

Agama hadir untuk semua lapisan manusia. Sehingga, rumah ibadah seharusnya dibangun untuk dapat diakses seluruh penganutnya, termasuk yang memiliki kemampuan berbeda (different ability). Tetapi, kerap kali hal tersebut diabaikan.

“Berdoa (kan) bisa di mana saja. Tuhan pasti mendengarnya. Jadi, berdoa saja di rumah,” ujar Direktur Dria Manunggal, Setia Adi Purwanta memberi contoh kalimat mengenai diskriminasi ibadah bagi kaum difabel.

Lembaga non pemerintah yang dipimpin oleh Setia dalam beberapa waktu terakhir, bersama komunitas lain dan pemuka agama di Yogyakarta memprakarsai percontohan rumah ibadah bagi kaum difabel. Masjid Baitul Makmur di Ngestiharjo termasuk salah satunya.

GUIDING BLOCK. Slamet (47 tahun), penyandang tuna netra, warga Sidorejo, Ngestiharjo Kecamatan Kasihan, Bantul, DIY berjalan di atas guiding block di halaman Masjid Baitul Makmur, Selasa 27 September. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

Kemudian ada juga Gereja Kristen Jawa di Wirobrajan, Sanggar Penghayat “Sumarah” di Wirobrajan, Gereja Katolik di Kemetiran dan Pura Jagatnata di Banguntapan. Dria Manunggal juga membantu pembuatan buku doa dalam edisi braille di Wihara Karangjati.

“Percontohan ini hanya pancingan saja. Semoga tempat ibadah yang lain mau meniru,” katanya lagi.

Ada dua hambatan untuk mewujudkan tempat ibadah yang ramah bagi penyandang difabel. Selain kondisi fisik bangunan, juga persoalan non fisik, seperti pemahaman pengelola rumah ibadah terhadap ajarannya. Dia memberi contoh, jika kursi roda dianggap sebagai “becak” maka sarana bagi penyandang difabel itu tidak bisa masuk ke tempat ibadah.

“Padahal, kursi roda itu kan pengganti kaki mereka,” tutur Setia.

Pendeta Gereja Kristen Jawa Wirobrajan, Yosef Krisetyo Nugroho mengatakan setiap penganut agama memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan peribadatan. Sejak tahun 2006, gereja ini menyediakan ramp bagi penyandang difabel. Jalur khusus itu berada di pintu samping. Selain itu, gereja juga menyediakan 3 kursi roda.

“Kalau jalur khusus untuk tuna netra ini (baru ada) sejak dua minggu kemarin,” ujar Yosef.

Upaya meningkatkan sarana bagi penyandang difabel terus dilakukan. Hingga tahun 2017 mendatang, gereja akan membangun toilet yang ramah bagi penyandang difabel. Selain itu, dia berharap Dria Manunggal juga bisa memfasilitasi tenaga penerjemah bahasa isyarat bagi tuna rungu.

Yosef menilai belum maksimalnya sarana bagi penyandang difabel di tempat-tempat ibadah, bukan berarti pengelola tidak peduli.

“Mereka belum tahu saja,” katanya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!