Para penolong Karin, pelancong asal Norwegia yang dijambret di Palembang

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Para penolong Karin, pelancong asal Norwegia yang dijambret di Palembang
Niat Karin Baadsvik ‘traveling’ di darat tanpa naik pesawat terbang agar ia dapat menemui orang-orang dan mendengarkan kisah mereka

JAKARTA, Indonesia — Di dunia Barat, Islam tengah menjadi sorotan sejak lebih dari satu dekade lalu. Stereotip Muslim dengan terduga teroris di sejumlah negara Eropa tak terelakkan. Belum lagi dengan diskriminasi terhadap umat Muslim di Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Ketakutan terhadap Islam tak terbukti di Indonesia, setidaknya bagi seorang pelancong asal Norwegia, Karin Baadsvik. Pada 8 Maret lalu, tas milik Karin dijambret di stasiun saat singgah di Palembang, Sumatera Selatan. Alhasil ia harus kehilangan barang-barang berharganya.

Beruntung, sejumlah warga Palembang dengan ikhlas membantu Karin. Pada era individualistis seperti sekarang ini, kisah Karin yang dibantu warga pun tersebar lewat media sosial dan menjadi viral seketika.

Ayah Karin sendiri, Øystein Baadsvik, yang menyebarkan kabar tersebut melalui akun Facebook pribadinya. Status Facebook Øystein berisi ungkapan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu anaknya selama di Palembang.

“Saya mempunyai sebuah kabar baik,” tulis Øystein yang merupakan seorang musisi tuba. Ia kemudian menjelaskan kronologi kejadian sebelum menutup statusnya dengan kalimat, “Seiring meningkatnya Islamofobia, saya rasa penting untuk membagikan kisah orang-orang ini, yang seperti mayoritas penduduk Indonesia, adalah umat Muslim”.

Hingga tulisan ini diturunkan status Øystein telah dibagikan hampir 200 kali dan disukai oleh lebih dari 500 pengguna Facebook.

Kebaikan umat manusia

Di balik pengalaman pahitnya, Karin sendiri menemukan rasa syukur. Ia merasa terinspirasi dengan kebaikan hati orang-orang yang menolongnya di Palembang dan akan merekomendasikan Indonesia sebagai destinasi wisata. 

“Saya senang itu terjadi. Jika tidak, saya tidak akan pernah mendapatkan pengalaman ini yang menunjukkan kebaikan umat manusia yang benar-benar menakjubkan,” kata Karin kepada Rappler.

“Saya mendapatkan teman-teman baru dan kenangan yang akan terus diingat sepanjang masa.

Perempuan berusia 24 tahun itu tiba di Stasiun Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, seorang diri. Ia baru saja menikmati Lampung dan berniat singgah sehari di Palembang sebelum beranjak menuju Dumai, Riau.

Dari Dumai gadis itu berencana naik kapal feri ke Melaka, Malaysia. Perjalanan itu menjadi bagian dari tujuannya untuk berpetualang dari Bali ke Berlin, Jerman. Kisah perjalanan Karin ditampilkan di blog pribadinya, balitoberlinblog.wordpress.com

Karin mengatakan, selama perjalanan ia tidak menghendaki naik pesawat terbang. Meski akan memakan waktu yang lebih lama, tak masalah buatnya.

“Jika saya menggunakan pesawat terbang melintasi berbagai daerah, orang-orang yang hidup di bawahnya dan pengalaman-pengalaman tak ternilai itu tidak akan pernah ditemukan,” ucapnya.

“Ada begitu banyak tempat-tempat menakjubkan yang tidak memiliki bandara dan tidak diketahui orang, dan saya tidak mau kehilangan momen-momen itu.”

Dicuri ketika beli pulsa

Status Facebook Oystein Baadsvik, ayah Karin, yang mengabarkan cerita yang dialami anaknya di Palembang. Screen shot dari Facebook

Ketika di Lampung, Karin ditemani oleh seorang warga lokal bernama Desta. Ia mengontak seorang anggota komunitas Backpacker Indonesia Regional Palembang (BPIP), Riki Azmi Perdana, untuk menjadi tuan rumah yang mengurusi transportasi dan tempat tinggal Karin selama di Kota Pempek itu.

Saat tiba di Stasiun Kertapati dan menunggu dijemput teman-teman BPIP, Karin menyempatkan ke luar stasiun untuk membeli pulsa telepon genggam. Namun naas, tidak disangka tasnya dijambret. Uang, paspor, kartu kredit, dan laptopnya raib. 

Gadis kelahiran 18 Mei 1992 itu bercerita kepada Rappler, orang-orang di sekeliling tempat penjual pulsa turut membantu mengejar pencuri tersebut. 

“Sekelompok anak-anak muda yang membantu saya membeli pulsa telepon ikut mengejar pelaku, tapi akhirnya kita kehilangan penampakannya,” ujarnya. Ia mengatakan, gang-gang kecil dan sempit menyebabkan Karin kehilangan jejak si pencuri.

