Bahaya styrofoam bagi kesehatan manusia dan lingkungan

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bahaya styrofoam bagi kesehatan manusia dan lingkungan
Meski diapresiasi, larangan penggunaan styrofoam belum memiliki payung hukum. Pedagang juga keluhkan pengganti styrofoam yang harganya lebih mahal

BANDUNG, Indonesia — Pedagang yang selama ini mengemas makanan dan minuman dengan styrofoam harus siap-siap menggantinya dengan kemasan lain. 

Pasalnya, mulai 1 November 2016, akan diberlakukan larangan menggunakan styrofoam di Kota Bandung. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan larangan itu berdasarkan alasan kesehatan dan lingkungan.  

“Styrofoam membahayakan secara lingkungan. Kota-kota dunia sudah melarang, Indonesia terlambat sebenarnya,” kata Ridwan kepada Rappler, baru-baru ini.  

“Jadi alasannya sama saja. Satu, membahayakan kesehatan. Dua, tidak bisa terurai di lingkungan. Yang ketiga, di Bandung sumber banjir ternyata ditemukan kantong keresek dan styrofoam,” kata pria yang biasa dipanggil Emil itu.

Apa saja bahaya styrofoam bagi kesehatan dan lingkungan?

Pakar persampahan dari Institut Teknolog Bandung (ITB) Enri Damanhuri mengatakan styrofoam adalah plastik yang paling bermasalah di antara jenis plastik lainnya karena membahayakan kesehatan dan lingkungan.  

Berikut penjelasannya:

Bahaya bagi kesehatan manusia

1. Mengandung benzena

Styrofoam merupakan plastik yang salah satu komponennya adalah benzena. Zat yang dihasilkan dari bahan bakar minyak itu merupakan satu dari 4 serangkai penyebab kanker pada manusia, yakni benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena. Keempat serangkai itu bahkan sudah masuk dalam daftar 100 toksikologi.  

“BTEX itu adalah top ranking atas yang ditakuti karena sudah terbukti menyebabkan kanker pada manusia,” kata Enri.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah sejak lama melarang penggunaan styrofoam di dunia. Sementara Jepang melarang karena benzena mengganggu kelenjar endokrin yang berperan pada proses reproduksi manusia. Karena itu, Enri menyambut baik larangan styrofoam di Kota Bandung.

Namun, menurutnya, pelarangan Styrofoam sebaiknya hanya untuk kemasan makanan dan minuman saja karena melalui fungsi itulah benzena yang terkandung dalam sytrofoam bisa keluar mencemari makanan dan minuman.  Apalagi jika styrofoam digunakan untuk wadah makanan dan minuman yang mengandung lemak, asam, dan alkohol serta dimasukkan dalam keadaan panas.

“Saya bisa membayangkan kalau styrofoam digunakan untuk makanan atau minuman panas, misalnya kopi, apalagi kopinya ditambah susu, di situ ada panas, lemak, dan asam, wah senang sekali dia, langsung si benzenanya keluar bermigrasi ke minuman itu,” kata Enri.

2. Bersifat mikroplastik

Mikroplastik menjadi masalah utama dalam isu sampah plastik saat ini. Enri mengatakan sampah plastik, terutama styrofoam, yang dibuang ke perairan, lama kelamaan akan terpecah-pecah menjadi pecahan kecil plastik tak kasat mata yang disebut mikroplastik. Mikroplastik itu kemudian dimakan oleh ikan.

“Ikan itu lalu dimakan oleh kita. Itu artinya benzenanya juga masuk ke dalam tubuh kita. Kembali lagi ke masalah kesehatan manusia,” kata Enri.

Bandung larang penggunaan styrofoam karena sumber banjir disebut akibat kantong plastik dan styrofoam. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Bahaya bagi lingkungan

1. Sulit terurai

Sampah styrofoam merupakan sampah yang sulit terurai seperti halnya sampah plastik lainnya. Namun jika jenis plastik lain dicari oleh pemulung karena bisa didaur ulang, styrofoam tidak. 

Sebab itulah, sampah styrofoam terus menggunung dan mengganggu lingkungan. Jika dibuang ke sungai atau saluran air, styrofoam bisa menyumbat saluran air dan mengakibatkan banjir.

Berdasarkan penelitian Enri dan rekannya di Jurusan Teknik Lingkungan ITB pada 2011, jumlah sampah styrofoam di Kota Bandung mencapai 27 ton setiap bulannya.  

Penyumbang terbesar sampah styrofoam adalah non-rumah tangga sebanyak 11,9 ton per bulan. Sementara, rumah tangga menyumbang sebanyak 9,8 ton per bulan. Persentase sampah styrofoam mencapai 1,14% dari 12% sampah plastik yang terkumpul setiap bulannya. 

