Lukisan perjuangan perempuan dalam upaya hentikan kutukan konflik lingkungan

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lukisan perjuangan perempuan dalam upaya hentikan kutukan konflik lingkungan
Seniman dan aktivis Dewi Candraningrum memamerkan karyanya melukis kaum perempuan Desa Surokonto Wetan sebagai simbol perjuangan dalam konflik pertanahan

YOGYAKARTA, Indonesia — Lima lukisan wanita Surokonto Wetan berjajar di ruang pamer Uwong Coffe, Yogyakarta. Lukisan tersebut menggambarkan gurat kegigihan perjuangan wanita di Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, untuk mempertahankan lahan pertanian mereka akibat konflik agraria dengan investor dan pemerintah setempat di Kendal, Jawa Tengah. 

Sejumlah seniman dan aktivis perempuan berpesan bahwa terdapat kearifan lokal pada perempuan dan masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya alam tanpa menuai konflik.

“Perempuan menanam lesung dalam rahimnya. Ini adalah metafora untuk menunjukkan [peran] perempuan penting untuk ketahanan pangan,” kata seniman Dewi Candraningrum kepada Rappler, Senin, 13 Maret.

Selain 5 lukisan di ruang utama, pelukis yang juga merupakan aktivis perempuan ini memamerkan 5 karya lukis lainnya di Uwong Coffee dalam pameran yang berlangsung hingga 16 Maret.

Dalam karya-karyanya, Dewi menampilkan para perempuan asal Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, yang kehilangan lahan garapan akibat konflik lahan dengan Perum Perhutani. Warga desa setempat disebut kehilangan lahan akibat tukar guling pembangunan pabrik dan penambangan batu gamping oleh PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. 

“Perempuan menanam lesung dalam rahimnya. Ini adalah metafora untuk menunjukkan [peran] perempuan penting untuk ketahanan pangan.”

Konflik di Kendal adalah sebagian kecil dari konflik lain yang menempatkan perempuan sebagai korban sekaligus simbol perjuangan masyarakat setempat, untuk mempertahankan lahan mereka, seperti para perempuan di pegunungan Kendeng

“Perempuan adalah pengolah tanah, pertanian. Jika mereka dicerabut dari faktor produksi, lantas apa yang dimiliki lagi?” kata Dewi. “Sementara perempuan mengolah tanah dengan memerhatikan keseimbangan lingkungan tanpa melakukan eksploitasi.”

Selain lukisan para perempuan petani, Dewi juga memamerkan lukisan pejuang konflik lingkungan dari masyarakat sekitar lokasi tambang, seperti aktivis Salim Kancil yang tewas dalam pusaran konflik tambang pasir pantai melawan penguasa setempat di Lumajang.

Ada juga pengacara Atma Khikmi, pembela hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, yang mendampingi perempuan-perempuan Surokonto Wetan dan para Kartini Kendeng. Terdapat pula lukisan Gunretno, aktivis lingkungan dari Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.

Kearifan lokal mencegah konflik

Pipin Jamson dari Komite Perjuangan Perempuan (KPP) menyebut ada banyak pelajaran dari perempuan dan kearifan lokal untuk mencegah konflik. Peneliti di lembaga riset Politics and Government Research Centre Universitas Gadjah Mada (PolGov UGM) ini menyebut kearifan lokal mengelola sumber daya alam dengan mempertimbangkan keberlangsungkan kehidupan manusia dengan alam dalam jangka panjang. 

“Dari penelitian dengan PolGov UGM, kami menemukan pengetahuan lokal banyak memiliki jawaban atas konflik dari sumber daya alam, dan perempuan berperan besar di dalamnya,” kata Pinpin.

Menurutnya, sepanjang 2016 PolGov UGM telah melakukan penelitian di 4 wilayah untuk menggali pengetahuan lokal dan manfaatnya untuk tata kelola sumber daya lokal. Daerah yang diteliti antara lain di Banyuwangi, Jawa Timur; Manggarai dan Belu di Nusa Tenggara Timur; dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. 

Banyuwangi dilimpahi kandungan emas, sedangkan Tanah Bumbu dengan batubara,  sementaraManggarai dan Belu dengan mangan. Di keempatnya terdapat konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Konfik muncul karena pemerintah tak melibatkan pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. 

“Ada keterputusan antara pembuat kebijakan dan masyarakat setempat. Misal, ada hutan adat pada masyarakat Manggarai. Mereka mengeksplorasi lahan di wilayah yang sudah ditentukan dengan falsafah Gendangn One Lingko Peangn [“Kampung di dalam, kebun bundar di luar”],” kata Pinpin.

“Hutan adat dilestarikan untuk diwariskan pada anak cucu mereka kelak”.

Selain itu, konflik muncul ketika pemerintah meninggalkan pengetahuan setempat dan memaksakan kebijakan yang berasal dari atas. Masyarakat setempat yang hidup dan menghidupi alam menjadi korban atas kebijakan yang merenggut penghidupan mereka.  

“Pengetahuan lokal dianggap tak ilmiah dan tak bisa menjadi bukti dalam perumusan kebijakan penambangan,” ujarnya.

Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu menjadi bekal dalam menyusun kebijakan untuk menyertakan masyarakat setempat dalam tata kelola sumber daya alam. 

“Kami mendokumentasikan pengetahuan lokal yang terserak untuk menjadi acuan dalam membuat kebijakan yang partisipatif. Agar kekayaan sumber daya alam tak lagi menjadi kutukan penyebab konflik,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!