Chelsea vs Manchester United: Menagih ‘prima non prenderle’ The Blues

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Chelsea vs Manchester United: Menagih ‘prima non prenderle’ The Blues
Chelsea memang menang besar melawan Leicester City. Tapi kemenangan itu bukan tanpa masalah.

JAKARTA, Indonesia — Namanya Vittoria. Gadis kecil dengan rambut berponi itu polos melihat piala yang bersapu emas di depannya. Dari gendongan Elisabetta, ibunya, beberapa kali dia menyentuh piala tersebut di antara hingar bingar stadion yang menyanyikan Inno Della Juventus (Juventus anthem) paling terkenal, Storia Di Un Grande Amore.

Untuk kali ketiga beruntun, klub asal Kota Turin, Juventus, meraih gelar juara Serie A. Gelar paling bergengsi di negeri pisa tersebut. Vittoria menjadi saksi betapa ayahnya begitu mendambakan momen tersebut. Meski untuk kesekian kali dia meraihnya.

Dalam bahasa Italia, Vittoria tentu bermakna kemenangan. Seperti umumnya nama anak-anak yang menjadi refleksi keinginan orang tua, gadis kecil itu juga menjadi “korban” obsesi besar sang ayah: Antonio Conte. 

Kehendak untuk menang sudah mendarah daging dalam diri Conte. Dia selalu ingin memenangi segala pertarungan di lapangan hijau. Bahkan sejak dalam pikiran.

Elisabetta bercerita, Conte kerap tidur sangat larut malam hanya untuk melihat rekaman pertandingan. Baik itu rekaman pertandingan Juventus, klub yang selama tiga musim dia tangani, atau tim-tim calon lawan Si Nyonya Tua. 

Gairah yang begitu besar itu terus berusaha dia tularkan kepada anak buahnya. Mereka harus mati-matian di lapangan. “Bahkan kalau perlu kalian harus makan rumput!” kata gelandang Juve saat itu, Andrea Pirlo, menirukan sang bos. 

Meski tim sudah unggul pun, Conte tetap menekan para pemainnya untuk terus mengerahkan segala tenaga. Gianluigi Buffon, misalnya, pernah disemprot Conte gara-gara membicarakan bonus gelar juara di tengah team talk. Padahal, Juve saat itu sudah memastikan scudetto meski liga belum berakhir.

Di klub barunya, Chelsea, Conte masih membawa mentalitas yang sama. Dalam laga melawan Leicester City pada 15 Oktober lalu, misalnya, Conte terlibat adu mulut dengan bomber The Blues yang tak kalah emosionalnya, Diego Costa. Costa bahkan sampai memberi gesture minta diganti. Sementara Conte tetap berteriak dari pinggir lapangan.

Belakangan, sejumlah pakar pembaca gerak bibir menyebut bahwa Conte tidak puas terhadap pergerakan Costa. Bomber Spanyol itupun naik pitam. “Jika kamu tidak menyukai saya, ganti saja sekarang,” demikian kalimat yang diduga meluncur dari bibir Costa seperti dikutip sejumlah media Inggris

Padahal, Chelsea saat itu tidak dalam kondisi bahaya. Mereka sudah unggul tiga gol tanpa balas atas tamunya. Pertandingan juga tersisa sekitar 10 menit. “Di Inggris, 10 menit bisa menjadi kehancuran jika kamu lengah,” kata Conte dalam kesempatan berbeda.

Kerja keras mengalahkan bakat

Para pemain Chelsea tampaknya masih dalam proses adaptasi dengan manajer baru. Mereka yang tidak mengenal Conte bakal menghadapi situasi tidak nyaman. Selalu dituntut untuk tampil lebih ngotot. Karena itu, pemain “flamboyan” seperti Cesc Fabregas tak banyak dipakai di era manajer 47 tahun tersebut. Sudah 6 kali dia tak masuk dalam starting eleven

Conte hanya ingin memberi tempat bagi para pekerja keras. Seperti dirinya saat masih aktif bermain dengan seragam Bianconeri—julukan Juventus—Conte lebih sebagai pemain pekerja daripada pemain jenius.

Dia akan terus berlari ke hampir semua sektor lapangan demi membantu rekan-rekannya. Seperti peran gelandang bertahan N’Golo Kante yang kerap dia banjiri pujian.

Padahal, Juve di era tersebut diperkuat para pemain fantastis seperti Zinedine Zidane, Roberto Baggio, hingga Alessandro Del Piero. Membandingkan bakat Conte dengan 3 pemain tersebut seperti bumi dan langit. 

Tapi, Conte mampu memberikan kompensasi saat bakat absen dalam diri seorang pemain: kerja keras. Seperti kutipan yang kondang di dunia basket, hard work beats talent when talent doesn’t work hard. Kerja keras akan mengalahkan bakat saat yang berbakat tidak bekerja keras. 