“Tapi itu kan dihitung berdasarkan satuan berat, sedangkan styrofoam ringan. Memang hanya 1,14 persen, tapi secara volume jumlahnya sangat banyak,” kata Enri.

2. Masih gunakan CFC

Selain mengganggu lingkungan, styrofoam ternyata ikut berkontribusi pada timbulnya efek rumah kaca. Menurut Enri, proses pembuatan produk plastik itu hingga kini masih menggunakan chloro fluoro carbon (CFC) yang menjadi penyebab efek rumah kaca.

“Pembuatan styrofoam itu biasanya menggunakan CFC untuk mengelembungkannya. Sampai sekarang teknologi pembuatan styrofoam masih menggunakan itu,” ujar Enri.

Belum ada payung hukum

Larangan penggunaan styrofoam turut disambut baik Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jawa Barat. Deputy Walhi Jabar, Dwi Retnastuti, mengatakan pihaknya mengapresiasi kebijakan tersebut karena styrofoam menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan.  

Namun pihaknya menyesalkan belum adanya payung hukum atas aturan itu. Dwi khawatir aturan itu tidak akan dipatuhi warga karena tidak memiliki kekuatan hukum.

“Ini sepertinya harus diiringi dengan payung hukum yang ada dan harus berjalan beriringan, antara bagaimana menyosialisasikan persoalan styrofoam ini kepada pedagang dengan bagaimana Pemkot Bandung menyiapkan payung hukum untuk itu semua, agar tidak ada lagi yang berani melanggar,” kata Dwi.

Ridwan mengakui pihaknya belum membuat payung hukum tentang larangan styrofoam. Namun dalam mengeluarkan kebijakan itu, ia mengacu pada Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan.    

Menurutnya, tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk tidak mematuhinya.  

“Sekarang, mah, mau tegas tidak tegas, Pemkot meminta warga mengikuti karena tujuannya baik. Kalau dikit-dikit minta hukumannya tegas, susah. Memang enggak ada khusus Perda styrofoam, maka kita mencantol ke undang-undang yang lain,” kata Ridwan.

Pedagang kaki lima harus mencari pengganti styrofoam untuk kemasan makanan yang lebih murah. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Menjelang diberlakukannya aturan tersebut, Pemerintah Kota Bandung terus melakukan sosialisasi kepada warga, terutama para pedagang yang menggunakan styrofoam. Selain sosialisasi tentang aturannya, akan dilakukan pula sosialisasi mengenai kemasan yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.

“Penggantinya banyak sekali. Ada karton, ada tradisi bambu, ada tradisi bawa wadah sendiri. Itu yang akan disosialisasikan. Kenapa styrofoam popular, karena harganya murah. Sekarang saatnya mengubah kemalasan yang membahayakan. Lebih repot sedikit tapi ramah lingkungan,” ujarnya.

Ridwan menegaskan, pihaknya tidak akan ragu menerapkan sanksi bahkan hingga pencabutan izin usaha bagi siapapun yang membangkang, tak terkecuali produsen makanan besar. Karena itu, ia meminta kepada produsen makanan dan minuman besar untuk segera mengganti kemasannya.

Larangan styrofoam juga disambut baik oleh warga Kota Bandung, salah satunya Pilan Iswuri. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi itu setuju jika penggunaan styrofoam untuk wadah makanan dan minuman dilarang.  

Penggemar makanan seblak ini seringkali khawatir jika membeli makanan favoritnya itu karena dikemas menggunakan styrofoam. Namun perempuan 20 tahun itu meminta agar kebijakan itu diiringi dengan pilihan pengganti styrofoam.

“Setuju, sih, tapi harus ada penggantinya yang harganya lebih murah atau terjangkau. Kasihan pedagang kaki lima harus beli mangkuk plastik kan mahal,” kata Pilan.

Persoalan itu juga dikeluhkan Dessy, seorang pedagang seblak di Jalan Gatot Soebroto Kota Bandung. Ia merasa keberatan jika harus mengganti styrofoam dengan mangkuk plastik yang harganya jauh lebih mahal.  

Jika untuk 100 buah styrofoam ia hanya membayar Rp 26 ribu, maka untuk mangkuk plastik Dessy harus membayar lebih mahal lagi, yakni Rp1.500 per satu buah mangkuknya. Dessy berpikir untuk menaikkan harga seblak per porsinya dari Rp10 ribu menjadi Rp12 ribu.

“Tapi enggak tahu pembelinya mau apa enggak dengan harga segitu,” kata perempuan 28 tahun itu.

Meski demikian, Dessy mengaku mau mematuhi aturan tersebut. 

“Mau [mematuhi], ya gimana lagi kalau itu sudah jadi aturan,” ujarnya pasrah. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!