Menteri Susi bingung dengan tujuan reklamasi teluk Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menteri Susi bingung dengan tujuan reklamasi teluk Jakarta

ANTARA FOTO

Susi bertanya-tanya saat melihat pulau-pulau reklamasi yang saat ini justru ditujukan untuk properti. Meski akan dijual kembali ke publik, namun apakah memang itu tujuan akhirnya?

JAKARTA, Indonesia – Kisruh seputar reklamasi Teluk Jakarta masih menjadi buah bibir yang hangat dibicarakan banyak kalangan. Mulai dari aktivis lingkungan hingga jajaran pejabat pemerintahan memiliki suara berbeda-beda tentang topik ini.

Awalnya, proyek 17 pulau reklamasi ini akan menjadi bagian dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Proyek tersebut digagas oleh pemerintah dengan tujuan untuk menambah luasan lahan ibu kota, serta mengurangi banjir.

“Yang jadi persoalan, saya lihat ada fakta berbeda,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta pada Selasa, 3 Oktober 2016. Ia menjadi pembicara dalam diskusi tentang reklamasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Abubakar, Wakil Ketua KPK Laode M. Sjarief, serta Pakar Lingkungan Hidup Emil Salim.

Kebingungan NCICD

Pendapat Susi ini disampaikan setelah ia mendengar paparan dari Emil tentang awal pemutusan NCICD. Pada tahun 2013, pemerintah lewat Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tengah mengkaji cara terbaik untuk mengatasi masalah hidrologi, penurunan tanah, serta banjir di Jakarta.

Terinspirasi dari Kota Rotterdam, pemerintah berencana untuk membangun tanggul raksasa berbentuk Garuda yang membentang di Pantai Utara Jawa. “Saat itu ada perbedaan pendapat dari kontraktor Belanda dan ahli dari Indonesia,” kata Emil.

Pertama, adalah terkait kepentingan pembangunan tanggul tersebut. Menurut Emil, kontraktor Belanda condong pada kepentingan swasta, sementara pihak Indonesia sebaliknya.

Pertimbangan pihak Indonesia, lanjut Emil, adalah potensi air tawar yang bisa mengurangi penyerapan air tanah. Juga untuk mengantisipasi harga lahan yang akan melonjak pada 2045. “Mending investasi pada reklamasi,” kata dia.

Selain itu, pembangunan tanggul raksasa ini juga untuk mengantisipasi banjir rob akibat naiknya permukaan laut yang menghalangi aliran sungai. Poin-poin ini, lanjut Emil, tidak dipikirkan oleh pihak Belanda.

“Jadi pulau-pulau itu (oleh Belanda, red.) untuk privat masing-masing perusahaan, sedangkan kami untuk perluasan ibu kota,” kata dia.

Paparan Emil ini ditanggapi dengan kebingungan Susi. Ia melihat kalau pembangunan Jakarta sekarang justru melanggengkan banjir.

“Sungai diluruskan, dibangun tanggul di DAS, jadi airnya tidak ke mana-mana,” kata dia. Setelah itu, dengan adanya reklamasi, aliran air dipercepat ke bawah sementaramulut ke arah lautnya dipersempit.

Ia juga melihat Jakarta ketergantungan pada pembangunan tanggul. “Karena daya tampungnya semakin berkurang padahal volume air sama, suatu saat (tanggul) akan tidak kuat menahan banjir dan jebol sehingga banjir.

Bendungan

Sejak awal Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ngotot ingin meneruskan reklamasi, Susi sudah meminta kompensasi berupa bendungan untuk menampung area tampungan air yang dijadikan lahan. “Sampai sekarang belum jadi padahal untuk menyimpan kelebihan air Jakarta. Tapi pulau sudah jadi, bendungan belum, airnya ke mana?” kata dia.

Menurut dia, sebaiknya dibangun bendungan terlebih dahulu, sehingga tempat penampungan air sudah tersedia dan masyarakat tak perlu khawatir dengan air melimpah. Sedimentasi dari pengerukan bendungan ini juga bisa dimanfaatkan untuk bahan baku reklamasi pulau-pulau.

Cara ini dapat menghindarkan kerusakan di daerah lain, seperti Pulau Lontar dan Tunda di Banten yang pasirnya dikeruk untuk bahan pulau. “Kemarin saya dengar ada yang bilang kapal selam TNI AL tidak bisa parkir karena pasir di Pulau Tunda hilang. Kapal selam mau digantung memangnya?” kata dia.

Sementara itu, Emil juga menyatakan kalau pembangunan tanggul berjalan dengan semestinya, pihak pengembang pulau reklamasi tidak perlu repot mengambil material dari luar Jakarta.

“Dengan adanya tanggul, kan sedimentasinya bisa dikeruk untuk pembangunan pulau,” kata dia.

Keduanya menyatakan tidak ada masalah dengan reklamasi Teluk Jakarta asalkan memenuhi 3 aspek: sosial, hukum, dan lingkungan. “Sesuai instruksi presiden, asalkan nelayan tidak dirugikan, tidak ada hukum yang dilanggar, dan lingkungan tidak dirusak,” kata Susi.

Keuntungan terbesar dari reklamasi harus dinikmati oleh publik dan bukan swasta. Susi bertanya-tanya saat melihat pulau-pulau reklamasi yang saat ini justru ditujukan untuk properti. Meski akan dijual kembali ke publik, namun apakah memang itu tujuan akhirnya? Tentu, selain penurunan banjir dan perluasan lahan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!