Kisah pilu Ahmed Jaber, pengungsi Palestina yang ‘tersandera’ di Jakarta

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ahmed dan kedua puterinya sudah berada di Jakarta selama tiga tahun. Karena dilarang bekerja, Ahmed mengaku tidak punya biaya untuk bertahan hidup.

HIDUP BARU. Ahmed Jaber bersama dua orang puterinya, Rawan dan Razan berharap bisa ditempatkan di negara ketiga untuk memulai hidup baru. Foto oleh Diego Batara/Rappler

JAKARTA, Indonesia – Kamar kost di Jalan Kebon Kacang nomor 34, Jakarta Pusat, itu sungguh berantakan. Berukuran sekitar 25 meter persegi, kamar tersebut disesaki berbagai peralatan rumah tangga, mulai dari selimut, tumpukan kardus, hingga tas.

Di kamar yang sesak itulah Ahmed Ali Said Jaber, warga asal Palestina, menanti kejelasan nasibnya bersama kelurga. Pria berusia 32 tahun itu telah menempuh perjalanan panjang dari Irak ke Yordania hingga akhirnya “tersandera” di Jakarta sebagai pengungsi.

Gedung pusat perbelanjaan mewah yang berlokasi tak jauh dari kamar kostnya, menjadi saksi sulitnya bertahan hidup di ibukota sebagai pengungsi. Tak memiliki biaya hidup dan tak bekerja, Ahmed pernah tinggal di pinggir jalan bersama istri dan kedua puterinya. Dia bertahan hidup hanya dengan mengandalkan dana sedekah orang-orang yang lewat.

Kisah Ahmed bermula di Irak, negara kelahirannya. Walau terlahir sebagai warga Palestina, tetapi dia dan keluarga bermukim lama di negeri berjuluk seribu satu malam tersebut. 

“Saya dan keluarga tinggal di Irak hingga tahun 2003. Saat itu, pasukan Amerika Serikat sedang menginvasi Irak sehingga menimbulkan konflik. Salah satunya memicu konflik antara etnis Sunni dengan Syiah,” ujar Ahmed yang ditemui Rappler di kamar kostnya pada Senin, 30 Januari 2017.

Akibat konflik antar etnis itu, rumahnya dibakar. Bahkan, Ahmed nyaris tewas karena api ikut menyambar tubuhnya. Alih-alih mengungsi kembali kota Jaffa di Palestina – yang tanahnya diambil paksa oleh Israel – dia memilih kabur ke negara tetangganya di Yordania pada akhir 2003.

“Saya sempat tinggal selama 8 bulan di sebuah gereja tapi kemudian kami tinggal di tenda yang berada di tanah kosong,” kata Ahmed, Di tanah kosong itu dia tinggal bersama 800 orang lainnya.

Sayangnya, karena mengungsi, Ahmed tidak diizinkan untuk bekerja. Sehingga, dia hanya mengandalkan bantuan yang didistribusikan ke kamp pengungsi.

Di sisi lain, di Yordania pula dia bertemu dengan calon pendamping hidupnya, Tati Juati Sahli al Fasem. Tati merupakan WNI yang bekerja di Yordania sebagai asisten rumah tangga. Keduanya berencana menikah di tahun 2005. Tetapi, banyak tantangan yang harus mereka hadapi, karena perbedaan status warga negara.

“Di Pengadilan Agama di Yordania, sulit mewujudkan pernikahan beda kewarganegaraan. Saya tidak punya biaya untuk mengurus biaya dokumen pernikahan. Akhirnya, kami sempat menikah secara agama saja,” kata Ahmed.

Menyadari posisinya sebagai kepala keluarga, Ahmed rela melakukan pekerjaan serabutan, walaupun risikonya ditangkap oleh otoritas setempat. Di tahun 2007, puteri pertama mereka, Rawan Jaber lahir. Selang dua tahun, Ahmed kembali dikarunia puteri yang diberi nama Razan Jaber.

Tetapi, untuk bisa mendapatkan sertifikat kelahiran untuk kedua puterinya, Ahmed harus mengurus surat nikah yang sah.

“Akhirnya, saya mengumpulkan uang dengan bekerja serabutan dan meminjam uang untuk biaya surat nikah. Saya sempat ditangkap polisi karena ketahuan bekerja. Sebab, jika tidak begitu, dari mana saya memperoleh biaya untuk membiayai anak dan istri,” tutur dia.

Walau pernah ditangkap, Ahmed tidak kapok. Dia tetap bekerja, menabung dan meminjam uang untuk pindah ke negara lain dan membangun kehidupan baru.

Maka terkumpul lah dana sekitar Rp 22 juta untuk membeli tiket pesawat menuju ke negara sang istri, Indonesia.

Menyeberang ke Australia

KOST. Puteri bungsu Ahmed, Razan Jaber tengah bermain di dalam kamar kost sempit yang juga menjadi rumahnya di area Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Foto oleh Han Nguyen/Rappler

Dia tiba di Indonesia pada bulan Februari 2014. Namun, Indonesia bukan tempat yang dia tuju untuk membangun kehidupan baru. Ahmed membidik Australia.

