Sensasi ‘mencicipi’ karya seni instalasi di ‘Dialogue with the Senses’

Yetta Tondang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sensasi ‘mencicipi’ karya seni instalasi di ‘Dialogue with the Senses’
Gelaran pameran seni media instalasi Korea-Indonesia ini berlangsung di Galleria Fatahilah, Kota Tua, Jakarta, 21 Oktober – 3 November

JAKARTA, Indonesia – Di era digital ini, kemampuan menciptakan karya yang lebih dari sekadar satu arah semakin berkembang. Itu pula yang ingin dikembangkan oleh pameran seni media instalasi bertajuk Dialogue with the Senses.

Ide yang ditampilkan di acara ini adalah bahwa media tidak hanya mempengaruhi aspek indrawi tapi juga membuka pintu bagi sensasi baru.

Di pameran yang terbuka untuk umum dan tanpa biaya ini, pengunjung dapat menikmati sensasi-sensasi mengamati karya seni kontemporer lewat fungsi panca indera.

“Jangan takut berinteraksi langsung karya di pameran ini. Kami memang sengaja mengangkat tema ini agar setiap orang bisa berkomunikasi dengan karya,” kata Jeong-ok Jeon, kurator Dialogue with the Senses di gelaran press conference, Jumat, 22 Oktober di Galleria Fatahilah.

Pameran tahun ini diselenggarakan kali keempat sebagai bentuk kerjasama di bidang seni dan budaya antara Korea dan Indonesia. Dialogue with the Senses juga merupakan bagian perayaan K-Festival yang berlangsung selama bukan Oktober.

Seniman, kurator dan pendukung acara 'Dialogue with the Senses' saat press conference, Jumat, 22 Oktober di Galleria Fatahilah, Kota Tua, Jakarta. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler.com.

Ada sembilan seniman yang terlibat di pameran ini. Anang Saptoto, Ella Nurvista,Fajar Abadi, Heri Dono dan Ricky ‘Babay’ Janitra dari Indonesia. Sementara perwakilan seniman Korea ada Choi Suk Young, Hye Rim Lee, Kim Hyung Joong dan Park Seung Soon.

Di pameran ini, pengunjung bisa merasakan langsung sensasi mengombinasikan panca indera dan karya seni kontemporer.

Contohnya di karya seniman Fajar Abadi yang berjudul Rasarumah. Ia mengolah keterkaitan antara bau dan ingatan. Dilatarbelakangi manusia yang selalu merasa rindu rumah setiap kali mencium aroma masakan rumahan.

Karya seniman Fajar Abadi bertajuk 'Rasarumah' yang menciptakan aroma makanan Indonesia dan Korea dalam bentuk lilin aroma dalam wadah. Ini adalah gambaran semangkuk doenjang jjigae (semur pasta fermentasi kedelai) khas Korea. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler.com.

Fajar menciptakan lilin beraroma sup ayam yang khas Indonesia dan doenjang jjigae (semur pasta fermentasi kedelai) khas Korea. Ketika dinyalakan, aroma kedua masakan ini muncul di sekitar area pameran. Sukses membuat saya rindu masakan sop ayam Ibu di rumah.

Ada juga karya seniman Anang Saptoto yang bermain di jarak pandang dan perspektif. Anang secara spesifik mengangkat event Asian Games yang berlangsung di Jakarta di tahun 1962.

Anang menggambar adegan pertandingan bulutangkis dengan pendekatan proyek perspektif sehingga menciptakan sensasi tiga dimensi bagi pengunjung yang melihatnya.

Satu dari empat seniman asal Korea yang juga terlibat di pameran ini, Park Seung Soon, yang juga hadir langsung di Galleria Fatahilah, menampilkan karya bertajuk Symphonie Aquatique. Karya ini unik karena melibatkan pengunjung untuk langsung menciptakan musik sendiri.

Lewat karya seniman Korea, Park Seung Soon yang bertajuk 'Symphonie Aquatique', pengunjung bisa menikmati sensasi menciptakan musik tradisional Indonesia dengan mengombinasikan sensor sentuhan dan air. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler.com.

Sebagai komposer musik elektronik, ia mengembangkan seni dengan menggabungkan air, cahaya dan bunyi untuk menciptakan musik. Pengunjung cukup menekan sensor dengan satu tangan dan tangan lainnya menyentuh air dan membuat gerakan kecil dan musik akan langsung tercipta dan dapat didengar.

Karya Elia Nurvista beda lagi. Mempertontonkan karya bertajuk Sucker Zucker, seniman asal Yogyakarta ini kerap berfokus pada makanan dan pangan.

Di pameran kali ini, ia tertarik membahas tentang gula dan melihat sejarah kolonialisasi hingga tenaga kerja dan ekstraksi material dalam konteks kehidupan saat ini.

Elia dan karya bongkahan gula bertajuk 'Sucker Zucker'-nya. Pengunjung bisa bebas 'mencicipi' karya ini dengan cara menjilat bongkahan besar atau memakan permen dalam bongkahan kecil yang sudah disediakan. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler.com.

Elia menciptakan bongkahan-bongkahan gula yang berbentuk seperti permen kristal raksasa. Pengunjung pun bisa dengan leluasa ‘mencicipi’ karya Elia ini. Ia pun menyedikan bongkahan permen dalam kemasan kecil yang bisa dinikmati pengunjung.

Selain pameran, gelaran Dialogue with the Senses pun menyajikan beragam aktivitas yang bisa diikuti pengunjung, terutama keluarga. Itu pula alasan mengapa pameran ini memilih lokasi di Galleria Fatahilah.

Yang ini adalah karya seniman Ricky 'Babay' Janitra dalam bentuk video mapping yang bertajuk 'Illogical Room' di mana Ricky memasukkan unsur teknologi sebagai medium seni. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler.com.

“Kami berfokus untuk merangkul audiens yang lebih besar tahun ini. Dan di Kota Tua ini tempat berkumpul banyak orang dari segala latar belakang dan kelompok umur,” kata Jeong-ok Jeon.

Untuk orang tua dan anak, tersedia beragam workshop yang digagas oleh rurukids. Sementara untuk kaum muda, ada beragam aktivitas lokakarya seni oleh Serrum And Plus.

Dialogue with the Senses akan dibuka untuk umum mulai pukul 09.00 hingga 19.00 setiap harinya. Akan ada tur pameran di tanggal 29 dan 30 Oktober (11.00-12.00) untuk memudahkan pengunjung memahami seluruh rangkaian pameran.

Sementara untuk informasi lokakarya dan workshop bisa diakses di http://www.arcolabs.org/dialogue-with-the-senses/. -Rappler.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!