Ketika santri transgender menjadi korban intoleransi

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika santri transgender menjadi korban intoleransi
"Mereka memiliki hak untuk bersembahyang karena mereka juga bagian dari ciptaan Tuhan.”

JAKARTA, Indonesia – Pesantren untuk wanita transgender Al Fatah di Bantul, Yogyakarta, telah ditutup sejak tujuh bulan lalu. Namun aktivitas keagamaan di tempat tersebut ternyata masih berdenyut.

Setiap pekan, beberapa wanita transgender yang pernah nyantri di pesantren ini secara diam-diam berkumpul di pondok untuk mempelajari Islam dan bersembahyang.  

“Kami ingin membuktikan bahwa Islam menerima transgender,” kata Shinta Ratri, pemimpin kelompok transgender di pondok tersebut kepada AFP pada Minggu, 9 Oktober 2016. “Bahwa Islam adalah rahmat untuk semua.”

Pondok Pesantren Al Fatah didirikan pada 2008. Pesantren ini segera menjadi simbol toleransi di Indonesia. Namun kelompok garis keras menentang keberadaan pesantren ini.

Pada 24 Februari 2016, pondok ini ditutup. Alih-alih mendapat perlindungan dari aparat, penutupan pondok ini justru dikawal oleh Kepala Pedukuhan, Camat, hingga Kapolsek.

Penutupan Pondok Pesantren Al Fatah ini menjadi alarm akan adanya gelombang intoleransi di Yogyakarta, kota yang selama ini dikenal sangat terbuka pada perbedaan.

Bersatu dalam perbedaan

Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Agnes Dwi Rusjiyati, mengatakan gelombang intoleransi telah berlangsung selama bertahun-tahun.

“Dalam beberapa tahun terakhir ada sejumlah kelompok intoleran yang terus memaksakan pemahaman kaku mereka kepada masyarakat,” kata Agnes Dwi Rusjiyati.

Padahal Indonesia memiliki moto Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi satu juga. Namun ada serangan balik yang membuat Bhinneka Tunggal Ika kini tak lagi dihargai.

Beberapa pengamat menilai intoleransi yang terjadi di Yogyakarta telah menginfeksi hampir seluruh negeri. Mereka membidik apa saja, mulai dari kaum gay, alkohol, hingga pornografi.

Konstitusi Indonesia menyediakan ruang untuk enam agama yang berbeda. Dan sebagian besar dari 255 juta penduduk Indonesia penganut Islam moderat. Tidak ada yangpercaya negara ini akan mengadopsi hukum syariah.

Namun semakin kuatnya kelompok garis keras dan keengganan pemerintah untuk menangani mereka karena takut dicap anti-Islam, membuat intoleransi tumbuh begitu subur.

Penutupan Pondok Pesantren Al Fatah yang semula mendapatkan tempat oleh mayoritas warga adalah contoh betapa intoleransi telah begitu nyata di Yogyakarta, bahkan juga di Indonesia.

Bagian dari ciptaan Tuhan

“Sangat sulit bagi transgender untuk bisa solat di masjid karena ada stigma yang menempel pada mereka,” kata seorang guru ngaji, Arif Nuh Safri, 32 tahun, kepada AFP.

“Jadi saat saya pertama kali datang ke pondok ini saya katakan pada mereka bahwa mereka memiliki hak untuk bersembahyang karena mereka juga bagian dari ciptaan Tuhan.”

Sebelum penutupan terjadi ada sejumlah warga yang simpatik yang tinggal di sekitar pondok. “Mereka ingin belajar membaca Al Quran, mereka ingin menjadi orang yang baik, dan itu lebih baik dari pada mereka mabuk,” kata seorang tetangga, Aris Sutanto.

Namun pimpinan Front Jihad Islam, Abdurrahman, tak punya belas kasihan. “Kami tidak bisa mentoleransi sesuatu yang buruk seperti ini,” kata Abdurrahman. Ia mengatakan pihaknya selalu berkoordinasi dengan petugas keamanan saat menggelar aksi penolakan.

Polisi sendiri tetap percaya jika Yogyakarta masih menjadi kota yang toleran. Padahal kasus-kasus intoleransi terus meningkat sejak 2011, ketika kelompok garis keras menargetkan gereja.

Pada bulan April, kelompok garis keras dan kepolisian diduga menghentikan festival kesenian wanita. Pihak penyelenggara mengklaim mereka telah dilecehkan secara verbal dan beberapa panitia sempat ditahan.

Ahmad Suaedy, seorang peneliti tentang Islam yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai ombudsman pada isu-isu agama dan budaya, mengatakan kegagalan pemerintah menghentikan tindakan intoleransi  menyebabkan kaum minoritas menderita.    

“Ini adalah strategi politik sehingga mereka bisa terlihat sebagai pengambil jalan tengah,” kata Suaedy. “Namun akibatnya kelompot minoritas menjadi korban.” —dengan laporan AFP/Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!