“Karena panik, saya memutuskan untuk berhenti mengejar pelaku dan kembali mengambil barang-barang saya yang lain sebelum dicuri juga,” katanya.

Riki dan salah seorang teman lain dari BPIP, Olith, telah menunggu di stasiun ketika Karin kembali. Riki mengatakan, ia pun mengantar Karin ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian.

“Saat saya sampai, di sana sudah ramai masyarakat dan polisi. Akhirnya Karin diajak ke Polresta Palembang untuk membuat keterangan dan pengaduan,” kata Riki.

Manggung di kafe 

Alhasil, rencana Karin untuk hanya satu hari tinggal di Palembang terpaksa diperpanjang. Ia harus mengurus kelengkapan dokumen dari pihak kepolisian, pemblokiran kartu kreditnya, dan pembuatan paspor sementara di kantor imigrasi setempat. Selain itu ia juga harus memberi kabar pada orangtuanya. 

Uang Karin ikut lenyap karena berada di dalam tas yang dicuri. Ia bingung bagaimana harus membiayai perjalanannya. Selain itu, paspornya ikut hilang dan periode visa turisnya tersisa kurang dari satu minggu. Akibatnya, ia harus mengurus ke kedutaan besar Norwegia di Jakarta. 

“Setelah saya cerita [tentang situasi Karin] ke teman-teman BPIP, ada inisiatif untuk ngamen di kafe Rendezvous,” ujar Riki merujuk kepada bar yang cukup terkenal di Palembang.

Karin (ketiga kanan) berfoto bersama anggota BPIP dengan latar belakang Jembatan Ampera di Palembang. Foto dok Karin Baadsvik

Miera Pelangi, inisiator BPIP, menghubungi pemilik kafe, David “Bobo” Lim. 

“Karena Karin musisi, penyanyi. Dia juga bawa gitar, ukulele, dan satu alat musik tiup selama travelling. Kita minta bantuan teman kita yang pemilik kafe agar Karin dapat gig di sana,” kata Miera.

“Saat Karin perform dan diceritakan kisahnya, pengunjung banyak yang kasihan dan kasih uang seikhlasnya. Kita [BPIP] juga share di media sosial,” ujarnya.

David si pemilik kafe pun membelikan tiket pesawat ke Jakarta untuk Karin agar ia dapat mengurus paspornya.

Solidaritas sesama pencinta travelling dan musik 

Di sela-sela kegiatan rutin, anggota BPIP bergantian menemani Karin. Miera, yang sehari-hari adalah seorang bidan, ikut menyisihkan waktu. 

Ketika ditanya mengapa mau membantu, Miera menjawab, “Karena kita sama-sama hobi travelling.”

Aku bisa merasakan bagaimana rasanya dapat musibah dan tidak ada uang sama sekali di negara orang. Rasa kemanusiaan saling tolong dan bantu sesama juga ada,” akunya.

“Jika saya menggunakan pesawat terbang melintasi berbagai daerah, orang-orang yang hidup di bawahnya dan pengalaman-pengalaman tak ternilai itu tidak akan pernah ditemukan.”

Riki yang juga mempunyai pekerjaan rutin sempat cuti dari kantor. Ia tidak menyangka kejadian seburuk itu menimpa Karin. 

“Saya merasa bersalah dan tidak enak. Wisatawan sendirian, tidak ada yang dikenal, dan barang berharganya dicuri. Jadi saya merasa harus membantu semaksimal mungkin,” kata Riki.

Tidak heran melihat Miera, Riki, dan kawan-kawan lainnya mengulurkan tangan kepada yang kesusahan, mengingat BPIP memiliki semboyan “We are not community, we are a family”. 

Karin pun mengaku sangat berterima kasih kepada perkumpulan pencinta travelling itu.

“Komunitas backpacker Indonesia itu sangat-sangat membantu,” kata Karin. “Mereka mengantarku ke mana-mana, menjadi penerjemah, dan membayar semuanya secara saya tidak memiliki uang sama sekali.”

Terdampar di negeri orang

BPIP berdiri sejak April 2013. Mereka rutin melakukan kopi darat setiap dua bulan sekali. 

Pada ulang tahun BPIP ketiga, mereka mengadakan “Kulukilir Peh”, sebuah kegiatan yang mengajak para peserta mengunjungi objek wisata di Palembang. Peserta kemudian diberi tantangan di tiap objek wisata. Salah satu tujuan kegiatan tersebut adalah menonjolkan potensi wisata di Palembang. 

Selain BPIP, ada pemilik kafe Rendezvous, David “Bobo” Lim, yang ikut berjasa membantu Karin. 

Karin mengingatkan David akan pengalamannya tinggal di “daerah orang”. “Separuh lebih umur saya hidup di perantauan. Saya bisa merasakan bagaimana rasanya terdampar di kota orang,” kata David.  —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!