Refleksi satu tahun Qanun Jinayat di Aceh

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Refleksi satu tahun Qanun Jinayat di Aceh
Sejumlah pihak masih kebal hukum Jinayat, serta penerapannya diskriminatif pada perempuan dan kaum minoritas.

JAKARTA, Indonesia – Sejak 23 Oktober tahun lalu, Aceh telah menerapkan Per Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, atau juga disebut sebagai qanun Jinayat. Hukumannya berupa cambuk di hadapan umum.

Hingga saat ini, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat mencatat telah ada 180 orang yang dihukum cambuk. “Beberapa di antaranya dicambuk hanya karena pacaran, atau berda terlalu dekat dengan lawan jenis,” kata Nisaa Yura dari Solidaritas Perempuan lewat siaran pers yang diterima Rappler pada Ahad, 23 Oktober 2016.

Memang terdengar aneh, namun hukum Jinayat memang mengatur berbagai perilaku yang dianggap kriminal, namun tidak termasuk dalam KUHP. Beberapa di antaranya adalah perbuatan mesum, alkohol, judi, perzinahan.

UUD 1945 dan Pancasila

Data pengawasan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan sepanjang 2016, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat. Sedikitnya, 180 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh sejak Januari sampai dengan September 2016.

Menurut Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono, qanun ini banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia yang lebih tinggi. “Sebagaimana ditegaskan dalam UUPA, bahwa Pemerintah Aceh berpegang teguh pada Pancasila dan melaksanakan UUD45. Prinsip ini harus dijalankan, termasuk dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait penerapan syariat Islam,” kata dia.

Pertentangan tersebut disebabkan qanun Jinayat melegitimasi penggunaan hukuman fisik, yakni cambuk, yang juga bertentangan dengan hukum di Indonesia. “Sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk,” kata Supriyadi.

Sejak dari proses pembentukannya qanun ini terkesan dipaksakan dengan pembahasan diburu-buru, serta tidak melibatkan dan mempertimbangkan banyak masukan masyarakat.

Pantauan Solidaritas Perempuan di 5 wilayah di Aceh menyebutkan, sebanyak 97 persen perempuan tidak mendapat informasi mengenai pembentukan hukum Jinayat. Padahal perempuan justru sangat rentan menjadi korban yang terdiskriminasi dalam Qanun ini.

“Hukum ini berpotensi mengakibatkan kekerasan berlapis terhadap perempuan,” kata Nisaa Yura dari Solidaritas Perempuan.

Salah satunya adalah pasal 48 qanun ini, korban perkosaan justru dibebankan dengan menyediakan alat bukti permulaan. Padahal, sulit mencari saksi dalam perkosaan.

Korban perkosaan pun mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan sulitnya penyediaan alat bukti. Sebaliknya, pelaku perkosaan justru dapat mudah lepas dari hukum, hanya dengan 5 kali sumpah. Hal ini berpotensi besar terhadap viktimisasi korban perkosaan, bahkan korban perkosaan juga berpotensi dilaporkan balik.

Melanggengkan kekerasan

Implementasi Qanun Jinayat juga berdampak pada kekerasan lebih lanjut, terutama bagi perempuan. Eksekusi cambuk di hadapan publik akan menimbulkan trauma dan pelabelan negatif yang berdampak pada pengucilan dan peminggiran perempuan.

Lebih jauh lagi, eksekusi hukuman cambuk ini juga menghasilkan budaya kekerasan di masyarakat Aceh, apalagi setiap eksekusi dipertontonkan di hadapan masyarakat termasuk anak-anak.

Dalam pelaksanaan satu tahunnya, Jaringan Masyarakat Sipil melihat implementasi Qanun Jinayat juga sarat akan pelanggaran. Terjadinya kasus salah tangkap, kekerasan oleh pihak wilayatul hisbah atau polisi syariah, dan  pelaksanaannya yang diskriminatif karena tidak berlaku untuk beberapa orang yang memiliki jabatan tertentu.

Penggunan Qanun Jinyat juga tidak disertai hukum acara yang memenuhi standar fair trial. Proses peradilan banyak mengabaikan hak-hak tersangka seperti ketersediaan advokat dan bantuan hukum, termasuk penggunaan upaya paksanya.

Akses terhadap putusan-putusan peradilan Mahkamah Syariah juga tidak tersedia secara akurat dan menyulitkan hak-hak para pencari keadilan.

Keberadaan Qanun Jinayat juga mendiskriminasi kelompok minoritas yang ada di Aceh, sehingga kelompok minoritas terancam mengalami diskriminasi, kekerasan, dan kriminalisasi. Hal ini juga akan mengancam keberagaman dan berdampak pada  pelanggaran hak beribadah dan berkeyakinan, maupun hak berekspresi.

Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari berdialog dengan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh hingga mengajukan permohonan Judicial Review melalui Mahkamah Agung. Satu tahun implementasi Qanun Jinayat semakin membuktikan bahwa Qanun ini tidak memberi perlindungan bagi warganya tetapi justru melanggar Hak Asasi Manusia termasuk Hak Asasi Perempuan.

Rekomendasi

Atas hal ini, Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Qanun Jinayat  menuntut Pemerintah pusat khususnya Presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Qanun Jinayat secara keseluruhan.

“Pemerintah Aceh juga harus melakukan evaluasi dan merevisi Qanun Jinayat yang terbukti diskriminatif,” kata Supriyadi.

Sementara untuk masyarakat Aceh dan daerah lain di Indonesia di setiap lapisan didorong untuk terus mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat yang sarat akan kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran.

Organisasi internasional juga diminta untuk terus mengawasi dan melakukan tindakan dalam menghentikan berbagai kebijakan diskriminatif khususnya Qanun Jinayat, yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat. “Khususnya perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, agama minoritas, dan LGBT,” kata Nisaa.-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!