Mengapa laki-laki perlu peduli terhadap isu perempuan

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa laki-laki perlu peduli terhadap isu perempuan
‘Kita bisa mulai dengan protes jika ada lelucon seksis, harassment, atau catcalling.’

JAKARTA, Indonesia — Feminis membenci laki-laki. Itu hanya mitos. Memang, kaum perempuan sering menjadi korban tindakan laki-laki, sehingga menyebabkan para wanita dianggap membenci pria.

Tapi, itu tak sepenuhnya benar. Mengebiri peran laki-laki bukanlah melulu tujuan utama perempuan demi mencapai kesetaraan gender. 

Ada yang berpendapat demi ekualitas, konsep maskulinitas harus didekonstruksi. Bisa jadi, tapi caranya bukan dengan memperkuat salah satu jenis kelamin dan mengorbankan yang lain.

Seorang pria muda bernama Irfan Prawiradinata menjadi pembicaraan di ruang media sosial ketika komentarnya mengenai Women’s March Jakarta (WMJ) dianggap tidak sensitif dan di luar jalur.

Ia menyebutkan bahwa aksi turun ke jalan ratusan perempuan di ibu kota hanya “ikut-ikutan” kegiatan serupa di Amerika Serikat sebelumnya. Irfan juga menyebutkan bahwa “perempuan yang ikut aksi tidak terlihat seperti perempuan yang mendapat catcall ataupun disiuli di jalan”.

(BACA: Patriarki yang membutakan: Mengapa Indonesia butuh Women’s March)

Komentar seperti yang dilontarkan Irfan ini semakin mengukuhkan pendapat bahwa laki-laki menjadi penyebab perjuangan kaum perempuan demi terpenuhinya hak-hak mereka. Padahal, lelaki memiliki peran penting dalam beragama isu perempuan di Indonesia saat ini.

Pada Hari Perempuan Internasional yang diperingati tiap 8 Maret, Rappler bertanya kepada 2 orang pria; penerjemah Fajar Zakhri (25 tahun) dan jurnalis Rio Tuasikal (24), mengenai peran lelaki dalam isu perempuan. Berikut cuplikan obrolan kami:

Rappler: Bagaimana menurut kamu peran lelaki dalam isu perempuan di Indonesia saat ini?

Rio: Saya melihat peran lelaki di Indonesia makin banyak dan luas, meski memang jumlahnya belumlah masif. Kita bisa catat beberapa inisiatif di Indonesia seperti Aliansi Laki-Laki Baru. Hal ini merupakan indikator yang baik.

Fajar: Saya melihat bahwa pergerakan isu perempuan semakin berjalan bergandengan dengan pergerakan isu LGBTIQ, di mana kedua kelompok ini masih kerap termarjinalkan dalam berbagai konteks seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Ada sinergi yang kuat antara kedua kelompok ini—atau setidaknya begitulah yang saya rasakan dan alami. 

Rappler: Mengapa kamu menganggap ini merupakan hal yang penting?

Rio: Secara simbolik, lelaki yang menyuarakan feminisme akan meruntuhkan stigma bahwa feminisme hanyalah untuk perempuan. Secara struktural, lelaki kan diuntungkan oleh patriarki, sehingga lelaki memiliki banyak akses yang dibutuhkan agar wacana ini menjadi arus utama. 

Fajar: Dalam level pribadi, bagi saya yang seorang queer, saya selalu merasa bahwa isu perempuan adalah isu saya juga, karena meskipun secara biologis saya bukan perempuan, banyak unsur yang secara tradisional dideskripsikan sebagai feminin atau keperempuanan yang juga adalah bagian dari diri saya. 

Dalam level umum, jika kita berbicara tentang isu perempuan, yang mendasari isu ini sebetulnya adalah ketimpangan gender dan pelaku utamanya jelas adalah para lelaki. Maka, keterlibatan lelaki menjadi penting sekali dalam isu ini karena pesan dan kesadaran yang ingin diangkat akan lebih efektif jika diangkat oleh anggota kelompok yang bersangkutan. 

(BACA: 5 puisi tentang perempuan yang perlu kamu dengar)

Rappler: Menurut kamu, isu perempuan apa yang saat ini penting untuk dibahas dalam skala nasional atau lokal?

Fajar: Isu yang sedang naik saat ini adalah kekerasan seksual, terutama pemerkosaan. Ini selalu menjadi polemik yang memecah belah masyarakat karena jelas normalisasi kekerasan seksual (dan juga psikologis) terhadap perempuan sangat mendarah daging dalam masyarakat. 

Rio: Di skala nasional kita penting bicara pembantu rumah tangga (PRT) dan menghapus kekerasan seksual. Pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT, ratifikasi International Labor Organization (ILO) 189, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Di tingkat lokal penting bicara menghentikan harasment dan catcalling.

(BACA: Melawan pelecehan di jalanan bersama Hollaback! Jakarta)

Rappler: Apa yang kamu lakukan untuk menjamin kesetaraan gender di lingkunganmu?

LGBTIQ. Fajar Zakhri menilai, pergerakan isu perempuan berjalan bergandengan dengan pergerakan isu LGBTIQ di mana kedua kelompok ini masih kerap termarjinalkan. Foto oleh Diego Batara/Rappler

Fajar: Membuka diskusi tentang topik-topik seputar kesetaraan gender merupakan suatu awal yang baik. Semua dimulai dari pikiran. Saya selalu berangkat dari mentalitas bahwa semua gender adalah setara. Menciptakan argumen mungkin sering terasa menyebalkan, namun kadang memang perlu juga agar ada pengertian. 

Rio: Yang paling bisa saya lakukan adalah membagi pekerjaan tanpa steoreotip gender dan protes jika ada lelucon seksis. Misalnya, untuk kegiatan mengangkat galon di kantor, saya juga menyilakan perempuan yang mau melakukannya. 

Urusan mengangkat galon buat saya adalah soal kekuatan individu, bukan jenis kelamin. Saya juga pernah dua kali menolak mengangkat galon karena saya dimintai tolong hanya karena saya laki-laki. Saya juga pernah protes ketika rekan kerja perempuan memegang dada saya tanpa consent. Saya kira dua hal itu bisa diterapkan semua orang, hari ini juga. 

Rappler: Apa harapanmu terhadap kesetaraan gender di Indonesia? 

Fajar: Jika semua orang mampu berangkat dari mentalitas bahwa semua gender adalah setara, maka baru akan ada perubahan yang terjadi. 

Bergabung dengan komunitas, bertukar cerita dan opini, banyak membaca dan mencari tahu, dan menjaga pikiran terbuka buat saya adalah modal awal untuk mencapai tujuan kesetaraan gender.

Rio: Saya berharap semakin banyak orang yang terlibat dalam isu ini. Caranya adalah dengan meningkatkan awareness masyarakat bersamaan dengan mendorong perubahan kebijakan. Ini dilakukan lewat berbagai kampanye juga publikasi di media. 

Sebagai pribadi, kita bisa mulai dengan protes jika ada lelucon seksis, harassment, atau catcalling.

—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!