Barcelona vs Paris Saint-Germain: Laga tanpa makna

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Barcelona vs Paris Saint-Germain: Laga tanpa makna
Pengumuman pengunduran diri di tengah kompetisi terbukti mengakhiri musim lebih dini

JAKARTA, Indonesia — Sejarah membuktikan, para pelatih yang pamit sebelum musim berakhir memberi akibat yang tidak ringan kepada tim. Pasukan tak lagi punya respek karena toh bakal berpisah. Sang pelatih juga merasa tidak harus mati-matian karena masa depan sudah ditentukan. 

Beberapa kasus membuktikannya. Musim terakhir Manuel Pellegrini di Manchester City justru menjadi musim terburuknya setelah Vincent Kompany dan kawan-kawan hanya finis di posisi keempat. 

Begitu juga nasib Juventus di musim 1998-1999 saat Marcelo Lippi secara mengejutkan mengumumkan kepindahannya ke musuh bebuyutan Si Nyonya Besar, Inter Milan. Juve, tim yang dua kali beruntun meraih scudetto itu, tiba-tiba mengakhiri musim di posisi ketujuh. 

Memang, tidak semuanya berimbas ke peringkat. Claudio Ranieri yang sudah pasti bakal digantikan Jose Mourinho mengakhiri musim terakhirnya di Chelsea di posisi terbaik yang pernah diraih klub tersebut, runner up—tentu saja sebelum rekor itu akhirnya dihapus dengan gelar juara Liga Primer oleh Mourinho. 

Yang jelas, kepastian masa depan pelatih sedikit banyak mempengaruhi mental tim. Baik itu pemain maupun sang manajer. Tidak salah jika saat Mourinho hanya soal waktu menjejakkan kaki di Stamford Bridge, pers Inggris menyebut Ranieri sebagai “zombie”: Dead Man Walking

Bahkan pelatih sekelas Josep “Pep” Guardiola pun tak lepas dari situasi menyedihkan itu. Pelatih yang kini menukangi Manchester City tersebut mengumumkan pengunduran dirinya dari Barcelona pada April 2012. Sebelum musim berakhir. Beberapa hari setelah timnya disingkirkan Chelsea dari Liga Champions. 

Dan beberapa hari kemudian, mereka gagal dalam perburuan gelar juara Primera Division dari Real Madrid-nya Jose Mourinho.

Hanya kemenangan melawan Athletic Bilbao di final Copa del Rey yang menyelamatkan wajah Catalonia di musim itu. 

Menghitung hari di ruang ganti

Situasi yang kurang lebih sama dihadapi Enrique. Mantan pemain Barcelona dan Real Madrid itu jelas sangat berat meninggalkan glamor dan popularitas di puncak tertinggi sepak bola dunia bersama Barca.

Jika tim dalam keadaan kondusif, lelaki asal Gijon itu sudah pasti ingin lebih lama lagi berada di Catalonia. 

Tapi tim terus bergolak. Dan jika pilihannya adalah memilih antara kubu pelatih atau pemain, manajemen jelas lebih mementingkan mereka yang bertarung di lapangan. 

Jadilah Enrique seperti Ranieri di hari-hari terakhirnya di Chelsea. Blaugrana memang belum mendapatkan pengganti dia. Tapi jelas saat ini dia memimpin orang-orang yang tak pernah mengharapkannya.

Atau, untuk membuatnya terdengar lebih menyakitkan lagi, berada dalam sebuah klub di mana orang-orangnya terus menghitung hari kepergian dia. 

Lantas, untuk apa dia harus mati-matian membantu tim yang justru gembira dengan pernyataan kemundurannya? 

Musim ini jelas berakhir lebih dini bagi Enrique. Apalagi dengan beban defisit empat gol yang harus mereka kejar dari Paris Saint-Germain (PSG). Laga leg kedua 16 besar yang akan digelar di Camp Nou, Kamis, 9 Maret, pukul 02.45 WIB dini hari. 

Belum lagi kecenderungan Enrique akhir-akhir ini yang gemar mengubah formasi. Setelah kalah dari PSG, dia mengubah sistem permainan dari empat bek menjadi tiga bek. Perubahan frontal tersebut jelas mengubah karakter permainan Barcelona.

Dari yang mengandalkan trio penyerang MSN (Lionel Messi, Luis Suarez, dan Neymar) kini lini depan semakin “ramai” dengan kehadiran dua wing back Ivan Rakitic dan Rafinha.

Pada saat yang sama, kedua sayap anyar itu juga harus rajin turun ke belakang saat timnya diserang. 

Dengan komposisi pemain brilian nan berbakat, perubahan formasi itu memang tak butuh waktu lama untuk menyatu dengan tim. Buktinya, formasi anyar Enrique itu membawa Azulgrana menang atas Atletico Madrid 2-1, membantai Sporting Gijon 6-1, dan Celta Vigo 5-0. 

Laga yang terakhir disebut itu bahkan menandai performa terbaik Barca musim ini. 

Tapi jika skenario itu gagal, PSG justru bakal mengambil keuntungan besar dari formasi yang belum matang.

Di tengah situasi tak menentu tersebut, Enrique masih yakin timnya bakal membalikkan keadaan. Semangat remuntada dipanggil kembali demi melapangkan jalan ke babak selanjutnya. 

Dalam sejarahnya di Liga Champions, beberapa kali Barcelona memang mampu membalikkan keadaan setelah kalah telak di leg pertama. Mereka pernah lepas dari kekalahan 0-2 atas AC Milan dan 1-3 atas Chelsea. 

Masalahnya, jurang 4-0 cukup besar untuk diseberangi. Dan PSG tak mungkin sudi melepas setengah tiket ke perempat final yang sudah dalam genggaman.

Skenario pembantaian Barca di leg pertama bisa diputar ulang. Yakni dengan menekan Barca jauh hingga daerahnya sendiri dan mematikan upaya build up serangan sejak bola pertama bergulir. 

“Saya kira dalam 90 menit banyak hal yang bisa terjadi,” kata Enrique seperti dikutip France24. “Jika PSG bisa mencetak empat gol, kami juga bisa mencetak lima gol,” imbuhnya menenangkan diri sendiri.

Barangkali, malam ini Enrique menjadi orang paling kesepian di dunia. Di tengah keramaian Camp Nou, sendirian dia berharap Andres Iniesta dan kawan-kawan bisa membalikkan keadaan. Sementara seluruh pasukannya sudah membayangkan hari-hari baru bersama entrenador anyar musim depan.—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!