Komunitas ‘Laki-Laki Baru’ dorong perspektif baru tentang perempuan di NTT

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komunitas ‘Laki-Laki Baru’ dorong perspektif baru tentang perempuan di NTT
Para relawan Laki-Laki Baru mencoba merubah paradigma masyarakat NTT yang patriarkis tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender

JAKARTA, Indonesia — Seperti wilayah lainnya di Indonesia, budaya patriarki masih melekat pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Paham keliru tentang kejantanan laki-laki yang sering diasosiasikan dengan superioritas atas perempuan masih mengakar.

Oleh karena itu, Center for Internally Displaced People’s Service (CIS) Timor menginisiasi gerakan Laki-Laki Baru (LLB) di Kupang, NTT. Tujuannya, adalah untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan lokal yang bias gender dan cenderung menempatkan laki-laki di atas perempuan.

“Di Kupang ada budaya yang menganggap laki-laki itu harus nakal. Ini yang membangun budaya patriarkis dan membuat laki-laki menjadi superior,” tutur William Fangidae, seorang relawan CIS Timor yang ditemui Rappler di Kupang pada Februari lalu.

LLB merupakan gerakan berbasis komunitas yang memberi pengetahuan tentang kesetaraan gender, hak-hak perempuan, serta anti-kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) — yang kerap terjadi di NTT. LLB memiliki aktivitas berupa sekolah non-formal bagi para Community Organizer (CO). Nantinya, para CO inilah yang bertugas untuk menyebarkan paham LLB kepada keluarga, saudara, serta teman-teman di lingkungannya.

LAKI-LAKI BARU. Para relawan CIS Timor, William Fangidae dan Senimala Batmalo, berbincang bersama Oxfam dan para media di Kafe OCD, Kupang, NTT, pada 23 Februari. Foto: Istimewa

Para relawan yang telah bergabung dengan LLB sejak 2013 mengaku cukup puas dengan perubahan yang terjadi hingga saat ini, khususnya pada individu mereka masing-masing.

Seorang relawan bernama Bani P. Sabloit mengungkapkan bahwa sejak bergabung dengan CIS Timor dan gerakan LLB, dirinya jadi lebih sensitif gender dan sering membantu pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah.

Ini merupakan perubahan yang besar, karena sebelumnya, seperti laki-laki Timor kebanyakan, Bani selalu dilayani oleh perempuan.

“Di sini laki-laki harus berani mabuk, dilayani oleh perempuan untuk minum kopi, makan, kita duduk-duduk saja dan semua disiapkan oleh perempuan,” ujar Bani mengenang masa-masa sebelum mengenal LLB.

Saat ini, Bani sudah mulai bisa membantu pekerjaan di rumah, seperti memasak dan mencuci piring. Ia juga telah berhenti mabuk-mabukan, padahal sebelumnya pria 25 tahun ini dikenal tidak pernah lepas dari botol minuman setiap nongkrong bersama teman-temannya.

Tak hanya itu, setelah beberapa tahun, Bani pun berhasil mengajak ayahnya untuk mengurangi kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol.

“Bapak juga sudah mulai berhenti mabuk seperti saya,” kata Bani.

Mabuk-mabukan merupakan salah satu kebiasaan buruk warga NTT karena sering kali menjadi pemicu perkelahian dan bukti maskulinitas.

“Anak muda itu kalau belum mabok berarti dia belum jago. Walaupun dia badan kurus ceking kecil mungkin kalau mabok jadi [orang] besar. Semua orang yang lewat itu akan ditantang berkelahi. Kalau belum pukul orang belum jantan,” ujar salah satu relawan CIS Timor, Senimala Batmalo.

Lain halnya dengan Yoksan Imanuel Koa, pria 23 tahun relawan CIS Timor yang juga ikut dalam gerakan LLB. Meskipun sejak kecil ia sudah sering membantu pekerjaan domestik di rumah, perubahan besar juga terjadi padanya sejak bergabung dengan LLB.

Menurut Yoksan, tujuan dari gerakan LLB memang membutuhkan proses yang panjang untuk bisa tercapai. Namun tidak ada yang tidak bisa. Sesuai pengalamannya, sudah banyak perubahan dalam dirinya yang di alami.

“Dari pola pikir, pemahaman, berubah. Dari pola tingkah laku, tutur kata, juga berubah. Bisa lebih menghargai, bisa lebih mendengarkan orang lain, dan sebagainya.

Jika sebelumnya ia tidak pernah membantu ibunya yang berprofesi sebagai penjual sayur di pasar, setelah bergabung dengan LLB Yoksan tidak sungkan menggotong bakul berisi sayuran dari dalam pasar hingga ke pangkalan.

“Memang awalnya tidak nyaman, tapi saya terus berusaha. Awalnya dari hanya bantu bawa bakul dari dalam pasar ke pangkalan, akhirnya bisa juga bantu jualan sayur hingga saat ini.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!