“Saya mau ke Australia. Tidak apa-apa walau secara ilegal lewat laut. Tidak masalah, jika nanti saya mati. Yang penting, saya ingin mencari kehidupan yang lebih baik untuk anak,” ujar Ahmed.

Negeri Kanguru dipilih sebagai negara tujuan, karena di sana sudah ada teman dan keluarga jauh yang bermukim di sana. Bahkan, sudah menjadi warga negara setempat.

Sayangnya, kesempatan bagi Ahmed menyeberang ke Australia sudah tertutup. Sejak pemerintahan dipegang oleh partai liberal, Australia memberlakukan kebijakan yang keras mengenai pengungsi. Negeri Kanguru tidak segan-segan mendorong balik perahu pengungsi kembali ke perairan Indonesia.

Ahmed pun menyadari soal kebijakan baru Pemerintah Australia. Maka, dia mendatangi kantor perwakilan PBB untuk mengurus pengungsi, UNHCR agar bisa diberi status pengungsi.

Sayangnya menjadi pengungsi di Jakarta justru mengulangi kisah lama saat dia tinggal di Yordania. Dia tidak boleh bekerja dan kedua puterinya pun tidak bisa bersekolah.

“Saya memutuskan mendaftar ke kantor UNHCR agar bisa berangkat ke negara ketiga. Saya sudah ceritakan apa permasalahan saya, tetapi mereka hanya mengatakan agar saya bersabar,” tutur Ahmed.

Sayang, kata “sabar” tidak membantunya memberi solusi bagaimana caranya bertahan hidup di Jakarta. Dia mengaku sudah menghubungi Kedutaan Palestina di Jakarta, tetapi mereka juga tidak banyak membantu.

Kini, sudah tiga tahun dia memegang kartu sebagai pengungsi. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kepastian yang diperoleh kapan dia dan keluarga akan ditempatkan di negara baru.

“Saya ditempatkan di mana saja entah itu di Kanada, Selandia Baru atau Amerika Serikat juga tidak masalah. Yang penting saya bisa bekerja dan membentuk kehidupan yang baru,” tutur dia.

Dia mengaku sebenarnya nyaman tinggal di Indonesia. Warga di sekitar tempatnya tinggal, disebut Ahmed ramah dan hangat jika dibandingkan warga Yordania dan Palestina.

Sayang, sesuai aturan yang berlaku, pengungsi tidak diizinkan bekerja. Padahal, Ahmed memiliki keahlian memperbaiki barang-barang elektronik dan memasak. Dia mengaku memiliki sertifikat keahliannya tersebut.

Ahmed juga sempat berpikir untuk mengajukan menjadi WNI, karena memiliki istri orang Indonesia. Sayangnya, menurut petugas imigrasi di Bandung yang dia tanya, hal tersebut tidak mungkin. Alasannya, dia masuk ke Indonesia dengan menggunakan visa turis yang berlaku selama dua bulan.

Ahmed juga mendengar soal kecil kemungkinan dia akan ditempatkan di Negeri Paman Sam, karena kebijakan imigrasi Presiden Donald Trump yang keras. Namun, dia mengaku tidak khawatir dengan kebijakan tersebut.

“Saya tidak masalah jika Presiden Trump tidak bersedia menerima pengungsi. Saya tetap sabar agar bisa ditempatkan di negara lain,” katanya sambil menyebut kebijakan Trump sudah dirasakan langsung oleh pengungsi asal Palestina lainnya.

Ingat anak

MASA DEPAN. Ahmed selalu sedih jika memikirkan masa depan kedua puterinya, Rawan dan Razan. Hingga usia 7 dan 9 tahun, keduanya tidak bisa bersekolah. Foto oleh Diego Batara/Rappler

Kini, Ahmed mengaku bingung, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama tiga bulan terakhir, dia dan keluarga bisa tinggal di kamar kost tersebut karena dibiayai oleh seorang rekannya asal Mesir.

Rekan Ahmed itu langsung memberikan dana Rp 6 juta untuk biaya tinggal selama 3 bulan terakhir. Sementara, pembayaran kamar kost akan jatuh tempo pada pekan ini.

“Saya selalu sedih ketika memikirkan nasib kedua puteri saya. Situasi ini sangat tidak nyaman untuk mereka. Saya selalu bertanya-tanya bagaimana caranya bisa memberikan kedua puterinya masa depan yang cerah, karena semua rencana saya tidak berjalan mulus,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Oleh sebab itu, harapan juga dia gantungkan kepada warga dan Pemerintah Indonesia. Ahmed berharap mereka terketuk hatinya untuk membantu.

“Sekarang tidak ada yang membantu saya. Saya minta tolong demi anak, karena saya tidak memiliki uang untuk membeli makanan dan tidak mempunyai pekerjaan,” ujar Ahmed memohon.

Asa dan permohonan Ahmed menjadi gambaran umum sekitar 5.000 orang pengungsi yang “tersandera” di Indonesia. Pemerintah pun menghadapi dilema karena bukan termasuk negara yang meneken konvensi PBB mengenai pengungsi.

Kalian memiliki cara untuk membantu Ahmed dan keluarga? Tulis pendapat kalian di kolom komentar. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!