“Kemenangan memang penting. Tapi lebih penting lagi bermain dengan intensitas dan selalu menunjukkan kehendak untuk menang yang besar. Gairah yang meluap-luap,” kata Conte seperti dikutip Daily Mail

“Saya berusaha menularkannya ke para pemain. Selalu!” tambahnya.

Kerja keras memang menjadi elemen yang harus terus digenjot Conte. Sebab, Chelsea musim ini kekurangan talenta. Setelah musim yang penuh ambisi, mereka cenderung tak agresif di bursa transfer. Sesuatu yang “tumben” terjadi di Chelsea. 

Satu-satunya pembelian mahal musim ini hanya Kante. Sisanya, klub London Barat itu mempromosikan pemain akademinya seperti Nathaniel Chalobah dan Ola Aina. Sebelumnya, ada nama lain dari akademi seperti Ruben Loftus-Cheek. Dominic Solanke musim ini juga masuk dalam line up meski belum dimainkan.

Tiga bek untuk hadapi United

Selain itu, Conte harus memaksa mereka untuk bermain lebih keras karena gaya permainan khas Italia memang mengandalkan semangat yang menggelora. Apalagi, Chelsea justru bermain gemilang saat memainkan formasi ala Conte di Juventus.

Ya, setelah menjajal beragam formasi, mulai dari 4-2-3-1 hingga 4-1-4-1, Conte kembali “berjodoh” dengan gaya lamanya, 3-4-2-1. Format 3 bek tersebut mampu membawa Chelsea meraih dua kemenangan besar. Mereka membekuk Hull City 2-0 dan juara bertahan Leicester City 3-0. 

Melawan Manchester United pada 23 Oktober, pukul 22.00 WIB, sistem yang sama kemungkinan bakal dipilih Conte. Para pemain sudah mulai nyaman memakainya. Proses untuk menemukan formasi terbaik itu juga memakan waktu tak sebentar. Baru di pekan ketujuh Conte menggunakannya.

Karena itu, kunjungan United ke Stamford Bridge ditanggapi dengan tangan terbuka lebar oleh Conte. Bahkan, mantan pelatih timnas Italia itu menganggap waktu kedatangan Setan Merah sangat tepat.

“Saya ingin melihat perkembangan kami dibandingkan saat melawan Arsenal dan Liverpool,” katanya.

Namun, dia harus waspada. Sebab, sistem itu bukan tanpa cela. Chelsea masih perlu beradaptasi dengan gaya bermain yang sangat jarang dipakai klub Inggris tersebut. 

Jika skema permainan tak berjalan sempurna, klub yang memainkan 3 bek justru bisa jadi bulan-bulanan. Sebab, posisi di wing back bakal lowong karena pemain sayap terlambat turun. Situasi itulah yang terjadi pada Victor Moses. 

Meski dia mencetak satu gol di pertandingan tersebut, beberapa kali dia terlambat memperkuat pertahanan. Untung saja kelengahannya tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pasukan Claudio Ranieri. 

Sistem 3 bek seharusnya juga bisa membuat pertahanan lebih solid. Dalam 2 laga memainkan skema itu, Chelsea untuk kali pertama mencatatkan clean-sheet dalam 2 lagaberuntun. Kondisi yang jarang terjadi saat mereka memakai formasi lain. 

Tiga bek memang lekat dengan gaya bermain Italia. Sistem itu, secara tradisional, lebih bisa mengakomodir gaya bermain bertahan kuat dengan sebutan kondang catenaccio. Dengan 3 bek tengah, gawang akan dikover 5 pemain saat bertahan. “Surplus” satu bek dibanding skema umum 4 bek. 

Salah satu dari 3 bek tengah tersebut bisa mengambil peran sebagai sweeper alias libero dengan berposisi lebih mundur. Jika 2 palang pintu pertahanan tak bisa membendung lawan, dia bisa menyapu bola mengamankan gawang.

Dengan catenaccio, The Blues bakal lebih fokus dalam bertahan. Kebobolan 3 gol saat melawan Arsenal dan 2 gol saat menghadapi Liverpool bisa dihindarkan. Sebab, dalam permainan bertahan ala Italia itu, terdapat frasa yang dipegang teguh: prima non prenderle alias clean sheet adalah prioritas utama.

Pertahanan total tersebut bakal sangat mengganggu United. Pasukan Jose Mourinho tersebut kini sedang dalam krisis kreativitas di lini depan. Kebuntuan bisa kembali terjadi seperti saat pasukannya melawan Liverpool pekan lalu. 

Namun, bekal kemenangan besar 4-1 atas Fenerbahce di ajang Europa League bisa menjadi modal berharga. Terutama untuk mengangkat mental mereka setelah hasil seri melawan musuh bebuyutan.

“Kemenangan melawan Chelsea bakal menggambarkan bagaimana kami di akhir musim ini,” kata bomber muda United Marcus Rashford.—Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!