Ketika menjadi TKI tidak menghentikan mimpi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika menjadi TKI tidak menghentikan mimpi
"Aku gak ingin selamanya jadi BMI. Aku harus naik level berikutnya."

 

JAKARTA, Indonesia – Menjadi buruh migran sejak berusia 18 tahun tidak memupuskan impian Setyana memperoleh gelar sarjana. Pada Januari 2017 lalu, ia dan 6 orang buruh migran Indonesia lainnya menamatkan studi sarjana mereka di Universitas Terbuka (UT) Taiwan. 

Rappler berkesempatan bertemu perempuan yang akrab disapa Ana ini saat ia kembali ke Indonesia. Dalam pertemuan selama 1,5 jam itu, ia mengisahkan motivasi dan perjuangannya demi pendidikan.

“Waktu itu ada kesempatan, kenapa tidak diambil?” kata perempuan asal Ngawi, Jawa Timur ini pada Sabtu, 25 Februari 2017 di Jakarta. 

Motivasi Ana berawal dari keinginannya untuk tidak melulu menjadi buruh migran, yang kesempatan bekerjanya pun terbatas. Ia sendiri berangkat ke Taiwan pada 2011 lalu karena tak kunjung mendapat pekerjaan setelah lulus SMA.

Untuk melanjutkan studi pun agak sulit mengingat keadaan ekonomi keluarganya. Ayahnya bekerja sebagai sekuriti sekaligus sopir di sebuah toko mebel. Sementara ibunya hanya berdiam di rumah dan sakit-sakitan. 

Tawaran bekerja di Taiwan datang dari teman ayahnya, yang mengiming-imingi gaji besar. Tak mau hanya menganggur di rumah, Ana pun menerima tawaran tersebut.

Berjuang memperoleh izin

Setibanya di Taiwan, Ana bekerja untuk sebuah keluarga di daerah Chiyai. Sehari-hari, ia mengurus ibu dan anak majikannya yang masih bayi.

“Aku ngerasanya masih ada waktu luang, karena nenek ini masih bisa ngapa-ngapain sendiri,” kata dia. Waktu luangnya sering ia pakai untuk belajar kosakata Mandarin, atau melakukan aktivitas sosial dengan Brilian Time Bookstore yang sering mendampingi buruh migran maupun pekerja kasar Asia Tenggara lainnya. 

Informasi terkait kelas online di UT diperolehnya dari majalah berbahasa Indonesia yang kebetulan ia beli. Jurusan yang ditawarkan adalah Bahasa Inggris, administrasi, dan manajemen.

Melihat kesempatan tersebut, Ana tak ragu untuk mendaftar, meski sadar tantangan yang akan ia hadapi selanjutnya. Ia memilih Bahasa Inggris, karena mengaku tak suka hitung-hitungan. Selain itu, kemampuan bahasa ini juga memudahkan aktivitas sosialnya. 

Masalah pertama adalah bagaimana ia memperoleh izin dari majikannya. Saat mengutarakan keinginannya mengenyam pendidikan, majikannya keberatan.

“Mereka tidak suportif. Katanya ‘kamu tak gaji, harus ikutin kataku (bekerja)'” kata Ana. Alasan tersebut tak lantas membuatnya menyerah. Ia meyakinkan majikannya kalau kegiatan sekolahnya tak akan mengganggu pekerjaan, lantaran berlangsung online. Gayung bersambut, majikan Ana pun mengizinkan, meski dengan setengah hati. 

Beruntung, orangtuanya di Indonesia sangat mendukung cita-citanya. Keduanya memberi kebebasan bagi Ana untuk mengejar mimpinya mengenyam pendidikan setinggi mungkin, sewaktu ada kesempatan. Ia sangat mensyukuri hal ini.

“Untung orangtua saya bukan tipe yang mengejar untuk buru-buru menikah. Kata mereka kalau ada kesempatan kenapa tidak?” kata Ana sembari tersenyum.

