Atletico Madrid vs Leicester City: Akhir sihir Shakespeare

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Atletico Madrid vs Leicester City: Akhir sihir Shakespeare
Dosa masa lalu menghantui laga tandang The Foxes di Madrid.

JAKARTA, Indonesia — Craig Shakespeare datang bagai keajaiban. Seorang asisten yang tiba-tiba bertransformasi menjadi manajer mengembalikan lagi mentalitas dan semangat yang sempat absen di King Power Stadium. 

Di tangan dia, Leicester meraih 5 kemenangan beruntun dalam 5 laga pertamanya bersama Shakespeare sebelum catatan itu diakhiri Everton 2-4, Minggu, 9 April, lalu. Bersamanya pula, Leicester meraih kemenangan 2-0 atas Sevilla untuk menggaransi langkah The Foxes ke perempat final. 

Kiprah mengejutkan Shakespeare sejatinya beralasan. Manajer 53 tahun itu memang mengenal betul pasukannya. Dia mendampingi Wes Morgan jauh sebelum kehadiran Claudio Ranieri, manajer yang membawa mereka juara Liga Primer untuk kali pertama. 

Shakespeare sudah menjadi tangan kanan manajer sejak era Nigel Pearson. Itu berarti dia sudah mengenal betul King Power Stadium sejak 2011 atau 6 tahun berjalan. Itu belum ditambah  kiprahnya selama dua musim sejak 2008. 

Waktu yang yang cukup untuk menjadi sosok yang bisa membangkitkan lagi semangat yang sama setelah begitu murung di musim kedua Ranieri. 

Keajaiban mantan pesepak bola profesional Inggris itu memang tak hanya datang karena waktu pengabdian yang panjang. Tapi juga kemampuannya bertansformasi.

Menjadi asisten dan menjadi pemimpin tim adalah proses perubahan yang tak gampang. Apalagi dalam waktu yang singkat. Di tengah kecamuk prahara tim yang dibayang-bayangi zona degradasi. 

Namun, Shakespeare bisa menjalankannya. Paling tidak, sepanjang lima laga pertamanya sebelum streak itu diakhiri Everton.

Di Liga Champions, Shakespeare juga tak perlu khawatir. Ajang para juara Eropa itu memang memasuki fase serius. Tapi orang seperti tetap bisa tampil kompetitif. Bahkan justru tak terduga. Sebab, para pelatih pengganti dari kalangan staf kerap membuat kejutan.

Avram Grant langsung membawa Chelsea ke final Liga Champions usai menjadi pengganti Jose Mourinho di musim 2007-2008. Padahal, saat itu Grant sejatinya adalah direktur tim. 

Begitu juga Roberto Di Matteo. Dia menggantikan posisi Andre Villas-Boas dari posisinya yang cuma sekadar asisten pelatih. Bahkan, kejutan Di Matteo kebangetan. Dia langsung membawa Chelsea menjadi juara Liga Champions untuk kali pertama dan satu-satunya sampai sekarang.

Menjadi orang kedua membuat posisi asisten pelatih memang berbeda. Dia bisa mengetahui kelemahan metode sang juru taktik. Pada saat yang sama, dia juga bisa lebih dekat pada para pemain. 

Hal itulah yang terjadi pada Di Matteo meski akhirnya kedekatan itu membuat dia tak terlalu disegani oleh gang Didier Drogba—sampai akhirnya dipecat hanya beberapa bulan setelah meraih gelar Liga Champions. 

Maslaahnya, situasi Shakespeare berbeda dibanding dua figur di atas. Sejumlah media Inggris menyebut dia adalah salah satu aktor intelektual di belakang pemecatan Ranieri. 

Dalam sebuah kesempatan, Ranieri juga mengakui bahwa ada yang menikam dia dari belakang. Orang yang membuat tim bergerak melawan dia. Tapi dia tidak menyebut siapa. “Saya tahu siapa dia,” kata Ranieri seperti dikutip BBC.

Shakespeare memang sudah menegaskan bahwa tak ada masalah antara dirinya dan Ranieri. Tapi sulit untuk tidak percaya bahwa dia memang musuh dalam selimut itu. 

“Saya tak pernah bertengkar dengan Ranieri. Setiap orang di tim bebas berpendapat. Dan saya tidak ada masalah dengan itu,” bantah Shakespeare. 

“Urusan yang tak selesai” di masa lalu itu jelas bakal mengganggu fokus Shakespeare. Apalagi kali ini lawan mereka adalah tim yang dalam 4 musim belakangan cukup berpengalaman di Liga Champions. 

Laga melawan Atletico Madrid yang akan digelar di Vicente Calderon, Kamis, 13 April pukul 01.45 WIB bakal memberi pelajaran bagi Shakespeare.

Ya, Atletico Madrid, hampir selalu masuk dalam 4 besar. Bahkan, musim lalu mereka mencapai final sebelum mimpi juara itu dikandaskan musuh bebuyutan mereka: Real Madrid. 

Los Rojiblancos jelas lawan yang berbeda dibanding musuh Leicester selama ini di Liga Champions. Pasukan Diego Simeone itu justru memiliki banyak kesamaan dengan The Foxes. Mereka membangun tim dari pertahanan yang tangguh dan bermain dengan mengandalkan serangan balik. Mereka juga sama-sama membangun tim dalam formasi 4-4-2.

Namun, budaya pertahanan yang kuat di Leicester jelas kalah tua dibanding Atleti. Diego Simeone sudah membangunnya sejak kehadirannya sejak awal musim 2012. 

Sedangkan Leicester, mereka baru benar-benar menganggap serius pertahanan sejak kehadiran Ranieri musim lalu. Itupun tak terlalu serius karena di musim kedua mereka membiarkan Chelsea menggaet N’Golo Kante. Salah satu aktor penting dari tembok pertahanan tim milik konglomerat Thailand itu. 

Begitu juga dalam semangat bertarung. Atleti jauh lebih memiliki sikap petarung dibanding Leicester yang memilih berontak kepada pelatih dengan cara yang tidak elegan. 

Situasi semakin sulit bagi Leicester karena kapten sekaligus salah satu penjaga pertahanan utama Wes Morgan absen. Yohan Benalouane, penggantinya, jelas tak bisa langsung tampil bagus jika harus tampil di panggung sebesar Liga Champions. 

“Kami justru merasa terhormat jika disamakan dengan Atletico. Tapi kami berbeda,” katanya seperti dikutip dari Guardian.–Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!