Menjalani kuliah sembari bekerja sebagai buruh migran bukanlah hal yang mudah. Ana kerap menemui masalah, mulai dari curi-curi waktu belajar, mengumpulkan tugas tepat waktu, hingga menghadiri kelas tatap muka yang diadakan sebulan sekali. Ia pun sering absen kelas tersebut, lantaran tak mendapat izin meninggalkan pekerjaannya. 

Pengalaman teman kuliah Ana yang berprofesi sama tak kalah sulit. Ana bercerita kalau temannya ini harus belajar sembunyi-sembunyi di bawah selimut supaya tak ketahuan majikannya. “Bahkan saat dosen bertanya pun dia tak jawab, hanya mengetik saja,” kata Ana.

Selain itu, banyak juga yang gagal menamatkan studinya karena alasan serupa. Dari 25 orang BMI angkatannya, hanya seperempat yang tersisa hingga lulus. 

Kelas lewat internet pun memiliki persoalan tersendiri. Seringkali server UT ataupun koneksi internetnya bermasalah, sehingga Ana terlambat menyerahkan tugas. Atau tidak, saat mengerjakan soal, koneksi terputus dan saat tersambung kembali laman sudah berganti sehingga ia ketinggalan menjawab. “Jadi dapat nilainya E, mau bagaimana lagi,” kata dia.

Waktu istirahat dan liburnya pun terpangkas untuk belajar. “Saya maksimal tidur hanya 5 jam sehari,” kata Ana.

Untuk uang kuliah pun, ia menyisihkan setengah dari gajinya per bulan. Saat itu, Ana dibayar seitar Rp 3-4 juta per bulan.

Setelah mengakhiri kontrak 3 tahun pertama, Ana meminta agen penyalurnya untuk mencarikan pekerjaan yang memungkinkannya lebih leluasa belajar. Gayung bersambut, ia pun pindah kerja ke Nursing House Chia Xin sebagai tenaga perawat. Namun, justru pekerjaannya menjadi lebih banyak.

Dalam sehari, Ana mendapat shift selama 12 jam; kadang dengan tambahan lembur selama 18 jam. Ia kesulitan mengejar pelajarannya, lantaran khawatir dengan keadaan pasien di rumah sakit. 

“Kadang saya belajar lewat ponsel saja, lihat-lihat susternya (ada atau tidak). Harus belajar sendiri,” kata dia.

Mimpi tak berhenti

MeNCERITAKAN PEKERJA MIGRAN. Ana bertemu mantan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou pada 2016 untuk menceritakan kehidupan buruh migran Indonesia. Foto oleh Setyana.

Perjuangan Ana selama 4 tahun ini pun membuahkan hasil. Ia lulus sebagai Sarjana Sastra dengan IPK 2,5. Ia dan teman-temannya akan menjalani wisuda pada Mei 2017 di Indonesia, atau Juni 2017 di Taiwan. 

Kelulusan ini bertepatan pula dengan akhir kontrak Ana sebagai BMI. Ia memutuskan untuk mengubah profesinya. “Aku gak ingin selamanya jadi BMI. Aku harus naik level berikutnya,” kata dia.

Ia berencana melanjutkan studinya ke tingkat paskasarjana di University Central National Taiwan jurusan pendidikan atau ilmu komunikasi.

“Setelahnya saya bisa lanjut memperkenalkan BMI dan agama Islam ke masyarakat Taiwan, atau bekerja di kantor imigrasi,” kata dia. Karena banyak berpartisipasi di kegiatan sosial, Ana lumayan dikenal oleh banyak orang yang memudahkannya mencari pekerjaan baru.

Menurut perempuan yang hobi menulis ini, menjadi buruh migran atau TKI tidak lantas menghentikan mimpi seseorang. Setiap orang memiliki hak atas pendidikan, siapapun dia.

Lewat perjuangannya ini, Ana sekaligus ingin mengubah persepsi publik tentang buruh migran. Selama ini, masyarakat masih memandang sebelah mata profesi tersebut “Jangan dipandang sebalah mata saja, BMI juga banyak yang memiliki kemampuan,” kata dia. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!